[1] Imam Ibnul Qayyim rahimahulllah
berkata, “… Seandainya ilmu bisa bermanfaat tanpa amalan niscaya Allah
Yang Maha Suci tidak akan mencela para pendeta Ahli Kitab. Dan jika
seandainya amalan bisa bermanfaat tanpa adanya keikhlasan niscaya Allah
juga tidak akan mencela orang-orang munafik.” (lihat al-Fawa’id, hal. 34)
[2] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang
merenungkan keadaan alam semesta dan berbagai keburukan yang terjadi
padanya, niscaya dia akan menyimpulkan bahwa segala keburukan di alam
semesta ini sebabnya adalah menyelisihi rasul dan keluar dari ketaatan
kepadanya. Demikian pula segala kebaikan yang ada di dunia ini sebabnya
adalah ketaatan kepada rasul.” (lihat adh-Dhau’ al-Munir ‘ala at-Tafsir [2/236-237])
[3] Ibnul Qayyim rahimahullah
menjelaskan, “Barangsiapa yang mencermati syari’at, pada sumber-sumber
maupun ajaran-ajarannya. Dia akan mengetahui betapa erat kaitan antara
amalan anggota badan dengan amalan hati. Bahwa amalan anggota badan tak
akan bermanfaat tanpanya. Dan juga amalan hati itu lebih wajib daripada
amalan anggota badan. Apa yang membedakan orang mukmin dengan orang
munafik kalau bukan karena amalan yang tertanam di dalam hati
masing-masing di antara mereka berdua? Penghambaan/ibadah hati itu lebih
agung daripada ibadah anggota badan, lebih banyak dan lebih kontinyu.
Karena ibadah hati wajib di sepanjang waktu.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 14-15)
[4] Ibnul Qayyim rahimahullah
menegaskan, “Amalan-amalan hati itulah yang paling pokok, sedangkan
amalan anggota badan adalah konsekuensi dan penyempurna atasnya.
Sebagaimana niat menduduki peranan ruh, sedangkan amalan laksana tubuh.
Itu artinya, jika ruh berpisah dari jasad, jasad itu akan mati. Oleh
sebab itu memahami hukum-hukum yang berkaitan dengan gerak-gerik hati
lebih penting daripada mengetahui hukum-hukum yang berkaitan dengan
gerak-gerik anggota badan.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 15)
[5] Ibnul Qayyim rahimahullah
berkata, “Thaghut adalah segala sesuatu yang menyebabkan seorang hamba
melampaui batas, berupa sesembahan, sosok yang diikuti ataupun ditaati.
Sehingga thaghut dari setiap kaum adalah orang yang menjadi patokan
hukum bagi mereka selain Allah dan Rasul-Nya. Atau mereka beribadah
kepada-Nya, selain beribadah kepada Allah. Atau mereka mengikutinya
tanpa berdasarkan bashirah/ilmu
dari Allah. Atau mereka taat kepadanya dalam urusan yang tidak mereka
ketahui apakah hal itu termasuk bagian ketaatan kepada Allah. Inilah
thaghut yang ada di alam semesta. Apabila kamu memperhatikannya dan
mencermati kondisi manusia -dalam berinteraksi- bersama mereka (thaghut,
pent), niscaya kamu akan melihat bahwa kebanyakan orang telah berpaling
dari ibadah kepada Allah menuju ibadah kepada thaghut. Berpaling dari
taat dan mengikuti Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam menuju taat dan mengikuti thaghut.” (lihat Taisir al-’Aziz al-Hamid, hal. 142)
[6] Ibnul Qayyim rahimahullah
berkata, “Bahkan, ibadah kepada Allah, ma’rifat, tauhid, dan syukur
kepada-Nya itulah sumber kebahagiaan hati setiap insan. Itulah kelezatan
tertinggi bagi hati. Kenikmatan terindah yang hanya akan diraih oleh orang-orang yang memang layak untuk mendapatkannya…” (lihat adh-Dhau’ al-Munir ‘ala at-Tafsir [5/97])
[7] Ibnul Qayyim rahimahullah
berkata, “… Kebutuhan kepada ilmu di atas kebutuhan kepada makanan,
bahkan di atas kebutuhan kepada nafas. Keadaan paling buruk yang dialami
orang yang tidak bisa bernafas adalah kehilangan kehidupan jasadnya.
