Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas حَفِظَهُ الله تَعَالَى
عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :(( اِفْتَرَقَتِ الْيَهُوْدُ عَلَى
إِحْدَى وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً فَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَسَبْعُوْنَ
فِي النَّارِ، وَافْتَرَقَتِ النَّصَارَى عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ
فِرْقَةً فَإِحْدَى وَسَبْعُوْنَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ،
وَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَتَفْتَرِقَنَّ أُمَّتِيْ عَلَى
ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً، وَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَثِنْتَانِ
وَسَبْعُوْنَ فِيْ النَّارِ )) قِيْلَ يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَنْ هُمْ ؟
قَالَ: ( اَلْجَمَاعَةُ ).
Dari Sahabat ‘Auf bin Mâlik Radhiyallahu ‘anhu , ia berkata, “Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Ummat Yahudi berpecah-belah
menjadi 71 (tujuh puluh satu) golongan, maka hanya satu golongan yang
masuk surga dan 70 (tujuh puluh) golongan masuk neraka. Ummat Nasrani
berpecah-belah menjadi 72 (tujuh puluh dua) golongan dan 71 (tujuh puluh
satu) golongan masuk neraka dan hanya satu golongan yang masuk surga.
Dan demi jiwa Muhammad yang berada di tangan-Nya, sungguh akan
berpecah-belah ummatku menjadi 73 (tujuh puluh tiga) golongan, hanya
satu (golongan) masuk surga dan 72 (tujuh puluh dua) golongan masuk
neraka.’ Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya, ‘Wahai
Rasûlullâh, 'Siapakah mereka (satu golongan yang selamat) itu ?’
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘al-Jamâ’ah.’”
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini diriwayatkan oleh:
1. Ibnu Mâjah dan lafazh ini miliknya, dalam Kitâbul Fitan, Bâb Iftirâqul Umam (no. 3992).
2. Ibnu Abi ‘Ashim dalam Kitâbus Sunnah (no. 63).
3. al-Lalika-i dalam Syarah Ushûl I’tiqâd Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah (no. 149).
Hadits ini hasan. Lihat Silsilatul Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 1492).
Dalam riwayat lain disebutkan tentang golongan yang selamat yaitu orang
yang mengikuti Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para
shahabatnya Radhiyallahu anhum. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :
...كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلاَّ مِلَّةً وَاحِدَةً: مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِيْ.
“...Semua golongan tersebut tempatnya di neraka, kecuali satu (yaitu) yang aku dan para sahabatku berjalan di atasnya.”[1]
SYARAH HADITS
Islam yang Allâh Azza wa Jalla karuniakan kepada kita, yang harus kita
pelajari, fahami, dan amalkan adalah Islam yang bersumber dari al-Qur'ân
dan as-Sunnah yang shahih menurut pemahaman para Sahabat (Salafush
Shalih). Pemahaman para Sahabat Radhiyallahu anhum yang merupakan
aplikasi (penerapan langsung) dari apa yang diajarkan oleh Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah satu-satunya pemahaman yang benar.
Aqidah serta manhaj mereka adalah satu-satunya yang benar. Sesungguhnya
jalan kebenaran menuju kepada Allâh hanya satu, sebagaimana sabda
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits di atas.
Satu golongan dari ummat Yahudi yang masuk Surga adalah mereka yang
beriman kepada Allâh Azza wa Jalla dan kepada Nabi Musa Alaihissallam
serta mati dalam keadaan beriman. Dan begitu juga satu golongan Nasrani
yang masuk surga adalah mereka yang beriman kepada Allâh dan kepada Nabi
‘Isa Alaihissallam sebagai Nabi, Rasul dan hamba Allâh serta mati dalam
keadaan beriman.[2] Adapun setelah diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam , maka semua ummat Yahudi dan Nasrani wajib masuk
Islam, yaitu agama yang dibawa oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam sebagai penutup para Nabi. Prinsip ini berdasarkan hadits Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لاَ يَسْمَعُ بِيْ أَحَدٌ مِنْ
هَذِهِ الْأُمَّةِ يَهُوْدِيٌّ وَلاَ نَصْرَانِيٌّ، ثُمَّ يَمُوْتُ وَلَمْ
يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ، إِلاَّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ
النَّارِ.
