Oleh
Syaikh Dr. Muhammad bin Musa Alu an Nashr
Kedatangan Syaikh Dr. Muhammad bin Musa Alu an Nashr di kota Solo, dalam
rangka muhibbahnya ke beberapa kota, di antaranya Solo dan Yogyakarta,
alhamdulillah telah menambahkan pemahaman di dalam beragama, khususnya
kepada Salafiyin, dan kaum Muslimin pada umumnya. Dari sesi tanya jawab,
nampak beragamnya persoalan atau perkara-perkara yang ingin diketahui
kaum Muslimin. Di antaranya persoalan yang kembali muncul ke khalayak,
yakni issu global tentang terorisme. Sebuah ironi, Salafiyin tak kurang
mendapatkan tuduhan semacam. Padahal Salafiyin berlepas diri dari sikap
ekstrim seperti itu. Bagaimanakah pandangan Syaikh Dr. Muhammad bin Musa
Alu an Nashr menanggapi issu terorisme yang diarahkan kepada Salafiyin?
Berikut adalah penjelasan beliau -hafizhahullah- menanggapi pertanyaan
tersebut saat muhadharah di Masjid al Karim, Pabelan, Sukoharjo,
Surakarta pada hari Ahad, 19 Februari 2006. Penjelasan beliau ini
ditranskrip dan diterjemahkan oleh Abu Abdillah Arief Budiman bin Usman
Rozali dengan memberikan beberapa catatan kaki yang diperlukan. Semoga
bermanfaat. (Redaksi)
_______________________________________________________________________
Tentang tuduhan terorisme yang diarahkan kepada Salafiyin, Syaikh Dr. Muhammad bin Musa Alu an Nashr memberikan tanggapan:
Saya (Syaikh Dr. Muhammad bin Musa Alu an Nashr, Red) katakan :
Orang yang menuduh kita sebagai teroris, ia termasuk ahlul ghuluw
(berlebih-lebihan dalam tuduhannya). Ia tidak mengerti dakwah salafiyah.
Dakwah salafiyah adalah dakwah Islam. Dakwah salafiyah adalah dakwah
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya [1]. Namun
demikian, tidak boleh seorang salafi (siapapun orangnya) menganggap
dirinya berakhlak seperti akhlak Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam, atau akhlak para sahabatnya.
Dakwah salafiyah berdiri di atas aqidah yang benar, aqidah yang
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya
berkeyakinan dengannya. Dakwah salafiyah tegak di atas manhaj (jalan,
metode, tata cara) Islam yang benar dan lurus, berdiri di atas dalil.
Dakwah ini benar-benar mengagungkan as salaf ash shalih (generasi
terdahulu yang shalih), dari kalangan para sahabat dan tabi’in. Dakwah
ini mengagungkan dan menghormati dalil, (berupa) firman Allah dan
(sabda) RasulNya, tidak mengutamakan dan mengedepankan perkataan
siapapun (di atas perkataan Allah dan RasulNya) betapapun tinggi derajat
dan kedudukan orang itu. Dakwah salafiyah menyeru kepada Allah, kepada
ajaran Islam yang benar, seimbang dan adil. Menyeru kepada
kelemah-lembutan dan menolak kekerasan. Maka, menuduh dakwah salafiyah
sebagai terorisme adalah dusta!
Karena, siapakah yang benar-benar menentang para teroris dan takfiriyin
(orang-orang yang sangat mudah mengafirkan orang lain tanpa sebab yang
haq) saat ini?
Siapakah mereka kalau bukan para ulama dakwah salafiyah? Mereka, yang
pada zaman ini dikenal sangat gigih membela dan berdakwah dengan dakwah
salafiyah ini. Yang paling dikenal di antara mereka, seperti al Imam al
Muhaddits asy Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani, kemudian asy Syaikh
al ‘Allaamah Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baaz, asy Syaikh al ‘Allaamah
Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin. Kemudian murid-murid al Imam al
Muhaddits asy Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani, dan murid-murid
mereka semua.