Adapun lenyapnya ilmu menyebabkan hilangnya kehidupan hati dan ruh. Oleh
sebab itu setiap hamba tidak bisa terlepas darinya sekejap mata
sekalipun. Apabila seseorang kehilangan ilmu akan mengakibatkan dirinya
jauh lebih jelek daripada keledai. Bahkan, jauh lebih buruk daripada
binatang melata di sisi Allah, sehingga tidak ada makhluk apapun yang
lebih rendah daripada dirinya ketika itu.” (lihat al-’Ilmu, Syarafuhu wa Fadhluhu, hal. 96)
[8] Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Allah subhanahu
menjadikan ilmu bagi hati laksana air hujan bagi tanah. Sebagaimana
tanah/bumi tidak akan hidup kecuali dengan curahan air hujan, maka
demikian pula tidak ada kehidupan bagi hati kecuali dengan ilmu.” (lihat
al-’Ilmu, Syarafuhu wa Fadhluhu, hal. 227).
[9] Ibnul Qayyim rahimahullah
berkata, “Manusia itu, sebagaimana telah dijelaskan sifatnya oleh Yang
menciptakannya. Pada dasarnya ia suka berlaku zalim dan bersifat bodoh.
Oleh sebab itu, tidak sepantasnya dia menjadikan kecenderungan dirinya,
rasa suka, tidak suka, ataupun kebenciannya terhadap sesuatu sebagai
standar untuk menilai perkara yang berbahaya atau bermanfaat baginya.
Akan tetapi sesungguhnya standar yang benar adalah apa yang Allah
pilihkan baginya, yang hal itu tercermin dalam perintah dan
larangan-Nya…” (lihat al-Fawa’id, hal. 89)
[10] Ibnul Qayyim rahimahullah
berkata, “Perkara paling bermanfaat secara mutlak adalah ketaatan
manusia kepada Rabbnya secara lahir maupun batin. Adapun perkara paling
berbahaya baginya secara mutlak adalah kemaksiatan kepada-Nya secara
lahir ataupun batin.” (lihat al-Fawa’id, hal. 89)
[11] Ibnul Qayyim rahimahullah
berkata, “Ada tiga pokok yang menjadi pondasi kebahagiaan seorang
hamba, dan masing-masingnya memiliki lawan. Barangsiapa yang kehilangan
pokok tersebut dia akan terjerumus ke dalam lawannya. [1] Tauhid,
lawannya syirik. [2] Sunnah, lawannya bid’ah. Dan [3] ketaatan, lawannya
adalah maksiat…” (lihat al-Fawa’id, hal. 104)
[12] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Dan perhatikanlah hikmah yang Allah ta’ala
simpan di balik mengapa Allah menjadikan para raja, pemimpin, dan
penguasa bagi manusia orang-orang yang serupa [buruknya] dengan
perbuatan mereka (rakyat). Bahkan, seolah-olah amal perbuatan mereka itu
terekspresikan di dalam sosok para penguasa dan raja-raja mereka.
Apabila rakyat itu baik niscaya baik pula raja-raja mereka. Apabila
mereka (rakyat) menegakkan keadilan niscaya para penguasa itu menerapkan
keadilan atas mereka. Dan apabila mereka berbuat aniaya (tidak adil)
maka raja dan penguasa mereka pun akan bertindak aniaya kepada mereka.
