Jilbab punuk unta dan berpakaian tapi telanjang...

Istilah jilbab gaul, jilbab modis, dan jilbab keren tentu tidak asing di telinga kita,
karena nama-nama ini sangat populer
dan ngetrend di kalangan para wanita
muslimah. Bahkan kebanyakan dari
mereka merasa bangga dengan
mengenakan jilbab model ini dan
beranggapan ini lebih sesuai dengan
situasi dan kondisi di jaman sekarang.
Ironisnya lagi, sebagian dari mereka
justru menganggap jilbab yang sesuai
dengan syariat adalah kuno, kaku dan
tidak sesuai dengan tuntutan jaman.
Inilah yang terjadi jika berpakaian ala
barat yang transparan dan sangat
memamerkan aurat telah menjadi
budaya kaum muslimin. Inilah yang
terjadi jika wanita-wanita kita jauh dari
pemahaman agama yang benar
Ketahuilah...
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ,
beliau berkata bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﺻِﻨْﻔَﺎﻥِ ﻣِﻦْ ﺃَﻫْﻞِ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ ﻟَﻢْ ﺃَﺭَﻫُﻤَﺎ ﻗَﻮْﻡٌ ﻣَﻌَﻬُﻢْ
ﺳِﻴَﺎﻁٌ ﻛَﺄَﺫْﻧَﺎﺏِ ﺍﻟْﺒَﻘَﺮِ ﻳَﻀْﺮِﺑُﻮﻥَ ﺑِﻬَﺎ ﺍﻟﻨَّﺎﺱَ
ﻭَﻧِﺴَﺎﺀٌ ﻛَﺎﺳِﻴَﺎﺕٌ ﻋَﺎﺭِﻳَﺎﺕٌ ﻣُﻤِﻴﻼَﺕٌ ﻣَﺎﺋِﻼَﺕٌ
ﺭُﺀُﻭﺳُﻬُﻦَّ ﻛَﺄَﺳْﻨِﻤَﺔِ ﺍﻟْﺒُﺨْﺖِ ﺍﻟْﻤَﺎﺋِﻠَﺔِ ﻻَ ﻳَﺪْﺧُﻠْﻦَ
ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔَ ﻭَﻻَ ﻳَﺠِﺪْﻥَ ﺭِﻳﺤَﻬَﺎ ﻭَﺇِﻥَّ ﺭِﻳﺤَﻬَﺎ ﻟَﻴُﻮﺟَﺪُ ﻣِﻦْ
ﻣَﺴِﻴﺮَﺓِ ﻛَﺬَﺍ ﻭَﻛَﺬَﺍ
“Ada dua golongan dari penduduk
neraka yang belum pernah aku lihat: [ 1]
Suatu kaum yang memiliki cambuk
seperti ekor sapi untuk memukul
manusia dan [ 2] para wanita yang
berpakaian tapi telanjang, berlenggak-
lenggok, kepala mereka seperti punuk
unta yang miring. Wanita seperti itu
tidak akan masuk surga dan tidak akan
mencium baunya, walaupun baunya
tercium selama perjalanan sekian dan
sekian.” (HR. Muslim no. 2128)
Lihatlah gambar punuk unta yang
dilingkari berikut..! dan bandingkan
dengan gambar-gambar para wanita
yang berpakaian tapi telanjang,
berlenggak-lenggok, kepala mereka
seperti punuk unta yang miring
setelahnya...!

transparant, berpakaian tapi telanjang
Kerusakan seperti ini tidak muncul di
zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam karena sucinya zaman beliau,
namun kerusakan ini baru terjadi
setelah masa beliau wafat. Hadits ini
sangat mencela dua golongan
semacam ini. (Lihat Syarh Muslim,
9/240 dan Faidul Qodir, 4/275).
Wahai Rabbku. Dan zaman ini lebih
nyata lagi terjadi dan kerusakannya
lebih parah.
Saudariku, pahamilah makna
‘kasiyatun ‘ariyatun ’
An Nawawi dalam Syarh Muslim ketika
menjelaskan hadits di atas mengatakan
bahwa ada beberapa makna kasiyatun
‘ariyatun.
Wanita yang mendapat nikmat Allah,
namun enggan bersyukur kepada-
Nya.
Wanita yang mengenakan pakaian,
namun kosong dari amalan kebaikan
dan tidak mau mengutamakan
akhiratnya serta enggan melakukan
ketaatan kepada Allah.
Wanita yang menyingkap sebagian
anggota tubuhnya, sengaja
menampakkan keindahan tubuhnya.
Inilah yang dimaksud wanita yang
berpakaian tetapi telanjang.
Wanita yang memakai pakaian tipis
sehingga nampak bagian dalam
tubuhnya. Wanita tersebut berpakaian,
namun sebenarnya telanjang. (Lihat
Syarh Muslim, 9/240)
Pengertian yang disampaikan An
Nawawi di atas, ada yang bermakna
konkrit dan ada yang bermakna
maknawi (abstrak). Begitu pula
dijelaskan oleh ulama lainnya sebagai
berikut.
Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah
mengatakan, “Makna kasiyatun
‘ariyatun adalah para wanita yang
memakai pakaian yang tipis yang
menggambarkan bentuk tubuhnya,
pakaian tersebut belum menutupi
(anggota tubuh yang wajib ditutupi
dengan sempurna). Mereka memang
berpakaian, namun pada hakikatnya
mereka telanjang.” (Jilbab Al Mar’ah
Muslimah, 125-126)
Al Munawi dalam Faidul Qodir
mengatakan mengenai makna
kasiyatun ‘ariyatun, “Senyatanya
memang wanita tersebut berpakaian,
namun sebenarnya dia telanjang.
Karena wanita tersebut mengenakan
pakaian yang tipis sehingga dapat
menampakkan kulitnya. Makna lainnya
adalah dia menampakkan
perhiasannya, namun tidak mau
mengenakan pakaian takwa. Makna
lainnya adalah dia mendapatkan
nikmat, namun enggan untuk
bersyukur pada Allah. Makna lainnya
lagi adalah dia berpakaian, namun
kosong dari amalan kebaikan. Makna
lainnya lagi adalah dia menutup
sebagian badannya, namun dia
membuka sebagian anggota tubuhnya
(yang wajib ditutupi) untuk
menampakkan keindahan
dirinya.” (Faidul Qodir, 4/275)
Hal yang sama juga dikatakan oleh
Ibnul Jauziy. Beliau mengatakan bahwa
makna kasiyatun ‘ariyatun ada tiga
makna.
Wanita yang memakai pakaian tipis,
sehingga nampak bagian dalam
tubuhnya. Wanita seperti ini memang
memakai jilbab, namun sebenarnya dia
telanjang.
Wanita yang membuka sebagian
anggota tubuhnya (yang wajib ditutup).
Wanita ini sebenarnya telanjang.
Wanita yang mendapatkan nikmat Allah,
namun kosong dari syukur kepada-
Nya. (Kasyful Musykil min Haditsi Ash
Shohihain, 1/1031)
Kesimpulannya adalah kasiyatun ‘ariyat
dapat kita maknakan: wanita yang
memakai pakaian tipis sehingga
nampak bagian dalam tubuhnya dan
wanita yang membuka sebagian aurat
yang wajib dia tutup.
Tidakkah Engkau Takut dengan
Ancaman Ini
Lihatlah ancaman Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam kepada wanita yang
berpakaian tetapi sebenarnya telanjang,
dikatakan oleh beliau shallallahu ‘alaihi
wa sallam, “wanita seperti itu tidak
akan masuk surga dan tidak akan
mencium baunya, walaupun baunya
tercium selama perjalanan sekian dan
sekian.”
Perhatikanlah saudariku, ancaman ini
bukanlah ancaman biasa. Perkara ini
bukan perkara sepele. Dosanya bukan
hanya dosa kecil. Lihatlah ancaman
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di
atas. Wanita seperti ini dikatakan tidak
akan masuk surga dan bau surga saja
tidak akan dicium. Tidakkah kita takut
dengan ancaman seperti ini?
An Nawawi rahimahullah menjelaskan
maksud sabda Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam: ‘wanita tersebut tidak akan
masuk surga’. Inti dari penjelasan
beliau rahimahullah: Jika wanita
tersebut menghalalkan perbuatan ini
yang sebenarnya haram dan dia pun
sudah mengetahui keharaman hal ini,
namun masih menganggap halal untuk
membuka anggota tubuhnya yang wajib
ditutup (atau menghalalkan memakai
pakaian yang tipis), maka wanita
seperti ini kafir, kekal dalam neraka
dan dia tidak akan masuk surga
selamanya. Dapat kita maknakan juga
bahwa wanita seperti ini tidak akan
masuk surga untuk pertama kalinya.
Jika memang dia ahlu tauhid, dia
nantinya juga akan masuk surga.
Wallahu Ta’ala a’lam . (Lihat Syarh
Muslim, 9/240)
Jika ancaman ini telah jelas, lalu
kenapa sebagian wanita masih
membuka auratnya di khalayak ramai
dengan memakai rok hanya setinggi
betis? Kenapa mereka begitu
senangnya memamerkan paha di depan
orang lain? Kenapa mereka masih
senang memperlihatkan rambut yang
wajib ditutupi? Kenapa mereka masih
menampakkan telapak kaki yang juga
harus ditutupi? Kenapa pula masih
memperlihatkan leher?!
Sadarlah, wahai saudariku! Bangkitlah
dari kemalasanmu! Taatilah Allah dan
Rasul-Nya! Mulailah dari sekarang
untuk merubah diri menjadi yang lebih
baik.
Wanita Memakai Konde
Diharamkan bagi wanita memakai
konde, dengan menyambung
rambutnya dengan rambut orang lain
atau rambut palsu. Pelakunya
mendapatkan laknat, sebagaimana
sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam :
ﻟَﻌَﻦَ ﺍﻟﻠﻪُ ﺍﻟْﻮَﺍﺻِﻠَﺔَ ﻭَﺍﻟْﻤُﺴْﺘَﻮْﺻِﻠَﺔَ ﻭَﺍﻟْﻮَﺍﺷِﻤَﺔَ
ﻭَﺍﻟْﻤُﺴْﺘَﻮْﺷِﻤَﺔَ
"Allah melaknat wanita yang
menyambung rambutnya dan yang
minta disambung (dengan rambut lain),
yang membuat tato dan yang minta
dibuatkan tato". [HR Muslim].

Sebagian ulama membolehkan wanita
menyambung rambutnya dengan selain
rambut manusia. Misalnya, dengan
rambut binatang, benang atau dari
serat.
Imam Al Laits bin Sa’id berkata:
“Sesungguhnya larangan menyambung
rambut itu khusus menyambung
dengan rambut. Tidak mengapa
seorang wanita menyambung
rambutnya dengan wol atau kain”.[Ibnu
Hajar Al Asqalani, Fathul Baari
(10/375), Imam An Nawawi, Syarah
Shahih Muslim, (14/104)]
Imam Abu Dawud meriwayatkan dari
Sa’id bin Jubair, beliau berkata:
ﻻَﺑَﺄْﺱَ ﺑِﺎﻟْﻘَﺮَﺍﻣِﻞِ
"Tidak mengapa (menyambung
rambut) dengan qaramil (sejenis
tumbuhan yang batangnya sangat
lunak)".