Demi (Rabb) yang diri Muhammad ada di tangan-Nya, tidaklah seorang dari
ummat Yahudi dan Nasrani yang mendengar tentangku (Muhammad), kemudian
ia mati dalam keadaan tidak beriman terhadap ajaran yang aku bawa,
niscaya ia termasuk penghuni Neraka.” (HR. Muslim (no. 153), dari
Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu)
‘Abdullah bin Mas‘ûd Radhiyallahu ‘anhu berkata :
خَطَّ لَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطًّا
بِيَدِهِ ثُمَّ قَالَ: هَذَا سَبِيْلُ اللهِ مُسْتَقِيْمًـا، وَخَطَّ
خُطُوْطًا عَنْ يَمِيْنِهِ وَشِمَـالِهِ، ثُمَّ قَالَ: هَذِهِ سُبُلٌ
]مُتَفَـِرّقَةٌ[ لَيْسَ مِنْهَا سَبِيْلٌ إِلَّا عَلَيْهِ شَيْطَانٌ
يَدْعُوْ إِلَيْهِ، ثُمَّ قَرَأَ قَوْلَهُ تَعَالَـى: وَأَنَّ هَٰذَا
صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ
فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ۚ ذَٰلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ
لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat garis dengan tangannya
kemudian bersabda, ‘Ini jalan Allâh yang lurus.’ Lalu beliau membuat
garis-garis di kanan kirinya, kemudian bersabda, ‘Ini adalah jalan-jalan
yang bercerai-berai (sesat) tak satupun dari jalan-jalan ini kecuali
disana ada setan yang menyeru kepadanya.’ Selanjutnya Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam membaca firman Allâh Azza wa Jalla , “Dan sungguh,
inilah jalanku yang lurus, maka ikutilah! Jangan kamu ikuti jalan-jalan
(yang lain) yang akan mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Demikianlah
Dia memerintahkan kepadamu agar kamu bertakwa.” [al-An’âm/6:153] [3]
Dalam hadits ini Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan
ayat dalam surat al-An’âm bahwa jalan menuju Allâh Azza wa Jalla hanya
satu, sedangkan jalan-jalan menuju kesesatan banyak sekali. Jadi wajib
bagi kita mengikuti shiratal mustaqim dan tidak boleh mengikuti jalan,
aliran, golongan, dan pemahaman-pemahaman yang sesat, karena dalam semua
itu ada setan yang mengajak kepada kesesatan.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah (wafat tahun 751 H) berkata, “Hal ini
disebabkan karena jalan menuju Allâh Subhanahu wa Ta’ala hanya satu.
Jalan itu adalah ajaran yang telah Allâh Azza wa Jalla wahyukan kepada
para rasul -Nya dan Kitab-kitab yang telah diturunkan kepada mereka.
Tidak ada seorang pun yang bisa sampai kepada-Nya tanpa melalui jalan
tersebut. Sekiranya ummat manusia mencoba seluruh jalan yang ada dan
berusaha mengetuk seluruh pintu yang ada, maka seluruh jalan itu
tertutup dan seluruh pintu itu terkunci kecuali dari jalan yang satu
itu. Jalan itulah yang berhubungan langsung kepada Allâh dan
menyampaikan mereka kepada-Nya.”[4]
Akan tetapi, faktor yang membuat kelompok-kelompok dalam Islam itu
menyimpang dari jalan yang lurus adalah kelalaian mereka terhadap rukun
ketiga yang sebenarnya telah diisyaratkan dalam al-Qur'ân dan as-Sunnah,
yakni memahami al-Qur'ân dan as-Sunnah menurut pemahaman assalafush
shalih. Surat al-Fâtihah secara gamblang telah menjelaskan ketiga rukun
tersebut, Allâh Azza wa Jalla berfirman :
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
Tunjukilah kami jalan yang lurus. [al-Fâtihah/1:6]
Ayat ini mencakup rukun pertama (al-Qur'ân) dan rukun kedua (as-Sunnah),
yakni merujuk kepada al-Qur'ân dan As-Sunnah, sebagaimana telah
dijelaskan di atas.
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ
(Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya, bukan
(jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang
sesat.” [al-Fâtihah/1:7]
Ayat ini mencakup rukun ketiga, yakni merujuk kepada pemahaman
assalafush shalih dalam meniti jalan yang lurus tersebut. Padahal sudah
tidak diragukan bahwa siapa saja yang berpegang teguh dengan al-Qur'ân
dan as-Sunnah pasti telah mendapat petunjuk kepada jalan yang lurus.