Apabila di tengah-tengah mereka merebak makar (kecurangan) dan tipu
daya, maka demikian pula pemimpin mereka. Apabila mereka tidak
menunaikan hak-hak Allah dan pelit dengannya, demikian pula para
penguasa mereka akan menghalangi hak-hak rakyat yang semestinya
ditunaikan kepada mereka…” (lihat Da’aa’im Minhaj Nubuwwah, hal. 258 oleh Syaikh Muhammad Sa’id Raslan)
[13] Ibnul Qayyim rahimahullah
mengatakan, “Sumber dari semua fitnah [kerusakan] adalah karena
mendahulukan pemikiran di atas syari’at dan mengedepankan hawa nafsu di
atas akal sehat. Sebab yang pertama merupakan sumber munculnya fitnah
syubhat, sedangkan sebab yang kedua merupakan sumber munculnya fitnah
syahwat. Fitnah syubhat bisa ditepis dengan keyakinan, sedangkan fitnah
syahwat dapat ditepis dengan kesabaran. Oleh karena itulah Allah Yang
Maha Suci menjadikan kepemimpinan dalam agama tergantung pada kedua
perkara ini. Allah berfirman (yang artinya), “Dan Kami menjadikan di
antara mereka para pemimpin yang memberikan petunjuk dengan perintah
Kami ketika mereka bisa bersabar dan senantiasa meyakini ayat-ayat
Kami.” (QS. as-Sajdah: 24). Hal ini menunjukkan bahwasanya dengan sabar
dan keyakinan akan bisa dicapai kepemimpinan dalam hal agama. Allah juga
memadukan keduanya di dalam firman-Nya (yang artinya), “Mereka saling
menasehati dalam kebenaran dan saling menasehati untuk menetapi
kesabaran.” (QS. al-’Ashr: 3). Saling menasehati dalam kebenaran
merupakan sebab untuk mengatasi fitnah syubhat, sedangkan saling
menasehati untuk menetapi kesabaran adalah sebab untuk mengekang fitnah
syahwat…” (lihat Ighatsat al-Lahfan hal. 669)
[14] Ibnul Qayyim berkata,
“Sesungguhnya berhukum dengan selain hukum yang diturunkan Allah
mencakup dua jenis kekafiran; ashghar dan akbar, tergantung keadaan
orang yang mengambil keputusan hukum. Apabila dia meyakini bahwa dia
wajib menerapkan hukum Allah atas kejadian ini namun dia berpaling
darinya karena maksiat dan di saat yang sama dia mengakui bahwa dirinya
layak untuk menerima hukuman maka ini adalah kufur ashghar. Namun,
apabila dia meyakini bahwa hal itu tidak wajib, atau dia bebas [untuk
mengikutinya atau tidak, pent], sementara dia yakin bahwa itu adalah
hukum Allah; maka ini adalah kufur akbar. Adapun apabila dia tidak tahu
atau tersalah, maka orang ini terhitung sebagai pelaku kekeliruan -yang
tidak disengaja- sehingga baginya berlaku hukum orang yang tak sengaja
berbuat kesalahan.” (lihat adh-Dhau’ al-Munir ‘ala at-Tafsir [2/400])
[15] Ibnul Qayyim rahimahullah
berkata, “Barangsiapa yang menginginkan kejernihan hatinya hendaknya
dia lebih mengutamakan Allah daripada menuruti berbagai keinginan hawa
nafsunya. Hati yang terkungkung oleh syahwat akan terhalang dari Allah
sesuai dengan kadar kebergantungannya kepada syahwat. Hancurnya hati
disebabkan perasaan aman dari hukuman Allah dan terbuai oleh kelalaian.
Sebaliknya, hati akan menjadi baik dan kuat karena rasa takut kepada
Allah dan berdzikir kepada-Nya.” (lihat al-Fawa’id, hal. 95)
[16] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Tidaklah seorang hamba mendapatkan hukuman yang lebih berat daripada hati yang keras dan jauh dari Allah.” (lihat al-Fawa’id, hal. 95).