Fairuz Abadi berkata,"Sa’id bin Jubair
berpendapat, yang dilarang ialah
menggunakan rambut manusia.
Adapun bila menyambungnya dengan
sobekan kain, atau benang sutera dan
lainnya, maka tidak dilarang.” Al
Khaththabi berkata,”Para ulama
memberikan keringanan menggunakan
qaramil, karena orang yang melihatnya
tidak ragu, bahwa yang demikian itu
palsu (bukan rambutnya yang
asli)." [Fairuz Abadi, ‘Aunul Ma’buud,
(11/228-229)]
Ibnu Qudamah berkata,”Yang
diharamkan ialah menyambung rambut
dengan rambut, karena terdapat tadlis
(unsur penipuan) dan menggunakan
sesuatu yang masih diperdebatkan
kenajisannya. Adapun selain itu, maka
tidak diharamkan, karena tidak
mengandung makna ini (tadlis dan
najis), juga adanya maslahah untuk
mempercantik diri kepada suami
dengan tidak mendatangkan madharat
(bahaya)."[9]
Namun berdasarkan keumuman
larangan Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam, sebaiknya seorang wanita
tidak melakukan wishal (menyambung
rambut). Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam bersabda :
ﺯَﺟَﺮَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲُّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺃَﻥْ ﺗَﺼِﻞَ
ﺍﻟْﻤَﺮْﺃَﺓُ ﺑِﺮَﺃْﺳِﻬَﺎ ﺷَﻴْﺌًﺎ
"Rasulullah melarang wanita
menyambung rambutnya dengan
sesuatu". [HR Muslim].
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu,
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda :
ﺻِﻨْﻔَﺎﻥِ ﻣِﻦْ ﺃَﻫْﻞِ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ ﻟَﻢْ ﺃَﺭَﻫُﻤَﺎ ﻗَﻮْﻡٌ ﻣَﻌَﻬُﻢْ
ﺳِﻴَﺎﻁٌ ﻛَﺄَﺫْﻧَﺎﺏِ ﺍﻟْﺒَﻘَﺮِ ﻳَﻀْﺮِﺑُﻮﻥَ ﺑِﻬَﺎ ﺍﻟﻨَّﺎﺱَ
ﻭَﻧِﺴَﺎﺀٌ ﻛَﺎﺳِﻴَﺎﺕٌ ﻋَﺎﺭِﻳَﺎﺕٌ ﻣُﻤِﻴﻠَﺎﺕٌ ﻣَﺎﺋِﻠَﺎﺕٌ
ﺭُﺀُﻭﺳُﻬُﻦَّ ﻛَﺄَﺳْﻨِﻤَﺔِ ﺍﻟْﺒُﺨْﺖِ ﺍﻟْﻤَﺎﺋِﻠَﺔِ ﻟَﺎ ﻳَﺪْﺧُﻠْﻦَ
ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔَ ﻭَﻟَﺎ ﻳَﺠِﺪْﻥَ ﺭِﻳﺤَﻬَﺎ ﻭَﺇِﻥَّ ﺭِﻳﺤَﻬَﺎ ﻟَﻴُﻮﺟَﺪُ ﻣِﻦْ
ﻣَﺴِﻴﺮَﺓِ ﻛَﺬَﺍ ﻭَﻛَﺬَﺍ
"Dua golongan dari ahli neraka yang
tidak pernah aku lihat: seorang yang
membawa cemeti seperti ekor sapi
yang dia memukul orang-orang, dan
perempuan yang berpakaian tetapi
telanjang, berlenggok-lenggok,
kepalanya bagaikan punuk onta yang
bergoyang. Mereka tidak akan masuk
surga dan tidak akan mendapatkan
baunya, sekalipun ia bisa didapatkan
sejak perjalanan sekian dan sekian".
[HR Muslim].
Imam An Nawawi menukil perkataan
Imam Al Qurthubi yang berbunyi:
"Rambut mereka diumpamakan seperti
punuk onta, karena mereka
mengangkat sanggul rambutnya ke
bagian tengah kepalanya untuk
menghias dirinya dan ia berpura-pura
melakukan itu agar dianggap memiliki
rambut yang lebat (panjang)".[ Ibnu
Hajar Al Asqalani, Fathul Baari
(10/375)]
Seorang wanita tidak perlu merasa
malu dengan rambutnya yang sedikit
karena itu bagian dari karunia Allah.
Ditambah lagi, itu juga tidak ada yang
melihat, karena ia tutup dengan jilbab
(hijab)nya. Adapun mengikat rambut
dengan selain rambut, maka itu
diperbolehkan.
Al Qadhi ‘Iyadh Al Maliki berkata,
"Adapun mengikat rambut dengan
sutera yang diberi warna dan lainnya
yang tidak menyerupai rambut, maka
tidaklah dilarang. Karena ia tidak
termasuk wishal (menyambung) dan
tidak bertujuan untuk itu. Itu hanya
sekedar sebagai penghias." [Imam An
Nawawi, Syarah Shahih Muslim,
(14/104-105)]
Dan inilah yang dimaksud dengan
menyambung rambut yang dibolehkan
oleh para ulama di atas. Wallahu a’lam .
Sumber:
http://almanhaj.or.id/content/2778/
slash/0/seputar-rambut-atau-bulu-
yang-wajib-dibiarkan-dan-tidak-
boleh-dihilangkan/
http://
hijrahdarisyirikdanbidah.blogspot.com/2011/11/
hati-hati-jilbab-seperti-punuk-
unta.html
http://rumaysho.com/belajar-islam/
muslimah/1613-wanita-yang-
berpakaian-tapi-telanjang-
sadarlah.html

Read more…

Apa cinta itu...?

Cinta bisa jadi merupakan kata yang paling banyak
dibicarakan manusia. Setiap orang memiliki rasa cinta yang
bisa diaplikasikan pada banyak hal. Wanita, harta, anak,
kendaraan, rumah dan berbagai kenikmatan dunia lainnya
merupakan sasaran utama cinta dari kebanyakan manusia.
Cinta yang paling tinggi dan mulia adalah cinta seorang
hamba kepada Rabb-nya.
Kita sering mendengar kata yang terdiri dari lima huruf:
C I N TA…
Setiap orang bahkan telah merasakannya, namun sulit untuk
mendefinisikannya. Terlebih untuk mengetahui hakikatnya.
Berdasarkan hal itu, seseorang dengan gampang bisa keluar
dari jeratan hukum syariat ketika bendera cinta diangkat.
Seorang pezina dengan gampang tanpa diiringi rasa malu
mengatakan, “Kami sama-sama cinta, suka sama suka .”
Karena alasan cinta, seorang bapak membiarkan anak-
anaknya bergelimang dalam dosa. Dengan alasan cinta pula,
seorang suami melepas istrinya hidup bebas tanpa ada
ikatan dan tanpa rasa cemburu sedikitpun.
Demikianlah bila kebodohan telah melanda kehidupan dan
kebenaran tidak lagi menjadi tolok ukur. Dalam keadaan
seperti ini, setan tampil mengibarkan benderanya dan
menabuh genderang penyesatan dengan mengangkat cinta
sebagai landasan bagi pembolehan terhadap segala yang
dilarang Allah dan Rasul-Nya, Allah Subhanahu wa Ta‘ala
berfirman:
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan
kepada apa-apa yang diingini yaitu: wanita-wanita, anak-
anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan,
binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah
kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat
kembali yang baik .” (Ali ‘Imran: 14)
Dalam haditsnya dari shahabat Tsauban, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasaalam bersabda: “Hampir-hampir
orang-orang kafir mengerumuni kalian sebagaimana
berkerumunnya di atas sebuah tempayan.’ Seseorang
berkata: ‘Wahai Rasulullah, apakah jumlah kita saat itu sangat
sedikit?’ Rasulullah berkata: ‘Bahkan kalian saat itu banyak
akan tetapi kalian bagaikan buih di atas air. Dan Allah benar-
benar akan mencabut rasa ketakutan dari hati musuh kalian
dan benar-benar Allah akan campakkan ke dalam hati kalian
(penyakit) al-wahn.’ Seseorang bertanya: ‘Apakah yang
dimaksud dengan al-wahn wahai Rasulullah?’ Rasulullah
menjawab : ‘Cinta dunia dan takut mati .’ (HR. Abu Dawud no.
4297, dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam
Shahih Sunan Abi Dawud no. 3610)
Asy-Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di dalam tafsirnya
mengatakan: “Allah memberitakan dalam dua ayat ini (Ali
‘Imran: 13-14) tentang keadaan manusia kaitannya dengan
masalah lebih mencintai kehidupan dunia daripada akhirat,
dan Allah menjelaskan perbedaan yang besar antara dua
negeri tersebut. Allah subhanahu wa ta’ala memberitakan
bahwa hal-hal tersebut (syahwat, wanita, anak-anak, dsb)
dihiaskan kepada manusia sehingga membelalakkan
pandangan mereka dan menancapkannya di dalam hati-hati
mereka, semuanya berakhir kepada segala bentuk kelezatan
jiwa. Sebagian besar condong kepada perhiasan dunia
tersebut dan menjadikannya sebagai tujuan terbesar dari
cita-cita, cinta dan ilmu mereka. Padahal semua itu adalah
perhiasan yang sedikit dan akan hilang dalam waktu yang
sangat cepat. ”
Definisi Cinta
Untuk mendefinisikan cinta sangatlah sulit, karena tidak bisa
dijangkau dengan kalimat dan sulit diraba dengan kata-kata.
Ibnul Qayyim mengatakan: “Cinta tidak bisa didefinisikan
dengan jelas, bahkan bila didefinisikan tidak menghasilkan
(sesuatu) melainkan menambah kabur dan tidak jelas,
(berarti) definisinya adalah adanya cinta itu
sendiri. ” (Madarijus Salikin, 3/9)
Hakikat Cinta
Cinta adalah sebuah amalan hati yang akan terwujud dalam
(amalan) lahiriah. Apabila cinta tersebut sesuai dengan apa
yang diridhai Allah, maka ia akan menjadi ibadah. Dan
sebaliknya, jika tidak sesuai dengan ridha-Nya maka akan
menjadi perbuatan maksiat. Berarti jelas bahwa cinta adalah
ibadah hati yang bila keliru menempatkannya akan
menjatuhkan kita ke dalam sesuatu yang dimurkai Allah yaitu
kesyirikan.