Disebabkan metode manusia dalam memahami al-Qur'ân dan as-Sunnah
berbeda-beda, ada yang benar dan ada yang salah, maka wajib memenuhi
rukun ketiga untuk menghilangkan perbedaan tersebut, yakni merujuk
kepada pemahaman assalafush shalih.[5]
Tentang wajibnya mengikuti pemahaman para sahabat, Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ
وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ
وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
Dan barangsiapa menentang Rasul (Muhammad) setelah jelas kebenaran
baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin, Kami
biarkan dia dalam kesesatan yang telah dilakukannya itu dan akan Kami
masukkan dia ke dalam neraka Jahanam, dan itu seburuk-buruk tempat
kembali.” [an-Nisâ’/4:115]
Uraian di atas merupakan penegasan bahwa generasi yang paling utama yang
dikaruniai ilmu dan amal shalih oleh Allâh Azza wa Jalla adalah para
Shahabat Rasul n . Hal itu karena mereka telah menyaksikan langsung
turunnya al-Qur'ân, menyaksikan sendiri penafsiran yang shahih yang
mereka fahami dari petunjuk Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang mulia. Karena itu wajib bagi kita mengikuti pemahaman mereka.
Setiap Muslim dan Muslimah dalam sehari semalam minimal 17 (tujuh belas) kali membaca ayat :
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ﴿٦﴾صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ
Tunjukilah kami jalan yang lurus. (Yaitu) jalan orang-orang yang telah
Engkau beri nikmat kepadanya, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan
bukan (pula jalan) mereka yang sesat. [al-Fâtihah/1:6-7]
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Perhatikanlah hikmah berharga yang
terkandung dalam penyebutan sebab dan akibat ketiga kelompok manusia
(yang tersebut di akhir surat al-Fâtihah) dengan ungkapan yang sangat
ringkas. Nikmat yang dicurahkan kepada kelompok pertama adalah nikmat
hidayah, yaitu ilmu yang bermanfaat dan amal shalih.”[6]
Permohonan dan do’a seorang Muslim setiap hari agar diberikan petunjuk
ke jalan yang lurus harus direalisasikan dengan menuntut ilmu syar’i,
belajar agama Islam yang benar berdasarkan al-Qur'ân dan as-Sunnah yang
shahih menurut pemahaman para shahabat (pemahaman assalafush shalih),
dan mengamalkannya sesuai dengan pengamalan mereka. Artinya, ummat Islam
harus melaksanakan agama yang benar menurut cara beragamanya para
shahabat, karena sesungguhnya mereka adalah orang yang mengikuti Sunnah
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan benar.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan dalam hadits ‘Irbadh Bin
Sariyah Radhiyallahu ‘anhu tentang akan terjadinya perselisihan dan
perpecahan di tengah kaum Muslimin. Kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam memberikan jalan keluar yang terbaik yaitu, berpegang kepada
sunnah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sunnah khulafâ-ur
Rasyidin Radhiyallahu anhum serta menjauhkan semua bid’ah dalam agama
yang diada-adakan. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
...فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِيْ فَسَيَرَى اخْتِلَافًا
كَثِيْرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاء الرَّاشِدِيْنَ
الْمَهْدِيِّيْنَ، عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ
وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ
بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ.
“…Sungguh, orang yang masih hidup di antara kalian sepeninggalku, maka
ia akan melihat perselisihan yang banyak, karenanya hendaklah kalian
berpegang teguh kepada Sunnahku dan Sunnah para Khulafa-ur Rasyidin.