[17] Ibnul Qayyim rahimahullah
berkata, “Sesungguhnya sabar dan syukur menjadi sebab seorang hamba
untuk bisa memetik pelajaran dari ayat-ayat yang disampaikan. Hal itu
dikarenakan sabar dan syukur merupakan pondasi keimanan. Separuh iman
itu adalah sabar, separuhnya lagi adalah syukur. Kekuatan iman seorang
hamba sangat bergantung pada sabar dan syukur yang tertanam di dalam
dirinya. Sementara, ayat-ayat Allah hanya akan bermanfaat bagi
orang-orang yang beriman kepada Allah dan meyakini ayat-ayat-Nya.
Imannya itu pun tidak akan sempurna tanpa sabar dan syukur. Pokok syukur
itu adalah tauhid. Adapun pokok kesabaran adalah meninggalkan bujukan
hawa nafsu. Apabila seseorang mempersekutukan Allah dan lebih
memperturutkan hawa nafsunya, itu artinya dia belum menjadi hamba yang
penyabar dan pandai bersyukur. Oleh sebab itulah ayat-ayat yang ada
menjadi tidak bermanfaat baginya dan tidak akan menumbuhkan keimanan
pada dirinya sama sekali.” (lihat adh-Dhau’ al-Munir ‘ala at-Tafsir [1/145])
[18] Ibnul Qayyim rahimahullah
berkata, “…Sesungguhnya kebenaran itu hanya satu, yaitu jalan Allah
yang lurus, tiada jalan yang mengantarkan kepada-Nya selain jalan itu.
Yaitu beribadah kepada Allah tanpa mempersekutukan-Nya dengan apapun
dengan menjalankan syari’at yang ditetapkan-Nya melalui lisan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan dengan hawa nafsu maupun bid’ah…” (lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 116-117)
[19] Imam Ibnul Qayyim rahimahullah
menjelaskan, “Sesungguhnya kehidupan yang membawa manfaat hanya bisa
digapai dengan merespon seruan Allah dan rasul-Nya. Barangsiapa yang
tidak merespon seruan tersebut maka tidak ada kehidupan sejati padanya.
Meskipun dia memiliki kehidupan ala binatang yang tidak ada bedanya
antara dirinya dengan hewan yang paling rendah sekalipun. Oleh sebab itu
kehidupan yang hakiki dan baik adalah kehidupan orang yang memenuhi
seruan Allah dan rasul-Nya secara lahir dan batin. Mereka itulah
orang-orang yang benar-benar hidup, walaupun tubuh mereka telah mati.
Adapun selain mereka adalah orang-orang yang telah mati, meskipun badan
mereka hidup. Oleh karena itu orang yang paling sempurna kehidupannya
adalah yang paling sempurna dalam memenuhi seruan dakwah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Karena sesungguhnya di dalam setiap ajaran yang beliau dakwahkan
terkandung unsur kehidupan sejati. Barangsiapa yang kehilangan sebagian
darinya maka dia kehilangan sebagian unsur kehidupan itu, bisa jadi di
dalam dirinya terdapat kehidupan sekadar dengan responnya terhadap
ajakan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (lihat al-Fawa’id, hal. 85-86)
[20] Ibnul Qayyim berkata, “Allah subhanahu
mengabarkan bahwasanya Dia telah mengutus rasul-rasul-Nya dan
menurunkan kitab-kitab-Nya supaya umat manusia menegakkan timbangan
(al-Qisth) yaitu keadilan [lihat QS. Al-Hadid: 25]. Diantara bentuk
keadilan yang paling agung adalah tauhid. Ia adalah pokok keadilan dan
pilar penegaknya. Adapun syirik adalah kezaliman yang sangat besar.