Cinta kepada Allah
Cinta yang dibangun karena Allah akan menghasilkan
kebaikan yang sangat banyak dan berharga. Ibnul Qayyim
dalam Madarijus Salikin (3/22) berkata: ”Sebagian salaf
mengatakan bahwa suatu kaum telah mengaku cinta kepada
Allah lalu Allah menurunkan ayat ujian kepada mereka:
“Katakanlah: jika kalian cinta kepada Allah maka ikutilah aku,
niscaya Allah akan mencintai kalian .” (Ali ‘Imran: 31)
Mereka (sebagian salaf) berkata: “(firman Allah) ‘Niscaya
Allah akan mencintai kalian’, ini adalah isyarat tentang bukti
kecintaan tersebut dan buah serta faidahnya. Bukti dan tanda
(cinta kepada Allah) adalah mengikuti Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wassalam, faidah dan buahnya adalah kecintaan Allah
kepada kalian. Jika kalian tidak mengikuti Rasulullah
Shallallahu’alaii wassalam maka kecintaan Allah kepada
kalian tidak akan terwujud dan akan hilang. ”
Bila demikian keadaannya, maka mendasarkan cinta kepada
orang lain karena-Nya tentu akan mendapatkan kemuliaan
dan nilai di sisi Allah. bersabda Rasulullah dalam hadits yang
diriwayatkan dari Anas bin Malik :
“Tiga hal yang barangsiapa ketiganya ada pada dirinya,
niscaya dia akan mendapatkan manisnya iman. Hendaklah
Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya,
dan hendaklah dia mencintai seseorang dan tidaklah dia
mencintainya melainkan karena Allah, dan hendaklah dia
benci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah
selamatkan dia dari kekufuran itu sebagaimana dia benci
untuk dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. Al-Bukhari no. 16
dan Muslim no. 43)
Ibnul Qayyim mengatakan bahwa di antara sebab-sebab
adanya cinta (kepada Allah) ada sepuluh perkara :
1. Membaca Al Qur’an, menggali, dan memahami makna-
maknanya serta apa yang dimaukannya.
2. Mendekatkan diri kepada Allah dengan amalan-amalan
sunnah setelah amalan wajib.
3. Terus-menerus berdzikir dalam setiap keadaan.
4. Mengutamakan kecintaan Allah di atas kecintaanmu ketika
bergejolaknya nafsu.
5. Hati yang selalu menggali nama-nama dan sifat-sifat Allah,
menyaksikan dan mengetahuinya.
6. Menyaksikan kebaikan-kebaikan Allah dan segala nikmat-
Nya.
7. Tunduknya hati di hadapan Allah
8. Berkhalwat (menyendiri dalam bermunajat) bersama-Nya
ketika Allah turun (ke langit dunia).
9. Duduk bersama orang-orang yang memiliki sifat cinta dan
jujur.
10. Menjauhkan segala sebab-sebab yang akan menghalangi
hati dari Allah . (Madarijus Salikin, 3/18, dengan ringkas)I
Cinta adalah Ibadah
Sebagaimana telah lewat, cinta merupakan salah satu dari
ibadah hati yang memiliki kedudukan tinggi dalam agama
sebagaimana ibadah-ibadah yang lain. Allah Subhanahu wa
taala berfirman:
“Tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan
menjadikan iman itu indah dalam hatimu .” (Al-Hujurat: 7)
“Dan orang-orang yang beriman lebih cinta kepada
Allah.” (Al-Baqarah: 165)
“Maka Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah
mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya .” (Al-
Maidah: 54)
adalah hadits Anas yang telahrAdapun dalil dari hadits
Rasulullah disebut di atas yang dikeluarkan oleh Al-Imam Al-
Bukhari dan Al-Imam Muslim: “Hendaklah Allah dan Rasul-
Nya lebih dia cintai daripada selain keduanya .”
Macam-macam cinta
Di antara para ulama ada yang membagi cinta menjadi dua
bagian dan ada yang membaginya menjadi empat. Asy-
Syaikh Muhammad bin ‘Abdulwahhab Al-Yamani dalam kitab
Al-Qaulul Mufid fi Adillatit Tauhid (hal. 114) menyatakan
bahwa cinta ada empat macam :
1. Cinta ibadah.
Yaitu mencintai Allah dan apa-apa yang dicintai-Nya, dengan
dalil ayat dan hadits di atas.
2. Cinta syirik.
Yaitu mencintai Allah dan juga selain-Nya. Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman:
“Dan di antara manusia ada yang menjadikan selain Allah
sebagai tandingan-tandingan (bagi Allah), mereka mencintai
tandingan-tandingan tersebut seperti cinta mereka kepada
Allah.” (Al-Baqarah: 165)
3. Cinta maksiat.
Yaitu cinta yang akan menyebabkan seseorang melaksanakan
apa yang diharamkan Allah dan meninggalkan apa-apa yang
diperintahkan-Nya. Allah berfirman:
“Dan kalian mencintai harta benda dengan kecintaan yang
sangat .” (Al-Fajr: 20)
4. Cinta tabiat.
Seperti cinta kepada anak, keluarga, diri, harta dan perkara
lain yang Idibolehkan. Namun tetap cinta ini sebatas cinta
tabiat. Allah berfirman:
“Ketika mereka (saudara-saudara Yusuf ‘alaihis salam)
berkata: ‘Yusuf dan adiknya lebih dicintai oleh bapak kita
daripada kita .” (Yusuf ; 8 )
Jika cinta tabiat ini menyebabkan kita tersibukkan dan lalai
dari ketaatan kepada Allah sehingga meninggalkan
kewajiban-kewajiban, maka berubahlah menjadi cinta
maksiat. Bila cinta tabiat ini menyebabkan kita lebih cinta
kepada benda-benda tersebut sehingga sama seperti cinta
kita kepada Allah atau bahkan lebih, maka cinta tabiat ini
berubah menjadi cinta syirik.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa yang
menggerakkan hati menuju Allah ada tiga perkara: cinta,
takut, dan harapan. Dan yang paling kuat adalah cinta, dan
cinta itu sendiri merupakan tujuan karena akan didapatkan di
dunia dan di akhirat.” (Majmu’ Fatawa, 1/95)
Asy-Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di menyatakan ” Dasar
tauhid dan ruhnya adalah keikhlasan dalam mewujudkan cinta
kepada Allah. Cinta merupakan landasan penyembahan dan
peribadatan kepada-Nya, bahkan cinta itu merupakan hakikat
ibadah. Tidak akan sempurna tauhid kecuali bila kecintaan
seorang hamba kepada Rabbnya juga sempurna .” (Al-Qaulus
Sadid, hal. 110)
Bila kita ditanya bagaimana hukumnya cinta kepada selain
Allah? Maka kita tidak boleh mengatakan haram dengan
spontan atau mengatakan boleh secara global, akan tetapi
jawabannya perlu dirinci.
1. Bila dia mencintai selain Allah lebih besar atau sama
dengan cintanya kepada Allah maka ini adalah cinta syirik,
hukumnya jelas haram.
2. Bila dengan cinta kepada selain Allah menyebabkan kita
terjatuh dalam maksiat maka cinta ini adalah cinta maksiat,
hukumnya haram.
3. Bila merupakan cinta tabiat maka yang seperti ini
diperbolehkan.
Wallahu a’lam.
(Dikutip dari: http://www.asysyariah.com , Penulis : Al-Ustadz
Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah An-Nawawi, judul:
Arti Sebuah Cinta !

Read more…

Untukmu yang bertanya tentang tata cara wudhu yang benar

Oleh : Al-Ustadz Abu Ibrahim Abdullah bin Mudakir
Mengetahui bagaimana tatacara wudhu yang benar adalah
perkara yang sangat penting dikarenakan wudhu adalah ibadah
yang sangat agung dan merupakan syarat sah ibadah shalat
seseorang. Di samping itu wudhu mempunyai keutamaan yang
sangat banyak dan itu dicapai dengan niat yang ikhlas dan
berwudhu yang benar.
TATACARA WUDHU
Pembahasan Pertama: Pengertian Wudhu
ﺍﺳﺘﻌﻤﺎﻝ ﺍﻟﻤﺎﺀ ﻓﻲ ﺍﻷﻋﻀﺎﺀ ﺍﻷﺭﺑﻌﺔ - ﻭﻫﻲ ﺍﻟﻮﺟﻪ ﻭﺍﻟﻴﺪﺍﻥ ﻭﺍﻟﺮﺃﺱ
ﻭﺍﻟﺮﺟﻼﻥ - ﻋﻠﻰ ﺻﻔﺔ ﻣﺨﺼﻮﺻﺔ ﻓﻲ ﺍﻟﺸﺮﻉ، ﻋﻠﻰ ﻭﺟﻪ ﺍﻟﺘﻌﺒﺪ ﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ
Menggunakan air pada anggota tubuh yang empat – wajah,
kedua tangan, kepala dan kedua kaki- menurut sifat (tatacara –
ed) tertentu dalam syar’i dalam rangka beribadah kepada Allah
Ta’aala. (Al-Fiqh al-Muyasar, hlm 33)
Pembahasan Kedua: Keutamaan-Keutamaan Wudhu
Wudhu mempunyai keutamaan yang sangat banyak, diantaranya
apa yang kami sebutkan dalil-dalinya dibawah ini:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
ﻣَﻦْ ﺗَﻮَﺿَّﺄَ ﻓَﺄَﺣْﺴَﻦَ ﺍﻟْﻮُﺿُﻮﺀَ ﺧَﺮَﺟَﺖْ ﺧَﻄَﺎﻳَﺎﻩُ ﻣِﻦْ ﺟَﺴَﺪِﻩِ ﺣَﺘَّﻰ ﺗَﺨْﺮُﺝَ ﻣِﻦْ
ﺗَﺤْﺖِ ﺃَﻇْﻔَﺎﺭِﻩِ
“Barangsiapa yang membaguskan wudhu keluarlah dosa-
dosanya dari jasadnya sampai keluar dari bawah kukunya.” ( HR.
Muslim no. 245)
dalam hadits yang lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,
ﻣَﺎ ﻣِﻨْﻜُﻢْ ﻣِﻦْ ﺃَﺣَﺪٍ ﻳَﺘَﻮَﺿَّﺄُ ﻓَﻴُﺒْﻠِﻎُ – ﺃَﻭْ ﻓَﻴُﺴْﺒِﻎُ – ﺍﻟْﻮُﺿُﻮﺀَ ﺛُﻢَّ ﻳَﻘُﻮﻝُ ﺃَﺷْﻬَﺪُ ﺃَﻥْ ﻻَ
ﺇِﻟَﻪَ ﺇِﻻَّ ﺍﻟﻠَّﻪُ
ﻭَﺃَﻥَّ ﻣُﺤَﻤَّﺪًﺍ ﻋَﺒْﺪُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻭَﺭَﺳُﻮﻟُﻪُ ﺇِﻻَّ ﻓُﺘِﺤَﺖْ ﻟَﻪُ ﺃَﺑْﻮَﺍﺏُ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ ﺍﻟﺜَّﻤَﺎﻧِﻴَﺔُ ﻳَﺪْﺧُﻞُ ﻣِﻦْ
ﺃَﻳِّﻬَﺎ ﺷَﺎﺀَ
“Tidaklah salah seorang di antara kalian berwudhu dan sampai
selesai atau menyempurnakan wudhu kemudian membaca doa :
“Aku bersaksi tidak ada ilah (sesembahan) yang berhaq
disembah kecuali Allah dan aku bersaksi bahwasanya
Muhammad adalah hamba Allah dan utusan-Nya, melainkan
akan dibukakan baginya delapan pintu surga yang dia bisa
masuk dari pintu mana saja yang dia kehendaki.”