Merekalah yang jelas-jelas nyata paling menentang dan membantah
pemikiran terorisme ini, baik dengan tulisan-tulisan di dalam
kitab-kitab mereka, kaset-kaset kajian ilmiah mereka, dan dari seputar
kajian-kajian ilmiah mereka secara langsung. Hal ini diketahui oleh
setiap munshif (orang yang adil dalam menghukumi).
Adapun mukabir (orang yang sombong dan keras kepala) dan orang yang
mendustakan kenyataan mereka semua, maka sesungguhnya dia merupakan
generasi (pelanjut) dari tokoh-tokoh (penentang) terdahulu, (yaitu
orang-orang) yang menuduh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
sebagai tukang sihir, orang gila, pemalsu dan pembuat al Qur`an,
pendusta. Mereka hanya menuduh, menuduh, dan terus menuduh (tanpa haq
dan bukti yang benar).
Namun inilah taqdir para nabi, mereka selalu didustakan oleh sebagian umatnya. Allah berfirman:
وَلَقَدْ كُذِّبَتْ رُسُلٌ مِّن قَبْلِكَ فَصَبَرُواْ عَلَى مَا كُذِّبُواْ وَأُوذُواْ حَتَّى أَتَاهُمْ نَصْرُنَا.
Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) rasul-rasul sebelum kamu, akan
tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang
dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Kami terhadap
mereka. [al An’am : 34].
Oleh karena itu, demikianlah keadaan para da’i yang berdakwah kepada
Allah, keadaan para penuntut ilmu agama. Mereka akan selalu mendapatkan
halangan dan rintangan serta hambatan dari orang-orang sesat, ahli
bid’ah, dan orang-orang yang menyimpang dari jalan Allah. Mereka akan
disakiti oleh para penentang itu.
Para ahli bid’ah, orang-orang sesat, dan orang-orang yang menyimpang
dari jalan Allah, (mereka) tidak akan pernah berhenti melancarkan
usaha-usaha keji (yang mereka buat), berupa provokasi, menaburkan
bibit-bibit pertikaian dan permusuhan di kalangan masyarakat, sehingga
para da’i yang ikhlas berdakwah kepada Allah dan para penuntut ilmu
agama, (mereka) akan selalu mendapatkan rintangan ini.
Ada dua pondok pesantren yang bermanhaj salaf di sebuah pulau. Setelah
para ahli bid’ah, orang-orang sesat, dan orang-orang yang menyimpang
dari jalan Allah ini mengetahui keberadaan dua pondok pesantren ini,
mereka segera menghasut masyarakat setempat, dan akhirnya merekapun
berhasil menghancurkan dan memporakporandakan ke dua pondok pesantren
ini.
Tidak ada yang memacu mereka untuk melakukan tindakan keji ini,
melainkan hasad, dengki dan kebencian yang membakar dada-dada mereka
terhadap para da’i dan para penuntut ilmu agama yang benar dan lurus.
Demikianlah, karena orang sesat memang tidak akan pernah mencintai kebenaran dan ahlinya!
Betapapun demikian, orang-orang yang berpegang teguh dengan manhaj
salaf, pasti akan tetap selalu ada. Mereka selalu konsisten di atas
prinsipnya dalam berdakwah. Tidak berpengaruh tindakan-tindakan orang
yang berusaha berbuat madharat terhadap mereka, juga orang-orang yang
menyelisihi mereka, seperti yang telah disabdakan oleh Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam.
لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِيْ ظَاهِرِيْنَ عَلَى الْحَقِّ لاَ
يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ
كَذَلِكَ.
Akan tetap ada sekelompok dari umatku yang muncul di atas al haq
(kebenaran), tidak membahayakan mereka orang-orang yang meninggalkan
(tidak mempedulikan mereka) sampai datang urusan dari Allah, sedangkan
mereka tetap demikian [2].
Dan golongan ini, para ulama telah menafsirkan, bahwa mereka adalah
ahlul hadits dan ahlul atsar (yaitu orang-orang yang konsisten mengikuti
hadits-hadits dan jejak para as salaf ash shalih).