Sehingga, syirik merupakan tindak kezaliman yang paling zalim, dan
tauhid merupakan bentuk keadilan yang paling adil.” (lihat ad-Daa’ wa ad-Dawaa’, hal. 145)
[21] Beliau juga berkata,
“Sesungguhnya orang musyrik adalah orang yang paling bodoh tentang
Allah. Tatkala dia menjadikan makhluk sebagai sesembahan tandingan
bagi-Nya. Itu merupakan puncak kebodohan terhadap-Nya, sebagaimana hal
itu merupakan puncak kezaliman dirinya. Sebenarnya orang musyrik
tidaklah menzalimi Rabbnya. Karena sesungguhnya yang dia zalimi adalah
dirinya sendiri.” (lihat ad-Daa’ wa ad-Dawaa’, hal. 145)
[22] Ibnul Qayyim rahimahullah
mengatakan, “Amalan-amalan hati itulah yang paling pokok, sedangkan
amalan anggota badan adalah konsekuensi dan penyempurna atasnya.
Sebagaimana niat itu menduduki peranan seperti halnya ruh, sedangkan
amalan itu laksana tubuh. Itu artinya, jika ruh berpisah dari jasad,
maka jasad itu akan mati. Oleh sebab itu memahami hukum-hukum yang
berkaitan dengan gerak-gerik hati itu lebih penting daripada mengetahui
hukum-hukum yang berkaitan dengan gerak-gerik anggota badan.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 15)
[23] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Ketakwaan yang hakiki adalah ketakwaan yang berakar dari dalam hati bukan semata-mata ketakwaan dengan anggota badan.” (lihat al-Fawa’id, hal. 136)
[24] Imam Ibnul Qayyim rahimahullah
menjelaskan, “Kelezatan mengikuti rasa cinta. Ia akan menguat mengikuti
menguatnya cinta dan melemah pula seiring dengan melemahnya cinta.
Setiap kali keinginan terhadap al-mahbub (sosok yang dicintai) serta
kerinduan kepadanya menguat maka semakin sempurna pula kelezatan yang
akan dirasakan tatkala sampai kepada tujuannya tersebut. Sementara rasa
cinta dan kerinduan itu sangat tergantung kepada ma’rifah/pengenalan dan
ilmu tentang sosok yang dicintai. Setiap kali ilmu yang dimiliki
tentangnya bertambah sempurna maka niscaya kecintaan kepadanya pun
semakin sempurna. Apabila kenikmatan yang sempurna di akherat serta
kelezatan yang sempurna berporos kepada ilmu dan kecintaan, maka itu
artinya barangsiapa yang lebih dalam pengenalannya dalam beriman kepada
Allah, nama-nama, sifat-sifat-Nya serta -betul-betul meyakini- agama-Nya
niscaya kelezatan yang akan dia rasakan tatkala berjumpa,
bercengkerama, memandang wajah-Nya dan mendengar ucapan-ucapan-Nya juga
semakin sempurna. Adapun segala kelezatan, kenikmatan, kegembiraan, dan
kesenangan -duniawi yang dirasakan oleh manusia- apabila dibandingkan
dengan itu semua laksana setetes air di tengah-tengah samudera. Oleh
sebab itu, bagaimana mungkin orang yang berakal lebih mengutamakan
kelezatan yang amat sedikit dan sebentar bahkan tercampur dengan
berbagai rasa sakit di atas kelezatan yang maha agung, terus-menerus dan
abadi. Kesempurnaan seorang hamba sangat tergantung pada dua buah
kekuatan ini; kekuatan ilmu dan rasa cinta. Ilmu yang paling utama
adalah ilmu tentang Allah, sedangkan kecintaan yang paling tinggi adalah
kecintaan kepada-Nya. Sementara itu kelezatan yang paling sempurna akan
bisa digapai berbanding lurus dengan dua hal ini, Allahul musta’aan.” (lihat al-Fawa’id, hal. 52 cet. Dar al-’Aqidah)
[25] Imam Ibnul Qayyim rahimahullah
berkata, “Hidayah adalah pengetahuan tentang kebenaran yang disertai
keinginan untuk mengikutinya dan lebih mengutamakan kebenaran itu
daripada selainnya. Orang yang mendapat hidayah adalah orang yang
melaksanakan kebenaran dan benar-benar menginginkannya. Itulah nikmat
paling agung yang dikaruniakan Allah kepada seorang hamba. Oleh sebab
itu Allah subhanahu wa ta’ala
memerintahkan kita untuk meminta kepada-Nya hidayah menuju jalan yang
lurus setiap sehari semalam dalam sholat lima waktu yang kita lakukan.