Dalam sebuah riwayat : “Aku bersaksi tidak ada ilah
(sesembahan) yang berhaq disembah kecuali Allah semata yang
tidak ada sekutu bagi-Nya dan aku bersaksi bahwasanya
Muhammad adalah hamba Allah dan utusan-Nya” (HR. Muslim)
Dalam sebuah hadits dimana Utsman berkata,
ﺭَﺃَﻳْﺖُ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲَّ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻳَﺘَﻮَﺿَّﺄُ ﻧَﺤْﻮَ ﻭُﺿُﻮﺋِﻲ ﻫَﺬَﺍ ﻭَﻗَﺎﻝَ ﻣَﻦْ ﺗَﻮَﺿَّﺄَ
ﻧَﺤْﻮَ ﻭُﺿُﻮﺋِﻲ ﻫَﺬَﺍ ﺛُﻢَّ ﺻَﻠَّﻰ ﺭَﻛْﻌَﺘَﻴْﻦِ ﻻَ ﻳُﺤَﺪِّﺙُ ﻓِﻴﻬِﻤَﺎ ﻧَﻔْﺴَﻪُ ﻏَﻔَﺮَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻟَﻪُ ﻣَﺎ
ﺗَﻘَﺪَّﻡَ ﻣِﻦْ ﺫَﻧْﺒِﻪِ
“Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berwudhu
seperti wudhuku ini dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda : ‘Barangsiapa yang berwudhu seperti wudhuku ini
kemudian shalat dua rakaat tidak berkata-kata di jiwanya
(khusyu’), maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang
telah lalu.’” ( HR. Bukhari no. 159 dan Muslim no. 423)
Pembahasan Ketiga: Syarat-syarat Wudhu
Wudhu mempunyai syarat-syaratnya yang sebagiannya
merupakan syarat-syarat ibadah yang lainnya juga. Yaitu Islam,
berakal, tamyyiz, niat, menggunakan air yang suci,
menghilangkan apa yang dapat menghalangi sampainya air ke
kulit seperti tanah, cat, atau yang lainnya. (silahkan lihat ar-
Raudul Murbi’: 189, al-Mulakhos al-Fiqhy: 1/41)
Penjelasannya secara singkat
1. Islam
Ini adalah syarat sahnya ibadah termasuk wudhu menurut
kesepakatan (ijma’) ulama. Di antara dalilnya adalah firman Allah
Ta’aala,
ﻭَﻣَﺎ ﻣَﻨَﻌَﻬُﻢْ ﺃَﻥْ ﺗُﻘْﺒَﻞَ ﻣِﻨْﻬُﻢْ ﻧَﻔَﻘَﺎﺗُﻬُﻢْ ﺇِﻟَّﺎ ﺃَﻧَّﻬُﻢْ ﻛَﻔَﺮُﻭﺍ ﺑِﺎﻟﻠﻪِ ﻭَﺑِﺮَﺳُﻮﻟِﻪِ
“Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari
mereka nafkah-nafkahnya melainkan karena mereka kafir kepada
Allah dan Rasul-Nya.” (at-Taubah: 54)
2. Berakal
Orang gila tidak diterima wudhunya karena dia orang yang tidak
berakal.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
ﺭُﻓِﻊَ ﺍﻟْﻘَﻠَﻢُ ﻋَﻦْ ﺛَﻼَﺛَﺔٍ ﻋَﻦِ ﺍﻟﻨَّﺎﺋِﻢِ ﺣَﺘَّﻰ ﻳَﺴْﺘَﻴْﻘِﻆَ ﻭَﻋَﻦِ ﺍﻟﺼَّﺒِﻰِّ ﺣَﺘَّﻰ ﻳَﺤْﺘَﻠِﻢَ
ﻭَﻋَﻦِ ﺍﻟْﻤَﺠْﻨُﻮﻥِ ﺣَﺘَّﻰ ﻳَﻌْﻘِﻞَ
“Diangkat pena dari tiga orang, dari orang yang tidur sampai dia
bangun, dari anak kecil sampai dia baligh, dari orang gila sampai
dia berakal.” (HR. Abu Dawud no. 4450 , at-Tirmidzi no. 1423
dan Ibnu Majjah no. 2041)
3. Tamyiiz (mampu membedakan yang baik dan yang buruk)
Anak kecil yang belum tamyyiz tidak sah wudhunya.
4. Niat
Tentang hal ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﺍﻷَﻋْﻤَﺎﻝُ ﺑِﺎﻟﻨِّﻴَّﺎﺕِ
“Sesungguhnya amalan itu tergantung dari niatnya.” ( HR.
Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907)
5. Menggunakan air yang suci
Tidak boleh berwudhu dengan air yang najis, bahkan wajib untuk
berwudhu dengan air yang suci.
6. Menghilangkan apa yang dapat menghalangi sampainya air ke
kulit
Wajibnya untuk menghilangkan sesuatu yang dapat menghalangi
sampainya air ke kulit agar apat tercapai kesempurnaan wudhu.
Pembahasan Keempat: Fardhu-fardhu Wudhu
Menurut pendapat yang benar bahwasanya wajib dan fardhu
mempunyai makna yang sama tidak ada perbedaan. Fardhu-
fardhu wudhu ada enam yaitu: mencuci wajah termasuk bagian
wajah berkumur-kumur dan istinsyaq, mencuci kedua tangan
sampai siku, mengusap kepala seluruhnya dan termasuk bagian
kepala kedua telinga, membasuh kedua kaki, tartib (berurutan),
muwaalaat (berkesinambungan/tidak teputus). (Silakan lihat
kitab Duruus al-Muhimmah li ‘aammatil Ummah, Syaikh Ibnu
Baaz Rahimahullah )
Dalilnya firman Allah Ta’aala:
ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﺇِﺫَﺍ ﻗُﻤْﺘُﻢْ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﺼَّﻼﺓِ ﻓَﺎﻏْﺴِﻠُﻮﺍ ﻭُﺟُﻮﻫَﻜُﻢْ ﻭَﺃَﻳْﺪِﻳَﻜُﻢْ ﺇِﻟَﻰ
ﺍﻟﻤَﺮَﺍﻓِﻖِ ﻭَﺍﻣْﺴَﺤُﻮﺍ ﺑِﺮُﺀُﻭﺳِﻜُﻢْ ﻭَﺃَﺭْﺟُﻠَﻜُﻢْ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟْﻜَﻌْﺒَﻴْﻦِ
“Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian hendak berdiri
mengerjakan shalat, basuhlah wajah-wajah kalian, kemudian
tangan-tangan kalian sampai siku, kemudian usaplah kepala-
kepala kalian, kemudian basuhlah kaki-kaki kalian sampai kedua
mata kaki.” (al-Maidah: 6)
Di antara perkara yang hukumnya wajib adalah seseorang
berwudhu secara tartib, yaitu berwudhu sesusi dengan runtutan
yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya. Begitu juga diantara
perkara yang wajib adalah al-Muwaalaat yaitu berkesinambungan
dalam berwudhu sampai selesai tidak terhenti atau terputus.
Pembahasan Kelima: Tatacara Wudhu
1. Niat .
Yaitu berniat di dalam hatinya untuk berwudhu menghilangkan
hadats atau dalam rangka untuk mendirikan shalat. hal ini
berdasarkan sebuah hadits yang diriwayatkan dari Umar bin
Khaththab radhiyallahu ‘anhu , beliau berkata, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﺍﻷَﻋْﻤَﺎﻝُ ﺑِﺎﻟﻨِّﻴَّﺎﺕِ
“Sesungguhnya amalan itu tergantung dari niatnya.” ( HR.
Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907)
Apa hukum niat dalam berwudhu?
Niat adalah syarat sah wudhu dan mandi (mandi janabah)
menurut pendapat yang benar, ini pendapatnya mayoritas ulama
dari kalangan shahabat dan tabi’in, dalilnya berdasarkan hadits
yang telah disebutkan di atas.
Di mana tempatnya niat ?
Niat tempatnya di hati tidak perlu diucapkan.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah:
ﻭَﺍﻟﻨِّﻴَّﺔُ ﻣَﺤَﻠُّﻬَﺎ ﺍﻟْﻘَﻠْﺐُ ﺑِﺎﺗِّﻔَﺎﻕِ ﺍﻟْﻌُﻠَﻤَﺎﺀِ ؛ ﻓَﺈِﻥْ ﻧَﻮَﻯ ﺑِﻘَﻠْﺒِﻪِ ﻭَﻟَﻢْ ﻳَﺘَﻜَﻠَّﻢْ ﺑِﻠِﺴَﺎﻧِﻪِ
ﺃَﺟْﺰَﺃَﺗْﻪُ ﺍﻟﻨِّﻴَّﺔُ ﺑِﺎﺗِّﻔَﺎﻗِﻬِﻢْ
“Dan niat tempatnya dihati menurut kesepakatan para ulama, jika
berniat dalam hatinya dan tidak diucapkan dengan lisannya
cukup/sah sebagai niat menurut kesepakatan mereka.” (Majmu
Fatawa:18/161)
2. Tasmiyah (membaca Basmallah).
Disyariatkan ketika seseorang hendak berwudhu untuk membaca
basmalah, hal ini  berdasarkan dalam sebuah hadits, dimana
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ﻻَ ﺻَﻼَﺓَ ﻟِﻤَﻦْ ﻻَ ﻭُﺿُﻮﺀَ ﻟَﻪُ ﻭَﻻَ ﻭُﺿُﻮﺀَ ﻟِﻤَﻦْ ﻟَﻢْ ﻳَﺬْﻛُﺮِ ﺍﺳْﻢَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ ﻋَﻠَﻴْﻪِ
“Tidak ada shalat (tidak sah) orang yang shalat tanpa berwudhu
dan tidak ada wudhu (tidak sah) wudhunya seseorang yang tidak
menyebut nama Allah.” ( HR. Abu Dawud no. 101, Ibnu Majjah no.
397, dan at-Tirmidzi no. 25 dan dihasankan oleh Syaikh al-
Albani di Irwa’ no. 81 dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu)
Hukum membaca Basmallah ketika berwudhu?
Tentang hal ini para ulama berbeda pendapat, dikarenakan
perbedaan dalam menentukan shahih dan tidaknya hadits
tentang masalah ini.