Maka, saya nasihati setiap muslim, hendaknya ia menjadi seorang salafi.
Saya nasihati setiap muslim, hendaknya ia menjadi seorang salafi [3].
Hendaknya setiap muslim bermanhaj, seperti apa yang telah ditempuh oleh
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Sebuah
manhaj yang tidak berpihak kepada personal tertentu, atau kepada
jamaah-jamaah tertentu.
As salafiyah bukanlah bayi perempuan yang baru terlahir sekarang. Bukan
pula sebuah organisasi yang baru didirikan saat ini. As salafiyah adalah
ajaran yang turun dari Allah, berupa wahyu yang dibawa oleh Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda kepada putrinya Fathimah [4] Radhiyallahu 'anha tatkala ia
meninggal dunia :
اِلْحَقِيْ بِسَلَفِنَا الصَّالِحِ عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُوْنٍ.
Bergabunglah bersama pendahulu kita yang shalih, Utsman bin Mazh’un.[5]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata (yang maknanya):
“Bukan (merupakan) aib, jika seseorang menisbahkan (menyandarkan)
dirinya kepada salaf, karena manhaj salaf adalah (manhaj yang) a’lam
(lebih berilmu), ahkam (lebih bijak dan berhukum), dan aslam (lebih
selamat)”.
Karena jika tidak demikian, bagaimana kita bisa merealisasikan مَا أَناَ عَلَيْهِ وَأَصَحَابِيْ ?!
Lihatlah! Sekarang banyak jamaah dengan bermacam-macam pola mereka, ada
yang ke barat, ada yang ke timur. Semuanya mengikuti jalannya
masing-masing yang berbeda-beda. Kecuali, hanya dakwah salafiyah yang
diberkahi Allah ini. Golongan inilah yang tetap konsisten berpegang
teguh kuat-kuat dengan apa yang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
dan para sahabatnya berada di atasnya.
Oleh karena itu, saya memohon kepada Allah agar mereka -baik para da’i,
para penuntut ilmu, dan orang-orang yang bermanhaj salaf ini- senantiasa
diberikan kemudahan dan keutamaan dariNya, dan agar mereka dijadikan
olehNya generasi-generasi terbaik pewaris mereka. Sesungguhnya Allah-lah
yang berkenan mengabulkan do’a ini dan Maha Berkuasa atas segala
sesuatu. Tidaklah ada seorang yang menentang dakwah yang haq ini,
melainkan Allah pasti akan membinasakannya. Karena Allah akan selalu
membela orang-orang yang beriman (yang membela agamaNya).
Karenanya, seluruh model dakwah apapun (di muka bumi ini) yang berusaha
menghalang-halangi, menentang, dan merintangi dakwah salafiyah, usaha
mereka pasti sia-sia dan gagal. Bahkan yang mereka dapatkan hanyalah
kerugian dan penyesalan. Sedangkan Allah senantiasa membela dan menolong
dakwah salafiyah ini, karena Allah pasti akan menolong orang-orang yang
membela agamaNya, sebagaimana firmanNya:
وَلَيَنصُرَنَّ اللَّهُ مَن يَنصُرُهُ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ.
Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)Nya.
Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa. [al Hajj :
40].
Demikianlah, akhirnya saya cukupkan jawaban saya sampai di sini. Saya
berharap bisa bertemu dengan kalian pada kesempatan yang lain, insya
Allah.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun X/1427H/2006. Diterbitkan
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Berdasarkan hadits iftiraqul ummah (perpecahan umat) yang shahih
dan masyhur, yang dikeluarkan oleh Abu Dawud (4/197-198 no. 4596 dan
4597), at Tirmidzi (5/25-26 no. 2640 dan 2641), Ahmad (2/332, 3/120 dan
145, 4/102), Ibnu Majah (2/1231-1232 no. 3991-3993), dari hadits Abu
Hurairah dan Auf bin Malik c , dan lain-lain, yang di salah satu lafazh
akhir hadits-haditsnya adalah:
((وَهِيَ الْجَمَاعَةُ))، ((مَا أَناَ عَلَيْهِ وَأَصَحَابِيْ)).