Karena sesungguhnya setiap hamba membutuhkan ilmu untuk bisa mengenal
kebenaran yang diridhai Allah dalam setiap gerakan lahir maupun batin.
Apabila dia telah mengetahuinya dia masih membutuhkan sosok yang
memberikan ilham kepadanya untuk mengikuti kebenaran itu, sehingga
kemauan itu tertancap kuat di dalam hatinya. Setelah itu, dia juga
masih membutuhkan sosok yang membuatnya mampu melakukan hal itu.
Padahal, sesuatu yang telah dimaklumi bahwasanya apa yang tidak
diketahui oleh seorang hamba itu berlipat ganda jauh lebih banyak
daripada apa yang sudah diketahuinya. Disamping itu, tidaklah semua
kebenaran yang diketahuinya itu secara otomatis dikehendaki oleh
jiwanya. Seandainya menghendakinya, tetap saja dia tidak mampu untuk
mewujudkan banyak hal di dalamnya.” (lihat adh-Dhau’ al-Munir ‘ala at-Tafsir [1/25-26])
[26] Imam Ibnul Qayyim rahimahullah
mengatakan, “Allah mengaitkan antara hidayah dengan
jihad/kesungguh-sungguhan [lihat QS. Al-Ankabut: 69]. Ini artinya, orang
yang paling besar hidayahnya adalah yang paling besar jihadnya.
Sedangkan jihad yang paling wajib adalah jihad menundukkan jiwa dan
berjuang mengendalikan hawa nafsu, berjihad melawan syaitan, dan
berjihad melawan [ambisi] dunia. Barangsiapa yang berjihad melawan
keempat hal ini Allah tunjukkan kepadanya jalan-jalan keridhaan-Nya yang
mengantarkan ke surga-Nya. Barangsiapa yang meninggalkan jihad itu maka
dia akan kehilangan hidayah sekadar dengan jihad yang
ditelantarkannya.” (lihat adh-Dhau’ al-Munir [4/518])
[27] Ibnul Qayyim rahimahullah
berkata, “Apabila mengangkat suara mereka lebih tinggi daripada suara
beliau itu menjadi sebab terhapusnya amalan mereka [lihat QS.
Al-Hujurat: 2] lantas bagaimana lagi dengan orang yang lebih
mendahulukan pendapat mereka, akal mereka, perasaan mereka, politik
mereka, atau pengetahuan mereka daripada ajaran beliau bawa dan
mengangkat itu semua di atas sabda-sabda beliau? Bukankah itu semua
lebih pantas lagi untuk menjadi sebab terhapusnya amal-amal mereka?”
(lihat adh-Dhau’ al-Munir ‘ala at-Tafsir [5/407])
[28] Ibnul Qayyim rahimahullah
berkata, “Setiap orang yang merasa takut kepada-Nya, lantas menunaikan
ketaatan kepada-Nya yaitu dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya dan
meninggalkan larangan-larangan-Nya, maka dialah sesungguhnya orang yang
alim/berilmu.” Suatu ketika, ada orang yang berkata kepada asy-Sya’bi,
“Wahai sang alim/ahli ilmu.” Maka beliau menjawab, “Kami ini bukan
ulama. Orang yang alim adalah orang yang merasa takut kepada Allah.”
(lihat adh-Dhau’ al-Munir ‘ala at-Tafsir [5/98])
[29] Imam Ibnul Qayyim rahimahullah
berkata, “Para ulama suu’/jahat duduk di depan pintu surga seraya
menyeru manusia supaya masuk ke dalamnya dengan ucapan lisan mereka.