Jumhur (mayoritas ulama) berpendapat membaca basmalah
ketika berwudhu hukumnya sunnah. Sebagian ulama yang lain
berpendapat hukumnya wajib dan sebagian yang lain
berpendapat bukan sunnah. Wallahu a’lam bish shawwab
adapun kami cenderung kepada pendapat jumhur yang
mengatakan hukumnya sunnah membaca ( ﺑﺎﺳﻢ ﺍﻟﻠﻪ ) ketika
berwudhu. Dalilnya adalah dari hadits diatas yang menunjukkan
wajibnya dan hal itu dipalingkan oleh sebuah ayat. Allah Ta’aala
berfirman,
ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﺇِﺫَﺍ ﻗُﻤْﺘُﻢْ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﺼَّﻼﺓِ ﻓَﺎﻏْﺴِﻠُﻮﺍ ﻭُﺟُﻮﻫَﻜُﻢْ ﻭَﺃَﻳْﺪِﻳَﻜُﻢْ ﺇِﻟَﻰ
ﺍﻟﻤَﺮَﺍﻓِﻖِ ﻭَﺍﻣْﺴَﺤُﻮﺍ ﺑِﺮُﺀُﻭﺳِﻜُﻢْ ﻭَﺃَﺭْﺟُﻠَﻜُﻢْ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟْﻜَﻌْﺒَﻴْﻦِ
“Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian hendak berdiri
mengerjakan shalat, basuhlah wajah-wajah kalian, kemudian
tangan-tangan kalian sampai siku, kemudian usaplah kepala-
kepala kalian, kemudian basuhlah kaki-kaki kalian sampai kedua
mata kaki.” (al-Maidah:6)
Allah tidak menyebutkan pada ayat ini membaca ( ﺑﺎﺳﻢ ﺍﻟﻠﻪ ) ketika
berwudhu. Begitu juga pada hadits-hadits yang menerangkan
tentang wudhunya Rasulullah tidak disebutkan membaca ( ﺑﺎﺳﻢ
ﺍﻟﻠﻪ ) ini menunjukkan hukumnya adalah sunnah.
Berkata Ibnu Qudamah rahimahullah:
ﻭﺇﻥ ﺻﺢ ﺫﻟﻚ ﻓﻴﺤﻤﻞ ﻋﻠﻰ ﺗﺄﻛﻴﺪ ﺍﻻﺳﺘﺤﺒﺎﺏ ﻭﻧﻔﻲ ﺍﻟﻜﻤﺎﻝ ﺑﺪﻭﻧﻬﺎ
“Jika shahih (hadits) itu maka dibawa kemakna atas penekanan
sunnahnya dan peniadaan kesempurnaan
tanpanya.” (Mugni:1/85)
Syaikh al-Allamah Muhammad bin Shalih al-Utsaimin
rahimahullah merajihkan sunnah membaca ( ﺑﺎﺳﻢ ﺍﻟﻠﻪ ) ketika
berwudhu (Syarhul Mumti’:1/358). Wallahu a’lam bish
shawwab.
Kapan dibaca dan bagaimana bacaannya?
Dibaca setelah ia berniat untuk berwudhu sebelum melakukan
seluruhnya dan yang dibaca adalah ( ﺑﺎﺳﻢ ﺍﻟﻠﻪ ) sesuai dengan
hadits. Wallahu a’lam .
Lalu bagaimana hukum membaca basmallah ketika berwudhu di
toliet?
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan dibaca di dalam
hati. Adapun Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah pernah ditanya
dengan pertanyaan: “Apakah seseorang terputus berdzikir sama
sekali ketika berada di hammaam (wc) walau di dalam hatinya?
Maka beliau menjawab,
ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻟﺸﻴﺦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻌﺰﻳﺰ ﺑﻦ ﺑﺎﺯ :
ﺍﻟﺬِّﻛﺮ ﺑﺎﻟﻘﻠﺐ ﻣﺸﺮﻭﻉ ﻓﻲ ﻛﻞ ﺯﻣﺎﻥ ﻭﻣﻜﺎﻥ ، ﻓﻲ ﺍﻟﺤﻤَّﺎﻡ ﻭﻏﻴﺮﻩ ، ﻭﺇﻧﻤﺎ
ﺍﻟﻤﻜﺮﻭﻩ ﻓﻲ ﺍﻟﺤﻤَّﺎﻡ ﻭﻧﺤﻮﻩ :
ﺫﻛﺮ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﺎﻟﻠﺴﺎﻥ ﺗﻌﻈﻴﻤﺎً ﻟﻠﻪ ﺳﺒﺤﺎﻧﻪ ﺇﻻ ﺍﻟﺘﺴﻤﻴﺔ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﻮﺿﻮﺀ ﻓﺈﻧﻪ ﻳﺄﺗﻲ
ﺑﻬﺎ ﺇﺫﺍ ﻟﻢ ﻳﺘﻴﺴﺮ ﺍﻟﻮﺿﻮﺀ
ﺧﺎﺭﺝ ﺍﻟﺤﻤَّﺎﻡ ؛ ﻷﻧﻬﺎ ﻭﺍﺟﺒﺔ ﻋﻨﺪ ﺑﻌﺾ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻌﻠﻢ ، ﻭﺳﻨﺔ ﻣﺆﻛﺪﺓ ﻋﻨﺪ
ﺍﻟﺠﻤﻬﻮﺭ .
” ﻓﺘﺎﻭﻯ ﺍﻟﺸﻴﺦ ﺍﺑﻦ ﺑﺎﺯ ” ‏( 5 / 408 )
“Dzikir di dalam hati disyariatkan pada setiap waktu dan tempat.
Pada saat di wc atau selainnya. Dimakruhkan pada saat di wc
dan yang semisalnya berdzikir menyebut nama Allah dengan
lisannya sebagai pengagungan terhadap Allah -subhaanah-
kecuali ketika berwudhu, dia harus mendatangkannya
(membacanya –ed) apabila tidak mudah baginya berwudhu di
luar wc; dikarenakan membaca bismillah ketika berwudhu
hukumnya wajib menurut sebagian ulama dan sunnah muakad
menurut jumhur (mayoritas ulama).” (Fatawaa’: 5/408)
3. Membasuh kedua telapak tangan.
Membasuh kedua telapak tangan sebanyak tiga kali hal ini
berdasarkan banyak hadits, di antaranya,
ﻋَﻦْ ﺣُﻤْﺮَﺍﻥَ ﻣَﻮْﻟَﻰ ﻋُﺜْﻤَﺎﻥَ ﺑْﻦِ ﻋَﻔَّﺎﻥَ ﺃَﻧَّﻪُ ﺭَﺃَﻯ ﻋُﺜْﻤَﺎﻥَ ﺩَﻋَﺎ ﺑِﻮَﺿُﻮﺀٍ ﻓَﺄَﻓْﺮَﻍَ ﻋَﻠَﻰ
ﻳَﺪَﻳْﻪِ ﻣِﻦْ ﺇِﻧَﺎﺋِﻪِ ﻓَﻐَﺴَﻠَﻬُﻤَﺎ ﺛَﻼَﺙَ ﻣَﺮَّﺍﺕٍ ﺛُﻢَّ ﺃَﺩْﺧَﻞَ ﻳَﻤِﻴﻨَﻪُ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻮَﺿُﻮﺀِ ﺛُﻢَّ
ﺗَﻤَﻀْﻤَﺾَ ﻭَﺍﺳْﺘَﻨْﺸَﻖَ ﻭَﺍﺳْﺘَﻨْﺜَﺮَ ﺛُﻢَّ ﻏَﺴَﻞَ ﻭَﺟْﻬَﻪُ ﺛَﻼَﺛًﺎ ﻭَﻳَﺪَﻳْﻪِ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟْﻤِﺮْﻓَﻘَﻴْﻦِ ﺛَﻼَﺛًﺎ
ﺛُﻢَّ ﻣَﺴَﺢَ ﺑِﺮَﺃْﺳِﻪِ ﺛُﻢَّ ﻏَﺴَﻞَ ﻛُﻞَّ ﺭِﺟْﻞٍ ﺛَﻼَﺛًﺎ ﺛُﻢَّ ﻗَﺎﻝَ ﺭَﺃَﻳْﺖُ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲَّ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ
ﻭﺳﻠﻢ ﻳَﺘَﻮَﺿَّﺄُ ﻧَﺤْﻮَ ﻭُﺿُﻮﺋِﻲ ﻫَﺬَﺍ ﻭَﻗَﺎﻝَ ﻣَﻦْ ﺗَﻮَﺿَّﺄَ ﻧَﺤْﻮَ ﻭُﺿُﻮﺋِﻲ ﻫَﺬَﺍ ﺛُﻢَّ ﺻَﻠَّﻰ
ﺭَﻛْﻌَﺘَﻴْﻦِ ﻻَ ﻳُﺤَﺪِّﺙُ ﻓِﻴﻬِﻤَﺎ ﻧَﻔْﺴَﻪُ ﻏَﻔَﺮَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻟَﻪُ ﻣَﺎ ﺗَﻘَﺪَّﻡَ ﻣِﻦْ ﺫَﻧْﺒِﻪِ
Dari Humran –bekas budaknya Utsman bin Affan- beliau pernah
melihat Utsman meminta air untuk wudhu, lalu beliau (Utsman)
menuangkan air ke kedua telapak tangannya dari wadah
tersebut maka dibasuhlah (dicuci) sebanyak tiga kali , beliau
lantas mencelupkan tangan kanannya ke dalam air tersebut
kemudian berkumur-kumur, istinsyaq (memasukkan air ke dalam
hidung) dan istinsyar (mengeluarkannya). Kemudian beliau
membasuh wajahnya sebanyak tiga kali, kemudian membasuh
tangannya sampai sikunya sebanyak tiga kali, kemudian
mengusap kepalanya, kemudian membasuh (mencuci) setiap
kakinya sebanyak tiga kali. Kemudian beliau berkata : “Aku
melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berwudhu seperti
wudhuku ini dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda : ‘Barangsiapa yang berwudhu seperti wudhuku ini
kemudian shalat dua rakaat tidak berkata-kata di jiwanya
(khusyu’), maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang
telah lalu.’” ( HR. Bukhari no. 159 dan Muslim no. 423)
Terkadang dilakukan sebanyak dua kali atau satu kali.
Hukum membasuh telapak tangan pada permulaan berwudhu?
Para ulama ijma’ (sepakat) tentang hukumnya sunnah
membasuh kedua telapak tangan dalam permulaan berwudhu
sebagaimana yang dinukilkan oleh Ibnul Mundzir dan al-Imam
an-Nawawi rahimahullah.