Peganglah erat-erat Sunnah tersebut dan gigitlah dengan gigi geraham
kalian. Dan jauhilah oleh kalian setiap perkara yang baru (dalam agama),
karena sesungguhnya setiap perkara yang baru adalah bid’ah, dan setiap
bid’ah adalah sesat.’”[7]
Mu’âdz bin Jabal Radhiyallahu ‘anhu berkata, ‘Tidakkah kalian mendengar
apa yang disabdakan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?’ Mereka
berkata, ‘Apa yang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ucapkan?’ Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّهَا سَتَكُوْنُ فِتْنَةٌ، فَقَالُوْا : فَكَيْفَ لَنَا يَا رَسُوْلَ
اللهِ ؟ وَكَيْفَ نَصْنَعُ ؟ قَالَ : تَرْجِعُوْنَ إِلَى أَمْرِكُمُ
الْأَوَّل
Sungguh akan terjadi fitnah”, Mereka berkata, ‘Bagaimana dengan kita,
wahai Rasûlullâh ? Apa yang kita perbuat?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Hendaknya kalian kembali kepada urusan kalian yang
pertama kali.”[8]
Apabila ummat Islam kembali kepada al-Qur'ân dan as-Sunnah dan mereka
memahami Islam menurut pemahaman Salaf dan mengamalkannya menurut cara
yang dilaksanakan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para
sahabatnya, maka ummat Islam akan mendapatkan hidayah (petunjuk),
barakah, ketenangan hati, terhindar dari berbagai macam fitnah,
perpecahan, perselisihan, bid’ah-bid’ah, pemahaman-pemahaman dan aliran
yang sesat. Bila umat Islam berpegang teguh dengan aqidah, manhaj,
pemahaman, dan cara beragama yang dilaksanakan oleh Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya Radhiyallahu anhum
maka Allâh Azza wa Jalla akan memberikan kepada kaum Muslimin
keselamatan, kemuliaan, kejayaan dunia dan akhirat serta diberikan
pertolongan oleh Allâh Azza wa Jalla untuk mengalahkan musuh-musuh Islam
dari kalangan orang-orang kafir dan munafiqin.
Realita kondisi ummat Islam yang kita lihat sekarang ini adalah ummat
Islam mengalami kemunduran, terpecah belah dan mendapatkan berbagai
musibah dan petaka, dikarenakan mereka tidak berpegang teguh kepada
‘aqidah dan manhaj yang benar dan tidak melaksanakan syari’at Islam
sesuai dengan pemahaman Shahabat, serta banyak dari mereka yang masih
berbuat syirik dan menyelisihi Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam .
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
... وَجُعِلَ الذِّلَّةُ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِيْ وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ.
“... Dijadikan kehinaan dan kerendahan atas orang-orang yang menyelisihi
Sunnahku. Dan barang siapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk
golongan mereka.”[9]
Pertama kali yang harus diluruskan dan diperbaiki adalah ‘aqidah dan
manhaj[10] umat Islam dalam meyakini dan melaksanakan agama Islam. Hal
ini merupakan upaya untuk mengembalikan jati diri umat Islam untuk
mendapatkan ridha Allâh Azza wa Jalla dan kemuliaan di dunia dan di
akhirat.
FAWA-ID HADITS
1. Para Sahabat Nabi Radhiyallahu anhum adalah orang-orang mulia yang
paling dalam ilmu dan hujjahnya. (lihat Saba'/34:6 ; Muhammad/47:16)
2. Para Sahabat Nabi Radhiyallahu anhum sebagai sumber rujukan saat
perselisihan dan sebagai pedoman dalam memahami al-Qur'ân dan As-Sunnah.
3. Mengikuti manhaj Para Sahabat Nabi Radhiyallahu anhum adalah jaminan
mendapat keselamatan dunia dan akhirat. (lihat an-Nisâ'/4: 115)
4. Mencintai para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti iman, sedang membenci mereka berarti kemunafikan.
5. Kesepakatan (ijma’) para Sahabat Nabi Radhiyallahu anhum adalah
hujjah yang wajib diikuti setelah al-Qur'ân dan as-Sunnah. (lihat
an-Nisâ'/4:115 dan hadits al-‘Irbâdh bin Sariyah Radhiyallahu ‘anhu )
6. Para Sahabat Nabi Radhiyallahu anhum adalah orang-orang yang
berpegang teguh kepada agama Islam yang berarti mereka telah mendapat
petunjuk, dengan demikian mengikuti mereka adalah wajib.
7. Keridhaan Allâh Azza wa Jalla dapat diperoleh dengan mengikuti para
Sahabat Nabi Radhiyallahu anhum , baik secara kelompok maupun individu.
(lihat at-Taubah/9:100)
8. Para Shahabat Nabi Radhiyallahu anhum adalah orang-orang yang
menyaksikan perbuatan, keadaan, dan perjalanan hidup Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam , mendengar sabda beliau, mengetahui
maksudnya, menyaksikan turunnya wahyu, dan menyaksikan penafsiran wahyu
dengan perbuatan beliau sehingga mereka memahami apa yang tidak kita
pahami.