Akan tetapi mereka mengajak kepada neraka dengan amal perbuatan mereka.
Setiap kali ucapan mereka mengajak manusia, “Kemarilah!” maka perbuatan
mereka justru berkata, “Jangan kalian dengarkan ucapannya.” Karena
seandainya apa yang dia serukan adalah kebenaran maka niscaya dia adalah
orang yang pertama kali melakukannya. Mereka itu secara lahir tampak
sebagai pemberi petunjuk, akan tetapi pada hakikatnya mereka adalah
perampok.” (lihat al-Fawa’id, hal. 60)
[30] Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
mensyari’atkan bagi umatnya kewajiban mengingkari kemungkaran yang
dengan tindakan pengingkaran itu diharapkan tercapai suatu perkara
ma’ruf/kebaikan yang dicintai oleh Allah dan rasul-Nya. Apabila suatu
bentuk pengingkaran terhadap kemungkaran justru menimbulkan perkara yang
lebih mungkar dan lebih dibenci oleh Allah dan rasul-Nya maka tidak
boleh melakukan tindak pengingkaran terhadapnya, meskipun Allah dan
rasul-Nya memang membencinya dan murka kepada pelakunya. Contohnya
adalah mengingkari penguasa dan pemimpin dengan cara melakukan
pemberontakan kepada mereka. Sesungguhnya hal itu merupakan sumber
segala keburukan dan terjadinya fitnah hingga akhir masa. Barangsiapa
yang memperhatikan musibah yang menimpa umat Islam berupa fitnah yang
besar maupun yang kecil maka dia akan bisa melihat bahwasanya hal itu
timbul akibat menyia-nyiakan prinsip ini dan karena ketidaksabaran dalam
menghadapi kemungkaran sehingga orang pun nekat untuk menuntut
dilenyapkannya hal itu, namun yang terjadi justru memunculkan musibah
yang lebih besar daripada -kemungkaran- itu.” (lihat ta’liq Syaikh
Raslan dalam al-Amru bil Ma’ruf wa an-Nahyu ‘anil Munkar, hal. 25)
[31] Ibnul Qayyim rahimahullah
berkata, “Barangsiapa yang membiasakan dirinya untuk beramal ikhlas
karena Allah niscaya tidak ada sesuatu yang lebih berat baginya daripada
beramal untuk selain-Nya. Dan barangsiapa yang membiasakan dirinya
untuk memuaskan hawa nafsu dan ambisinya maka tidak ada sesuatu yang
lebih berat baginya daripada ikhlas dan beramal untuk Allah.” (lihat Ma’alim Fi Thariq al-Ishlah, hal. 7)
[32] Imam Ibnul Qayyim rahimahullah
berkata, “Tingginya cita-cita seseorang adalah tanda kebahagiaannya,
sedangkan rendahnya cita-cita seseorang adalah tanda bahwa dia tidak
akan menggapai kebahagiaan itu.” (lihat Ma’alim Fi Thariq al-Ishlah, hal. 13)
[33] Ibnul Qayyim rahimahullah
berkata, “Salah satu tanda ikhbat/ketundukan hati dan keikhlasan diri
seseorang adalah tidak bergembira dengan pujian manusia dan tidak merasa
sedih semata-mata dengan celaan mereka.” (lihat Ma’alim Fi Thariq al-Ishlah, hal. 29)
[34] Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Sumber munculnya kesyirikan kepada Allah adalah kesyirikan dalam hal cinta. Sebagaimana yang difirmankan oleh Allah ta’ala
(yang artinya), “Sebagian manusia ada yang menjadikan selain Allah
sebagai sekutu. Mereka mencintainya sebagaimana kecintaan mereka kepada
Allah. Adapun orang-orang yang beriman lebih dalam cintanya kepada
Allah.” (QS. al-Baqarah: 165)” (lihat ad-Daa’ wa ad-Dawaa’, hal. 212)
[35] Imam Ibnul Qayyim rahimahullah
berkata, “Sungguh sebuah perkara yang amat mengherankan tatkala kamu
telah mengenal-Nya lantas kamu justru tidak mencintai-Nya. Kamu
mendengar da’i yang menyeru kepada-Nya namun kamu justru
berlambat-lambat dalam memenuhi seruan-Nya. Kamu menyadari betapa besar
keuntungan yang akan dicapai dengan bermuamalah dengan-Nya namun kamu
justru memilih bermuamalah dengan selain-Nya. Kamu mengerti betapa berat
resiko kemurkaan-Nya namun kamu justru nekat membangkang kepada-Nya.