Berkata al-Imam Ibnul Mundzir rahimahullah:
ﺃﺟﻤﻊ ﻛﻞ ﻣﻦ ﻧﺤﻔﻆ ﻋﻨﻪ ﻣﻦ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﻏﺴﻞ ﺍﻟﻴﺪﻳﻦ ﻓﻲ ﺍﺑﺘﺪﺍﺀ
ﺍﻟﻮﺿﻮﺀ ﺳﻨﺔ
“Telah ijma’ (sepakat) setiap orang dari kalangan ahlu ilmi (para
ulama) yang kami hapal darinya bahwa membasuh kedua telapak
tangan pada permulaan wudhu hukumnya sunnah.” (Al-
Ausath:1/375)
Hukum menyela-nyela jari jemari tangan dan kaki ketika
berwudhu
Disyariatkan untuk menyela-nyela jari jemari tangan dan kaki
ketika berwudhu, hal ini berdasarkan pada sebuah hadits dimana
ﺃَﺳْﺒِﻎِ ﺍﻟْﻮُﺿُﻮﺀَ ﻭَﺧَﻠِّﻞْ ﺑَﻴْﻦَ ﺍﻷَﺻَﺎﺑِﻊِ ﻭَﺑَﺎﻟِﻎْ ﻓِﻰ ﺍﻻِﺳْﺘِﻨْﺸَﺎﻕِ ﺇِﻻَّ ﺃَﻥْ ﺗَﻜُﻮﻥَ ﺻَﺎﺋِﻤًﺎ
“Sempurnakanlah dalam berwudhu, sela-selalah jari jemari,
bersungguh-sungguh dalam beristinsyak (memasukkan air
kedalam hidung dengan tarikan nafas –ed) kecuali dalam
keadaan berpuasa.” ( HR. Ashabus Sunan, dan sanadnya shahih.
Hadits ini tercantum pada shahihul musnad Syaikh Muqbil
rahimahullah no 1096).
Adapun tentang hukumnya para ulama berselisih pendapat.
Sebagian ulama berpendapat hukumnya sunnah menyela-nyela
jari jemari tangan dan kaki ketika berwudhu. Sebagian yang lain
bependapat wajib. Adapun kami pribadi cenderung kepada
pendapat yang mengatakan hukumnya sunnah. Berkata Asy-
syaikh Al-Allamah Abdullah al-Bassam rahimahullah:
“Sampainya air kejari jemari kaki tanpa disela-sela, dengan ini
sampailah pada batasan wajib (meratanya air keanggota wudhu
–ed); maka yang tersisia tinggal yang hukumnya sunnah atas
kehati-hatian dalam hal itu.” (Taudihul Ahkaam:1/218)
4. Madmadhah (berkumur-kumur), Istinsyaq (memasukkan
air ke dalam hidung dengan menghirupnya) dan istinsyar
(mengeluarkan air dari hidung).
Dalil tentang hal ini dalam banyak hadits di antaranya,
Yang diriwayatkan oleh Humran tentang praktek wudhu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang dilakukan oleh
Utsman bin Affan sampai pada
ﺛُﻢَّ ﺃَﺩْﺧَﻞَ ﻳَﻤِﻴﻨَﻪُ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻮَﺿُﻮﺀِ ﺛُﻢَّ ﺗَﻤَﻀْﻤَﺾَ ﻭَﺍﺳْﺘَﻨْﺸَﻖَ ﻭَﺍﺳْﺘَﻨْﺜَﺮَ
“….. Beliau lantas mencelupkan tangan kanannya ke dalam air
tersebut kemudian berkumur-kumur, istinsyaq (memasukkan air
ke dalam hidung) dan istinsyar (mengeluarkannya)…” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits yang lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda ,
ﺇِﺫَﺍ ﺗَﻮَﺿَّﺄَ ﺃَﺣَﺪُﻛُﻢْ ﻓَﻠْﻴَﺠْﻌَﻞْ ﻓِﻲ ﺃَﻧْﻔِﻪِ ﻣﺎﺀ ﺛُﻢَّ ﻟِﻴَﻨْﺜُﺮْ
“Jika salah seorang dari kalian berwudhu maka hendaknya dia
menghirup air ke hidung lalu mengeluarkannya.” ( HR. Bukhari
dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu )
Berkumur-kumur, istinsyaq dan istinsyar dilakukan terkadang
sebanyak tiga kali atau dua kali atau satu kali.
Hukum berkumur-kumur dan istinsyaq (memasukkan air ke
dalam hidung) ketika berwudhu ?
Para ulama berselisih pendapat tentang hal ini, Insya Allah
pendapat yang rajih (tepilih) yang kami pribadi cenderung
kepadanya bahwasanya berkumur-kumur dan istinsyaq
hukumnya wajib. Berdasarkan sebuah hadits Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ﺇِﺫَﺍ ﺗَﻮَﺿَّﺄْﺕَ ﻓَﻤَﻀْﻤِﺾْ
“Jika kamu berwudhu maka berkumurlah.” ( HR. Abu Dawud no.
144, dishahihkan oleh Syaikh al-Albani di shahih Abi Dawud
no.131) . Dan ini madzhabnya Ibnu Abi Laila, Hammad, Ishaaq
dan masyhur dari Imam Ahmad.
Bagaimana cara berkumur-kumur dan istinsyaq (memasukkan
air ke dalam hidung)?
Berkumur-kumur dan istinsyaq (memasukkan air ke dalam
hidung) dengan tangan kanan kemudian istintsar (mengeluarkan
air dari hidung) dengan tangan kiri. Sebagaimana dalam sebuah
hadits,
ﻭَﻧَﺤْﻦُ ﺟُﻠُﻮﺱٌ ﻧَﻨْﻈُﺮُ ﺇِﻟَﻴْﻪِ ﻓَﺄَﺩْﺧَﻞَ ﻳَﺪَﻩُ ﺍﻟْﻴُﻤْﻨَﻰ ﻓَﻤَﻸَ ﻓَﻤَﻪُ ﻓَﻤَﻀْﻤَﺾَ ﻭَﺍﺳْﺘَﻨْﺸَﻖَ
ﻭَﻧَﺜَﺮَ ﺑِﻴَﺪِﻩِ ﺍﻟْﻴُﺴْﺮَﻯ ﻓَﻌَﻞَ ﻫَﺬَﺍ ﺛَﻼَﺙَ ﻣَﺮَّﺍﺕٍ ، ﺛُﻢَّ ﻗَﺎﻝَ : ﻣَﻦْ ﺳَﺮَّﻩُ ﺃَﻥْ ﻳَﻨْﻈُﺮَ ﺇِﻟَﻰ
ﻃُﻬُﻮﺭِ ﺭَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓَﻬَﺬَﺍ ﻃُﻬُﻮﺭُﻩُ
Dari Abdi Khoir berkata : “Suatu ketika kami duduk-duduk
sembari melihat Ali yang sedang berwudhu. Lalu Ali
memasukkan tangan kanannya, memenuhi mulutnya (dengan air)
kemudian berkumur dan memasukkan air ke dalam hidung dan
mengeluarkan air dengan menggunakan tangan kirinya . Dia
melakukan hal itu sebanyak tiga kali lantas mengatakan, siapa
yang suka untuk melihat tatacara wudhunya Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam maka inilah sifat wudhunya
beliau.” ( HR. ad-Darimi dari Abdi Khair, Syaikh al-Albani
mengatakan sanadnya shahih di al-Misykat 1/89)
Apakah menggabungkan dengan satu cidukan untuk berkumur-
kumur dan istinsyaq (memasukkan air kedalam hidung) atau
memisahkan satu cidukan untuk berkumur-kumur dan
mengambil air lagi untuk istinsyaq ?
Mayoritas ulama berpendapat menggabungkan cidukan air untuk
berkumur-kumur dan istinsyaq. Sebagaimana dalam sebuah
hadits yang diriwayatkan dari shahabat Abdullah bin Zaid yang
mencontohkan wudhunya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
(sampai pada)
ﻓَﻤَﻀْﻤَﺾَ ﻭَﺍﺳْﺘَﻨْﺸَﻖَ ﻣِﻦْ ﻛَﻒٍّ ﻭَﺍﺣِﺪَﺓٍ ﻓَﻔَﻌَﻞَ ﺫَﻟِﻚَ ﺛَﻼَﺛًﺎ
“Berkumur-kumur dan beristinsyaq (memasukkan air kehidung)
dari satu telapak tangan dilakukan sebanyak tiga kali.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Dan ini pendapat yang benar.
5. Membasuh wajah.
Membasuh wajah adalah mulai dari tempat tumbuhnya rambut
kepala menuju ke bagian bawah kumis dan jenggot sampai
pangkal kedua telinga, hingga mengenai persendian yaitu bagian
wajah yang terletak antara jengot dan telinga.
Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’aala :
ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﺇِﺫَﺍ ﻗُﻤْﺘُﻢْ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﺼَّﻼﺓِ ﻓَﺎﻏْﺴِﻠُﻮﺍ ﻭُﺟُﻮﻫَﻜُﻢْ ﻭَﺃَﻳْﺪِﻳَﻜُﻢْ ﺇِﻟَﻰ
ﺍﻟﻤَﺮَﺍﻓِﻖِ ﻭَﺍﻣْﺴَﺤُﻮﺍ ﺑِﺮُﺀُﻭﺳِﻜُﻢْ ﻭَﺃَﺭْﺟُﻠَﻜُﻢْ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟْﻜَﻌْﺒَﻴْﻦِ
“Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian hendak berdiri
mengerjakan shalat, basuhlah wajah-wajah kalian, kemudian
tangan-tangan kalian sampai siku, kemudian usaplah kepala-
kepala kalian, kemudian basuhlah kaki-kaki kalian sampai kedua
mata kaki.” (al-Maidah:6)
Dan dalam banyak hadits diantaranya hadits yang diriwayatkan
dari Humran maula (bekas budaknya) Utsman menuturkan
bahwa Utsman meminta air wudhu lalu menyebutkan sifat wudhu
Nabi shallallahu alaihi wasallam “… (sampai pada)
ﺛُﻢَّ ﻏَﺴَﻞَ ﻭَﺟْﻬَﻪُ ﺛَﻼَﺛًﺎ
Kemudian mencuci wajahnya sebanyak tiga kali..” (HR. Bukhari
dan Muslim)
Hukum membasuh wajah ketika wudhu?
Para ulama ijma’ (sepakat) tentang wajibnya membasuh wajah
didalam berwudhu. Sebagaimana dinukilkan oleh Imam At-
Thahawi, Al-Maawardi, Ibnu Rusd, Ibnu Qudamah dan An-
Nawawi.
Apabila seseorang hendak membasuh wajah dan pada wajahnya
ada jenggotnya
Ada perinciannya
Pertama: Apabila jengotnya lebat tidak dibasuh kecuali yang
zhohir (bagian luar/permukaan jenggot) darinya.
Kedua: Apabila jengotnya tipis , mayoritas ulama berpendapat
wajib membasuhnya dan membasuh kulitnya, mereka berdalil
pada keumuman ayat
“Maka basuhlah wajah-wajah kalian” (Al-Maidah : 6).