9. Mengikuti para Shahabat Nabi Radhiyallahu anhum adalah jaminan
mendapatkan pertolongan Allâh Azza wa Jalla , kemuliaan, kejayaan dan
kemenangan.
10. Mengikuti pemahaman assalaufus shalih adalah pembeda antara manhaj
(cara beragama) yang haq dengan yang batil, antara golongan yang selamat
dan golongan-golongan yang sesat.
11. Hadits di atas menetapkan bahwa ijma’ para Sahabat sebagai dasar hukum Islam yang ketiga. (an-Nisâ’/4: 115)
12. al-Qur'ân dan as-Sunnah wajib dipahami dengan pemahaman para
shahabat, kalau tidak maka pemahaman tersebut akan membawanya pada
kesesatan.
13. Kewajiban mengikuti manhaj-nya (cara beragamanya) para shahabat.
14. Golongan-golongan dan aliran-aliran yang sesat itu sangat banyak sedangkan kebenaran hanya satu.
15. Mereka yang menyelisihi manhaj para Sahabat pasti akan tersesat dalam beragama,manhaj dan aqidah mereka.
16. Hakikat persatuan di dalam Islam adalah bersatu dalam ‘aqidah, manhaj, dan pemahaman yang benar.
17. Hadits di atas melarang kita berpecah belah di dalam manhaj dan aqidah.
18. Perselisihan yang dimaksud dalam hadits di atas ialah perselisihan
dan perpecahan dalam manhaj dan aqidah. Adapun perselisihan yang
disebabkan karena tabi’at manusia dan tingkat keilmuan seseorang yang
lebih kurang, maka hal yang seperti ini tidak terlarang secara mutlak
asalkan mereka tetap berada di dalam satu manhaj. Seperti perselisihan
dalam masalah fiqih dan hukum, hal ini sudah ada sejak zaman Shahabat.
19. Para shahabat Radhiyallahu anhum adalah orang-orang yang telah
mengamalkan sunnah-sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dengan benar dan mereka tidak berselisih tentang ‘aqidah dan manhaj,
meskipun ada perbedaan pendapat dalam masalah hukum dan ijtihad.
20. Orang banyak bukan ukuran kebenaran, karena hadits di atas dan ayat
al-Qur'ân menjelaskan kalau kita mengikuti orang banyak niscaya orang
banyak akan menyesatkan kita dari jalan kebenaran. (al-An’âm/6:116)
21. Tidak boleh membuat kelompok, golongan, aliran, sekte, dan jama’ah
atas nama Islam, yang didasari kepada wala’ (loyalitas) dan bara’
(berlepas diri) atas nama kelompoknya tersebut. Karena hal tersebut
dapat membuat perpecahan.
22. Bahwa bid’ah dan ahli bid’ah merusak agama Islam dan membuat perpecahan.
23. Dalam Islam tidak ada bid’ah hasanah, semua bid’ah sesat.
24. Kaum Muslimin, terutama para penuntut ilmu dan para da’i, wajib
mengikuti jalan golongan yang selamat, belajar, memahami, mengamalkan,
dan mendakwahkan dakwah yang hak ini, yaitu dakwah salaf.[11]
25. Do’a yang kita minta setiap hari memohon petujuk ke jalan yang
lurus, maka harus dibuktikan dengan mengikuti jalan golongan yang
selamat, yaitu cara beragamanya para sahabat Radhiyallahu anhum.
Maraaji’:
1. al-Qur'ânul Karîm dan terjemahnya.
2. Kutubus sittah.
3. As-Sunnah libni Abi ‘Ashim.
4. Syarh Ushûl I’tiqâd Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah, al-Lâlika-i.
5. Madârijus Sâlikîn, Ibnul Qayyim.
6. Silsilah al-Ahâdîts as-Shahîhah.
7. Dirâsât fil Ahwâ’ wal Firaq wal Bida’ wa Mauqifis Salaf minha.
8. Madârikun Nazhar fis Siyâsah.
9. Mâ ana ‘alaihi wa Ash-hâbii.
10. Dar-ul Irtiyâb ‘an Hadîts Mâ Ana ‘alaihi wa Ash-hâbii oleh Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, cet. Daarur Rayah/ th. 1410 H.