“Mereka adalah al Jama’ah” dan “(Yaitu) mereka seperti apa yang aku dan para sahabatku berada di atasnya”.
Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani t di
dalam ash Shahihah (3/480) dan kitab-kitab beliau lainnya.
[2]. HR Muslim (3/1523 no. 1920) dari hadits Tsauban Radhiyallahu 'anhu,
dan yang semakna dengannya diriwayatkan oleh al Bukhari (2/2667 no.
6881) dari hadits al Mughirah bin Syu’bah Radhiyallahu 'anhu, dan
lain-lain.
[3]. Syaikh Dr. Muhammad bin Musa Alu an Nashr memang mengulangi kata-katanya ini dua kali.
[4]. Demikian yang Syaikh Dr. Muhammad bin Musa Alu an Nashr sampaikan.
Mungkin yang beliau maksud adalah Ruqayah binti Rasulillah Radhiyallahu
'anhuma, karena Fathimah Radhiyallahu 'anha meninggal sekitar setengah
tahun setelah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat,
sebagaimana yang telah diketahui dan telah banyak keterangannya di dalam
kitab-kitab tarajim (biografi) para sahabat. Lihat Taqrib at Tahdzib,
hlm. 1367, no. 8749.
[5]. HR ath Thabrani di dalam al Mu’jam al Ausath (6/41 no. 5736) dan
lain-lain. Hadits ini pernah diucapkan pula oleh Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam ketika putri beliau Zainab meninggal, sebagaimana
dalam Musnad al Imam Ahmad (1/237 dan 335 no. 2127 dan 3103) dan
lain-lain. Juga ketika putra beliau Ibrahim meninggal, sebagaimana dalam
al Mu’jam al Kabir (1/286 no.837) dan lain-lain.
Al Imam adz Dzahabi di dalam Siyar A’lam an Nubala (2/252), beliau
membawakan biografi Ruqayah Radhiyallahu 'anha, beliau menghukumi hadits
ini dan berkata: “Munkar”.
Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali -hafizhahullah- di dalam kitabnya
(Basha-iru dzawi asy Syaraf bi Marwiyati Manhaj as Salaf), hlm 18,
berkata: “Telah diriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
sabdanya kepada putri beliau Ruqayah, tatkala ia meninggal…,” lalu
beliaupun (Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali) membawakan hadits ini.
Kemudian beliau komentari pada catatan kaki: “Dha’if, dikeluarkan oleh
al Imam Ahmad (1/237 dan 335), dan Ibnu Sa’ad di dalam ath Thabaqat
(8/37), dan hadits ini dipermasalahkan oleh syaikh kami -rahimahullah-
di dalam adh Dha’ifah (no. 1715), karena terdapat (di sanadnya) Ali bin
Zaid bin Jud’an”.
Dan Ali bin Zaid bin Jud’an adalah perawi yang dha’if. Lihat Taqrib at Tahdzib, hlm. 696, no. 4768.
Atau, mungkin yang dimaksud oleh beliau (Syaikh Dr. Muhammad bin Musa
Alu an Nashr) adalah justru perkataan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam kepada putri beliau Fathimah Radhiyallahu 'anha ketika beliau
(Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam) menjelang wafat. Jika ini
yang dimaksud, maka haditsnya adalah muttafaq ‘alaih, dikeluarkan oleh
al Bukhari (5/2317 no. 5928) dan Muslim (4/1904 no. 2450) dari A’isyah
Radhiyallahu 'anha, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
...فَإِنَّهُ نِعْمَ السَّلَفُ أَنَا لَكِ ...
Sesungguhnya aku adalah sebaik-baik pendahulu bagimu.
Dan lafazh hadits ini lafazh Shahih Muslim.
Lihat pula kitab Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali lainnya yang berjudul
Limadza Ikhtartu al Manhaj as Salafi, hlm. 30. Wallahu a’lam.