6. Membasuh kedua tangan sampai ke siku.
Allah Subhaanahu wata’aala berfirman
ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﺇِﺫَﺍ ﻗُﻤْﺘُﻢْ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﺼَّﻼﺓِ ﻓَﺎﻏْﺴِﻠُﻮﺍ ﻭُﺟُﻮﻫَﻜُﻢْ ﻭَﺃَﻳْﺪِﻳَﻜُﻢْ ﺇِﻟَﻰ
ﺍﻟﻤَﺮَﺍﻓِﻖِ ﻭَﺍﻣْﺴَﺤُﻮﺍ ﺑِﺮُﺀُﻭﺳِﻜُﻢْ ﻭَﺃَﺭْﺟُﻠَﻜُﻢْ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟْﻜَﻌْﺒَﻴْﻦِ
“Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian hendak berdiri
mengerjakan shalat, basuhlah wajah-wajah kalian, kemudian
tangan-tangan kalian sampai siku, kemudian usaplah kepala-
kepala kalian, kemudian basuhlah kaki-kaki kalian sampai kedua
mata kaki.” (al-Maidah:6)
Dan ( ﺇﻟﻰ ) pada ayat ini bermakna (bersama : ﻣﻊ ), maka wajib
untuk memasukkan siku dalam penyucian kedua tangan.
Dan sebuah hadits yang diriwayatkan dari Humran Maula (bekas
budaknya) Utsman menuturkan bahwa Utsman meminta air
wudhu lalu mempratekkan sifat wudhu Nabi shallallahu alaihi
wasallam “… (sampai pada)
ﻭَﻳَﺪَﻳْﻪِ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟْﻤِﺮْﻓَﻘَﻴْﻦِ ﺛَﻼَﺛًﺎ
mencuci kedua tangannya sampai kesiku sebanyak tiga
kali…” (HR. Bukhari dan Muslim)
Membasuh tangan sampai siku dilakukan terkadang sebanyak
tiga kali atau dua kali atau satu kali.
Hukum membasuh kedua tangan sampai siku ketika berwudhu?
Para ulama sepakat (ijma’) tentang wajibnya mencuci kedua
tangan sampai ke siku. Sebagaimana dinukilkan oleh oleh At-
Thahawi, Ibnu Abdil Bar, Ibnu Hazm, Ibnu Rusyd, Ibnu Qudamah
dan An-Nawawi.
Bagaimana jika seseorang tangannya atau bagian dari tangannya
terpotong, masihkah dia wajib membasuh tangannya?
Wajib baginya membasuh sisa tangan yang tersisa, yaitu jika
tangannya terpotong dari bawah siku. Dan tidak ada kewajiban
untuk membasuhnya jika sudah tidak ada lagi bagian yang
dibasuh. Yaitu jika tangannya terpotong dari atas siku. Wallahu
a’lam bish shawwab
7. Mengusap kepala seluruhnya termasuk telinga.
Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’aala :
ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﺇِﺫَﺍ ﻗُﻤْﺘُﻢْ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﺼَّﻼﺓِ ﻓَﺎﻏْﺴِﻠُﻮﺍ ﻭُﺟُﻮﻫَﻜُﻢْ ﻭَﺃَﻳْﺪِﻳَﻜُﻢْ ﺇِﻟَﻰ
ﺍﻟﻤَﺮَﺍﻓِﻖِ ﻭَﺍﻣْﺴَﺤُﻮﺍ ﺑِﺮُﺀُﻭﺳِﻜُﻢْ ﻭَﺃَﺭْﺟُﻠَﻜُﻢْ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟْﻜَﻌْﺒَﻴْﻦِ
“Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian hendak berdiri
mengerjakan shalat, basuhlah wajah-wajah kalian, kemudian
tangan-tangan kalian sampai siku, kemudian usaplah kepala-
kepala kalian, kemudian basuhlah kaki-kaki kalian sampai kedua
mata kaki.” (al-Maidah:6)
Dan sebuah hadits yang diriwayatkan dari Humran Maula (bekas
budaknya) Utsman menuturkan bahwa Utsman meminta air
wudhu kemudian berwudhu“… (sampai pada)
ﺛُﻢَّ ﻣَﺴَﺢَ ﺑِﺮَﺃْﺳِﻪِ
kemudian mengusap kepalanya” (HR. Bukhari dan Muslim)
Apa hukumnya mengusap kepala ketika berwudhu?
Para ulama sepakat (ijma’) tentang wajibnya mengusap kepala
ketika berwudhu. Sebagaimana dinukilkan oleh At-Thahawi, Ibnu
Abdil Bar, Ibnu Rusyd, Ibnu Qudamah dan An-Nawawi dan yang
lainnya
Yang diusap sebagian kepala atau semua?
Yang benar adalah wajib mengusap seluruh kepala berdasarkan
ayat diatas dan karena inilah yang dilakukan oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam dalam banyak hadits yang
menerangkan sifat wudhu Rasullullah shallallahu ‘alaihi
wasallam . Dan ini madzhabnya Imam Malik, Ahmad, Al-Mazini
yang masyhur dari mereka.
Apakah hal ini untuk laki-laki saja atau juga untuk wanita?
Mengusap seluruh kepala untuk laki-laki dan wanita,
sebagaimana disebutkan oleh IbnuTaimiyyah (Majmu Fatawa :
21/23).
Diusap sekali atau tiga kali?
Para ulama berselisih pendapat tentang hal ini, dan pendapat
yang raajih (terpilih) insya Allah pendapat yang mengatakan
diusap sekali, berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh
Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib dan Abdullah bin Zaid dan
ini pendapatnya kebanyakan para ulama.
Apakah kedua telinga termasuk kepala dan apa hukum
mungusapnya?
Kedua telinga termasuk kepala, hal ini berdasarkan sebuah
hadits di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
ﺍﻷُﺫُﻧَﺎﻥِ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺮَّﺃْﺱِ
“Kedua telinga termasuk bagian dari kepala.” ( HR. Ibnu Majah no
443 dan dishahihkan Syaikh Al-Albani di dalam shahih Ibnu
Majah : 375 dan Irwa’ : 84)
Adapun tentang hukumnya para ulama berbeda pendapat hal ini
dikarenakan perbedaan dalam menentukan shahih dan tidaknya
hadits di atas, sebagian ulama mengatakan wajib mengusap
telinga seperti Imam Ahmad dan sebagian lagi berpandangan
sunnah. Insya Allah pendapat yang raajih (terpilih) pendapat
yang mengatakan hukumnya wajib berdasarkan dalil-dalil yang
ada. Berkata Asy-Syaikh Al-Allamah Abdul ‘Aziz bin Baaz
Rahimahullah: “Fardhu-fardhu wudhu ada enam … (disebutkan di
antaranya)… mengusap seluruh kepala dan dan termasuk bagian
kepala, kedua telinga.” (Duruusul Muhimmah Liaamatil Ummah :
62, beserta syarhnya)
Cara mengusapnya bagaimana?
Caranya yaitu mengusap kepala dengan kedua tangan dari depan
menuju ke belakang sampai ke tengkuk kemudian
mengembalikannya ke tempat awal kemudian memasukkan jari
telunjuk ke dalam telinga dan ibu jari di belakang daun telinga
(bagian luar) dan digerakkan dari bawah daun telinga sampai ke
atas.
Tentang hal ini sebagaimana hadits-hadits yang telah lalu
penyebutannya yang menjelaskan tentang sifat wudhu
Rasulullah dan sebuah hadits dari Abdullah bin Amr, beliau
menuturkan tentang sifat wudhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam :
ﺛُﻢَّ ﻣَﺴَﺢَ ﺑِﺮَﺃْﺳِﻪِ ﻓَﺄَﺩْﺧَﻞَ ﺇِﺻْﺒَﻌَﻴْﻪِ ﺍﻟﺴَّﺒَّﺎﺣَﺘَﻴْﻦِ ﻓِﻰ ﺃُﺫُﻧَﻴْﻪِ ﻭَﻣَﺴَﺢَ ﺑِﺈِﺑْﻬَﺎﻣَﻴْﻪِ ﻋَﻠَﻰ
ﻇَﺎﻫِﺮِ ﺃُﺫُﻧَﻴْﻪِ
“… Kemudian beliau mengusap kepala beliau lalu memasukkan
kedua jari telunjuk beliau ke dalam telinga dan mengusap bagian
luar telinga dengan kedua ibu jari tangan beliau.” (HR. Abu
Dawud no 135, An-Nasa’i no 140, Ibnu Majjah no 422 dan
dishahihkan oleh Ibnu Hibban)
Apakah mengambil air yang baru untuk mengusap telinga?
Para ulama berselisih pendapat tentang hal ini, Insya Allah
pendapat yang rajih (kuat) yang mengatakan tidak mengambil air
yang baru cukup dengan air yang digunakan untuk mengusap
kepala. Berdasarkan hadits tentang cara wudhunya Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam , seperti hadits yang diriwayatkan
oleh Abdullah bin Amr dan Ibnu Abbas. Dan ini pendapatnya
kebanyakan ulama.
Kalau pakai imamah apakah dibolehkan mengusap imamahnya
dan kalau boleh bagaimana cara mengusapnya?
Dibolehkan mengusap imamah menurut pendapat yang benar.
Ada dua cara :
Dengan mengusap imamahnya saja hal ini berdasarkan hadits :
ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻲ ﺳَﻠَﻤَﺔَ ﻋَﻦْ ﺟَﻌْﻔَﺮِ ﺑْﻦِ ﻋَﻤْﺮٍﻭ ، ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻴﻪِ ، ﻗَﺎﻝَ ﺭَﺃَﻳْﺖُ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲَّ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ
ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻳَﻤْﺴَﺢُ ﻋَﻠَﻰ ﻋِﻤَﺎﻣَﺘِﻪِ ﻭَﺧُﻔَّﻴْﻪِ
Dari Abi Salamah dari Ja’far bin ‘Amr, dari bapaknya berkata :
“Saya melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengusap
imamah dan kedua sepatu beliau . ” ( HR. Bukhari no 205)
Dan cara mengusapnya seperti mengusap kepala sebagaimana
pendapatnya sebagian ulama di antaranya al-Imam Ahmad.
Mengusap ubun-ubunnya dan imamahnya hal ini berdasarkan
hadits Mughirah bin Syu’bah, beliau menuturkan :
ﺃَﻥَّ ﺍﻟﻨَّﺒِﻰَّ - ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ - ﺗَﻮَﺿَّﺄَ ﻓَﻤَﺴَﺢَ ﺑِﻨَﺎﺻِﻴَﺘِﻪِ ﻭَﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻌِﻤَﺎﻣَﺔِ
ﻭَﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﺨُﻔَّﻴْﻦِ .
“Bahwasanya Nabi berwudhu lalu mengusap ubun-ubun dan
imamah serta kedua khufnya.” (HR. Muslim)
Adapun peci maka tidak disyari’atkan mengusap peci menurut
pendapat yang benar dan ini pendapatnya kebanyakan ulama,
mereka berdalil karena tidak dinukilkan dari Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam. Wallahu a’lam bish shawwab
8. Membasuh kedua kaki sampai mata kaki.
Hal ini berdasarkan Firman Allah Ta’ala :
ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﺇِﺫَﺍ ﻗُﻤْﺘُﻢْ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﺼَّﻼﺓِ ﻓَﺎﻏْﺴِﻠُﻮﺍ ﻭُﺟُﻮﻫَﻜُﻢْ ﻭَﺃَﻳْﺪِﻳَﻜُﻢْ ﺇِﻟَﻰ
ﺍﻟﻤَﺮَﺍﻓِﻖِ ﻭَﺍﻣْﺴَﺤُﻮﺍ ﺑِﺮُﺀُﻭﺳِﻜُﻢْ ﻭَﺃَﺭْﺟُﻠَﻜُﻢْ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟْﻜَﻌْﺒَﻴْﻦِ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak
mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu
sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu
sampai dengan kedua mata kaki…” (Qs. Al Maidah : 6)
Dan berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Utsman di dalam
shahih Bukhari dan Muslim :
ﺛُﻢَّ ﻏَﺴَﻞَ ﻛُﻞَّ ﺭِﺟْﻞٍ ﺛَﻼَﺛًﺎ
“…kemudian mencuci kedua kakinya sebanyak tiga kali.”
Hukum membasuh kedua kaki ketika wudhu?
Membasuh kedua kaki sampai mata kaki hukumnya wajib.
Dalilnya hadits sangat banyak tentang sifat wudhunya Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam . Dan berdasarkan hadits Ibnu Umar,
beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
ﻭَﻳْﻞٌ ﻟِﻸَﻋْﻘَﺎﺏِ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ
“Celakalah tumit-tumit (yang tidak terkena basuhan air wudhu -
ed) dari api neraka.” (HR. Bukhari no 161 dan Muslim no 241)
9. At-Tartiib
Membasuh anggota wudhu satu demi satu dengan urutan yang
sebagaimana Allah dan rasul-Nya perintahkan. Hal ini
berdasarkan dalil ayat dan hadits yang menjelaskan tentang sifat
wudhu. Dan juga berdasarkan hadits :
ﺃَﺑْﺪَﺃُ ﺑِﻤَﺎ ﺑَﺪَﺃَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺑِﻪِ
“Mulailah dengan apa yang Allah mulai dengannya.” ( HR. Muslim
no 1118)
Hukumnya?
Hukumnya wajib tartiib (berurutan) dalam berwudhu menurut
pendapat yang terpilih (Insya Allah) dan ini Madzhabnya Utsman,
Ibnu Abbas dan riwayat dari Ali bin Abi Thalib radiyallahu
anhum . Dan dengannya Qatadah, Abu Tsaur, Syafi’i, Ishaq bin
Rahawaih berpendapat, dan pendapat ini masyhur dari Imam
Ahmad. Dan pendapat ini yang dipilih oleh Ibnu Taimiyyah, Ibnul
Qayyim, Syaikh as-Sa’di, Ibnu Baaz dan Ibnu Utsaimin
rahimahullah jamia’an.
10. Al Muwaalaat (berkesinambungan dalam berwudhu sampai
selesai tidak terhenti atau terputus)
Hal ini berdasarkan sebuah hadits :
ﻋﻦ ﻋُﻤَﺮُ ﺑْﻦُ ﺍﻟْﺨَﻄَّﺎﺏِ ﺃَﻥَّ ﺭَﺟُﻼً ﺗَﻮَﺿَّﺄَ ﻓَﺘَﺮَﻙَ ﻣَﻮْﺿِﻊَ ﻇُﻔُﺮٍ ﻋَﻠَﻰ ﻗَﺪَﻣِﻪِ ﻓَﺄَﺑْﺼَﺮَﻩُ
ﺍﻟﻨَّﺒِﻰُّ - ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ- ﻓَﻘَﺎﻝَ ‏« ﺍﺭْﺟِﻊْ ﻓَﺄَﺣْﺴِﻦْ ﻭُﺿُﻮﺀَﻙَ ‏» . ﻓَﺮَﺟَﻊَ ﺛُﻢَّ
ﺻَﻠَّﻰ
Dari Umar bin Khaththab menuturkan bahwasanya seseorang
berwudhu, bagian kuku pada kakinya tidak terkena air wudhu,
maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memandangnya
maka berkata : “Kembalilah, baguskanlah wudhumu (ulangi –ed),
kemudian orang tersebut kembali berwudhu kemudian
shalat.” (HR. Muslim no 243)
Hukumnya?
Pendapat yang raajih (terpilih) insya Allah yang mengatakan
hukumnya wajib, dalilnya seperti yang telah disebutkan di atas.
Kalau sendainya bukan wajib tentu cukup dengan membasuh
bagian yang tidak terkena air saja setelah terhenti atau terputus,
tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruh untuk
mengulangi wudhunya ini menunjukkan muwaalat
(berkesinambungan) hukumnya wajib. Dan pendapat yang
mengatakan wajib madzhabnya Imam Malik, pada sebuah riwayat
dari Imam Ahmad, Al-Auza’i, Qatadah dan dengannya Ibnu Umar
berpendapat.
Kapan seseorang dikatakan berkesinambungan dan kapan
dikatakan tidak berkesinambungan?
Yaitu seseorang melakukan gerakan-gerakan wudhu secara
berkesinambungan, usai dari satu gerakkan wudhu langsung
diikuti dengan gerakan wudhu berikutnya sebelum kering bagian
tubuh yang baru saja dibasuh. Contohnya seseorang membasuh
wajah maka wajib baginya setelah selesai dari membasuh wajah
untuk segera membasuh tangan sebelum wajah mengering dari
bekas air wudhu. Adapun jika ia menunda membasuh tangan
sehingga air bekas wudhu pada wajah mengering dikarenakan
urusan yang tidak ada kaitannya dengan aktivitas wudhu maka
dia dianggap tidak berkesinambungan dan wudhunya tidak sah.
Berbeda jika dia menunda karena urusan yang terkait dengan
wudhu maka hal itu tidak memutus kesinambungannya dalam
wudhu. Misalnya dia pada saat wudhu melihat bagian tangannya
ada yang terkena cat sehingga dia berusaha menghilangkannya.
Wallahu a’alam bish shawwab.
11. Doa/dzikr setelah wudhu
Tentang hal ini Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
ﻣَﺎ ﻣِﻨْﻜُﻢْ ﻣِﻦْ ﺃَﺣَﺪٍ ﻳَﺘَﻮَﺿَّﺄُ ﻓَﻴُﺒْﻠِﻎُ – ﺃَﻭْ ﻓَﻴُﺴْﺒِﻎُ – ﺍﻟْﻮُﺿُﻮﺀَ ﺛُﻢَّ ﻳَﻘُﻮﻝُ ﺃَﺷْﻬَﺪُ ﺃَﻥْ ﻻَ
ﺇِﻟَﻪَ ﺇِﻻَّ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻭَﺃَﻥَّ ﻣُﺤَﻤَّﺪًﺍ ﻋَﺒْﺪُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻭَﺭَﺳُﻮﻟُﻪُ ﺇِﻻَّ ﻓُﺘِﺤَﺖْ ﻟَﻪُ ﺃَﺑْﻮَﺍﺏُ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ ﺍﻟﺜَّﻤَﺎﻧِﻴَﺔُ
ﻳَﺪْﺧُﻞُ ﻣِﻦْ ﺃَﻳِّﻬَﺎ ﺷَﺎﺀَ
“ Tidaklah salah seorang diantara kalian berwudhu dan sampai
selesai atau menyempurnakan wudhu kemudian membaca doa: “
Aku bersaksi tidak ada ilah (sesembahan) yang berhaq disembah
kecuali Allah dan aku bersaksi bahwasannya Muhammad adalah
hamba Allah dan utusan-Nya, melainkan akan dibukakan baginya
delapan pintu surga yang dia bisa masuk dari pintu mana saja
yang dia kehendaki.”
Dalam sebuah riwayat : “Aku bersaksi tidak ada ilah
(sesembahan) yang berhaq disembah kecuali Allah semata yang
tidak ada sekutu bagi-Nya dan aku bersaksi bahwasannya
muhammad hamba Allah dan utusannya” (HR. Muslim)
Apa hukumnya membaca doa/dzikir diatas setelah wudhu?
Hukumnya sunnah sebagaimana diakatakan oleh Imam An-
Nawawi didalam syarh shahih Muslim.
Catatan :
Tidak boleh seseorang berlebih-lebihan dalam mengunakan air
ketika berwudhu. Hal ini menyelisihi petunjuk Rasulullah
shallahu ‘alahi wasallam , sebagaimana dalam sebuah hadits
Anas Bin Malik berkata :
ﻛَﺎﻥَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲُّ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻳَﻐْﺴِﻞُ ، ﺃَﻭْ ﻛَﺎﻥَ ﻳَﻐْﺘَﺴِﻞُ – ﺑِﺎﻟﺼَّﺎﻉِ ﺇِﻟَﻰ
ﺧَﻤْﺴَﺔِ ﺃَﻣْﺪَﺍﺩٍ ﻭَﻳَﺘَﻮَﺿَّﺄُ ﺑِﺎﻟْﻤُﺪِّ
“ Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mandi dengan satu sha’
sampai lima mud dan berwudhu dengan satu mud.” (HR.
Mutafaqun alaihi)
1 shaa’ = 4 mud
1 mud = gabungan telapak tangan orang dewasa yang sedang
(tidak besar dan kecil)
Pembahasan Keenam: Sunnah-Sunnah wudhu
1. Siwak
2. Mencuci kedua telapak tangan pada awal wudhu.
Sebagaimana yang telah diriwayatkan dari Utsman bin Affan
tentang wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
3. Mendahulukan anggota wudhu yang kanan dari yang kiri.
4. Melakukan sebanyak tiga kali kecuali kepala, mengusap kepala
di lakukan hanya sekali.
5. Menyela-nyela jenggot
6. Menggosok-gosok
7. Menyela-nyela jari jemari tangan dan kaki
Sebagaimana haditsnya telah disebutkan diatas
8. Membaca doa setelah berwudhu
Sebagaimana haditsnya telah disebutkan di atas.
9. Shalat dua rakaat setalah berwudhu
sebagaimana haditsnya telah disebutkan diatas
wallahu a’lam bish shawwab
di tulis oleh Abu Ibrahim Abdullah bin Mudakir
alhamdulillah artikel ini sudah di perbaiki, dari sisi tulisan dan
beberapa ungkapan dari sebelumnya.
Jakarta, Syawwal 1434H/September 2013
Sumber : inginbelajarislam.wordpress.com
——————————–
*Bismillah, bagi antum sekalian yang telah ikut menyebarkan
ilmu dan kebaikan dengan memposting ulang artikel ini di blog
atau website diharapkan untuk ikut MEREVISI sesuai dengan
revisi terbaru yang ada saat ini, atas partisipasi dan
kesediaannya untuk meluangkan waktu, kami mewakili penulis
mengucapkan Jazakumullah khoir. (admin darussalaf.or.id)

Read more…