11. Al-Arba’ûna Hadîtsan an-Nabawiyyah fii Minhâjid Da’wah as-Salafiyyah oleh Sa’id (Muhammad Musa) Husain Idris as-Salafi.
12. Badâ’iut Tafsîr Al-Jami’ Limâ Fassarahul Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah.
13. Dan kitab-kitab lainnya.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XV/1433H/2012M. Penerbit
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Hasan: HR. At-Tirmidzi (no. 2641) dan al-Hakim (I/129) dari Sahabat
‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhu , dan dihasankan oleh Syaikh
al-Albâni dalam Shahîhul Jâmi’ (no. 5343). Lihat Dar-ul Irtiyâb ‘an
Hadîts Mâ Ana ‘alaihi wa Ash-hâbii oleh Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali,
cet. Daarur Rayah/ th. 1410 H.
[2]. Lihat Tafsir Ibnu Katsir ketika menafsirkan al-Baqarah/2:62
[3]. Shahih: HR. Ahmad (I/435, 465), ad-Darimy (I/67-68), al-Hakim
(II/318), Syarhus Sunnah lil Imâm al-Baghawy (no. 97), dihasankan oleh
Syaikh al-Albâni dalam As-Sunnah libni Abi ‘Ashim no. 17. Tafsir
an-Nasa-i (no. 194). Adapun tambahan (mutafarriqatun) diriwayatkan oleh
Imam Ahmad (I/435).
[4]. Tafsîrul Qayyim libnil Qayyim (hlm. 14-15), Badâ’iut Tafsîr
Al-Jâmi’ Limâ Fassarahul Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah (hlm. 88), cet.
Daar Ibnu Jauzi.
[5]. Lihat Madârikun Nazhar fis Siyâsah baina Tathbîqâtisy Syar’iyyah
wal Infi’âlâtil Hamâsiyyah (hlm. 36-37) karya ‘Abdul Malik bin Ahmad bin
al-Mubarak Ramadhani Aljazairi, cet. IX/ th. 1430 H, Darul Furqan.
[6]. Madârijus Sâlikin (I/20, cet. Daarul Hadits, Kairo).
[7]. HR. Abu Dawud (no. 4607), at-Tirmidzi (no. 2676), dan lainnya.
At-Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan shahih”. Silahkan baca penjelasan
hadits ini dan fawa-idnya dalam buku penulis “Wasiat Perpisahan”,
Pustaka at-Taqwa.
[8]. Shahih: HR. Ath-Thabarani dalam al-Mu’jamul Kabîr (no. 3307) dan
al-Mu’jamul Ausath (no. 8674). Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam
Silsilah Al-Ahâdîts Ash-Shahîhah (no. 3165).
[9]. HR. Ahmad (II/50, 92) dan Ibnu Abi Syaibah (V/575 no. 98) Kitâbul
Jihâd, cet. Daarul Fikr, Fat-hul Bâri (VI/98) dari Sahabat ‘Abdullah bin
‘Umar Radhiyallahu anhuma , dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir
rahimahullah dalam Tahqiq Musnad Imam Ahmad (no. 5667).
[10]. Manhaj artinya jalan atau metode. Dan manhaj yang benar adalah
jalan hidup yang lurus dan terang dalam beragama menurut pemahaman para
Sahabat Radhiyallahu anhhum. Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan
menjelaskan antara ‘aqidah dan manhaj, beliau berkata, “Manhaj lebih
umum daripada ‘aqidah. Manhaj diterapkan dalam ‘aqidah, suluk, akhlak,
mu’amalah, dan dalam semua kehidupan seorang Muslim. Setiap langkah yang
dilakukan seorang Muslim dikatakan manhaj. Adapun ‘aqidah yang dimaksud
adalah pokok iman, makna dua kalimat syahadat, dan konsekuensinya,
inilah ‘aqidah.” (Al-Ajwibatul Mufîdah ‘an As-ilatil Manâhij al-Jadîdah,
hlm. 123. Kumpulan jawaban Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan atas
berbagai pertanyaan seputar manhaj, dikumpulkan oleh Jamal bin Furaihan
al-Haritsi, cet. III, Daarul Manhaj/ th. 1424 H.)
[11]. Untuk lebih jelasnya, silahkan baca buku penulis “Mulia dengan Manhaj Salaf”, cet. V, Pustaka At-Taqwa.