Kamu bisa merasakan betapa pedih kegalauan yang muncul dengan bermaksiat
kepada-Nya namun kamu justru tidak mau mencari ketentraman dengan cara
taat kepada-Nya. Kamu bisa merasakan betapa sempitnya hati tatkala sibuk
dengan ucapan selain-Nya dan meninggalkan pembicaraan tentang-Nya. Akan
tetapi kamu tidak mencari kelapangan hati dengan berdzikir dan
bermunajat kepada-Nya. Kamu bisa merasakan betapa tersiksanya hatimu
tatkala bergantung kepada selain-Nya namun kamu tidak meninggalkannya
menuju kenikmatan pengabdian serta kembali bertaubat kepada-Nya. Dan
yang lebih aneh lagi daripada itu semua adalah kesadaranmu bahwa kamu
pasti membutuhkan-Nya dan Dia adalah Dzat yang paling kamu butuhkan,
akan tetapi kamu justru berpaling dari-Nya dan mencari-cari sesuatu yang
menjauhkan dari-Nya.” (lihat al-Fawa’id, hal. 45 cet. Dar al-’Aqidah)
[36] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Sholat tanpa kekhusyu’an dan hati yang hadir seperti badan yang mati, tak ada ruh padanya.” (lihat al-Wabil ash-Shayyib, hal. 11)
[37] Ibnul Qayyim rahimahullah
berkata, “Sesungguhnya kebenaran yang belum kita ketahui jumlahnya jauh
berkali lipat lebih banyak daripada kebenaran yang sudah kita ketahui.
Kebenaran yang sudah kita ketahui dan tidak ingin kita kerjakan kerena
faktor meremehkan atau malas bisa jadi seimbang jumlahnya dengan
kebenaran yang ingin kita kerjakan, atau bahkan jauh lebih banyak, atau
kurang dari itu. Begitu pula, kebenaran yang tidak sanggup kita lakukan
dibandingkan dengan yang sanggup kita lakukan pun demikian keadaannya.
Kebenaran yang sudah kita ketahui secara global pun mungkin masih
terlalu banyak yang tidak kita ketahui rinciannya. Oleh sebab itulah
maka kita membutuhkan hidayah yang sempurna.” (lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 9)
[38] Ibnul Qayyim rahimahullah
berkata, “Keberuntungan paling besar di dunia ini adalah kamu
menyibukkan dirimu di sepanjang waktu dengan perkara-perkara yang lebih
utama dan lebih bermanfaat untukmu kelak di hari akherat. Bagaimana
mungkin dianggap berakal, seseorang yang menjual surga demi mendapatkan
kesenangan sesaat? Orang yang benar-benar mengerti hakikat hidup ini
akan keluar dari alam dunia dalam keadaan belum bisa menuntaskan dua
urusan; menangisi dirinya sendiri -akibat menuruti hawa nafsu tanpa
kendali- dan menunaikan kewajiban untuk memuji Rabbnya. Apabila kamu
merasa takut kepada makhluk maka kamu akan merasa gelisah karena
keberadaannya dan menghindar darinya. Adapun Rabb (Allah) ta’ala,
apabila kamu takut kepada-Nya niscaya kamu akan merasa tentram karena
dekat dengan-Nya dan berusaha untuk terus mendekatkan diri kepada-Nya.”
(lihat al-Fawa’id, hal. 34)