tutuplah aurat walaupun dicela!

Read more…

penyakit jahil dan hawa nafsu

Read more…

HUKUM PERMAINAN CATUR

Dikoreksi
Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan



Syaikh Shalih Fauzan Abdullah Al-Fauzan berkata dalam kitab beliau "Al-I'lam Bi Naqdi Kitab Al-Halal wa Al-Haram" pada pasal koreksi 9 : Permainan Catur

Penulis (Yusuf Al-Qardhawi) pada halaman 217 menjelaskan tentang perselisihan ulama mengenai hukum permainan catur. Lalu penulis memilih pendapat yang mengatakan bahwa hukumnya mubah (boleh). Penulis juga mengomentari : “Menurut pengatahuan kami bahwa catur itu menurut asalnya adalah mubah, sebab tidak ada dalil yang menunjukkan keharaman catur melebihi dari perbuatan lahwun dan hiburan yang ada. Catur merupakan olah raga pikiran dan melatih berfikir”. Kemudian penulis menjelaskan syarat-syarat kebolehan main catur antara lain.

[1]. Tidak mengundur-ngundur waktu shalat
[2]. Tidak disertai dengan judi
[3]. Hendaknya pemain dapat menjaga lisannya dari omongan kotor

Jawaban
Kami jawab, bahwa persyaratan itu jarang ditaati oleh pamain catur. Misalnya kita terima mereka dapat memenuhi persyaratan tersebut. Maka dengan dibolehkan permainan catur itu, akan menuju hal yang haram dan akhirnya akan dia ingkari persyaratan tersebut, karena itu kita harus berpegang kepada qaul (pendapat) yang mengatakan bahwa catur hukumnya haram. Banyak sekali para ulama mengharamkan permainan catur. Antara lain Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Beliau berbicara panjang di dalam masalah ini, mulai halaman 216 sampai halaman 245 jilid XXXII dari kitab Majmu Fatawa. Perlu kami petikkan sebagian, diantaranya :

“Misalnya kita tetapkan bahwa permainan catur itu bebas dari itu semua –maksudnya tidak melalaikan kewajiban dan tidak akan melakukan hal yang haram- maka larangan perbuatan itu ditetapkan oleh sahabat. Sebagaimana yang shahih dari Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau pernah menjumpai kaum yang sedang bermain catur. Lalu beliau mengatakan “Mengapa kamu beri’tikaf berdiam merenungi patung-patung ini”. Sahabat Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu ‘anhu menyamakan mereka itu seperti orang yang beriti’kaf kepada patung, sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata.

“Artinya : Peminum khamer itu seperti penyembah patung”

Padahal khamer dan judi itu selalu bergandengan disebut di dalam Al-Qur’an. Demikian juga larangan itu dinyatakan oleh Ibnu Umar dan yang lain, Imam Hanafi serta shabatnya mengharamkan permainan catur. Adapun Imam Syafi’i beliau pernah berkata : “Permainan yang paling aku benci yaitu obrolan, permainan catur dan permainan burung dara sekalipun tanpa perjudian. Sekalipun kebencian kami kepada permainan itu lebih ringan dari pada permainan dadu …” Sampai kepada perkataan Syaikhul Islam, “Demikianlah kami nukil dari Imam Asy-Syafi’i. Dan ada lagi lafadz semakna tadi bahwa beliau membenci atau menganggap makruh hukum permainan catur dan nilainya dibawah daripada permainan dadu adalah hukumnya haram muthlaq sekalipun tidak disertai taruhan uang. Karena itu Imam Asy-Syafi’i menegaskan, kabar yang paling aku benci …”

Maka jelaslah sandaran beliau adalah kepada kabar (khabar), beliau sendiri menolak qiyas. Inilah yang menjadi alasan jumhur, kalau beliau mengharamkan dadu sekalipun tanpa taruhan apa-apa. Maka catur –sekalipun tidak seperti dadu- tapi bukan berarti tidak termasuk dadu. Hal ini dapat diketahui dari makna sebenarnya permainan itu. Sebab permainan –termasuk dadu- tetap menghalang-halangi untuk mengingat kepada Allah dan shalat, serta pemusuhan dan kemarahan yang diakibatkan catur banyak sekali. Disamping itu permainan ini selalu membuat jiwa untuk meraih piala, lagi membendung akal dan hati untuk ingat kepada Allah dan shalat. Bahkan minum khamer dan ganja, awalnya sedikit tetapi akan menimbulkan ketagihan. Maka keharaman dadu yang tidak disertai taruhan dan dibolehkannya permainan catur seperti keharaman setetes khamer dari anggur tapi dihalalkan satu ciduk arak yang terbuat dari gandum. Perkataan itu juga sangat bertentangan bila ditinjau dari segi ungkapan, qiyas dan keadilan. Demikian juga masalah catur..”. Sampai perkataan Syaikh Ibnu Taimiyah : “Dadu, catur dan semisalnya pada umumnya mengandung kerusakan yang tidak terhitung banyaknya, tidak ada maslahahnya. Lebih-lebih maslahah untuk melawan kelalaian jiwa dan keresahan, sebagaimana yang menimpa kepada peminum khamer. Sebenarnya untuk mencari ketenangan jiwa dengan perkara mubah yang tidak membendung perkara yang baik dan tidak mendatangkan kerusakan banyak sekali.

Orang mukmin sudah dicukupi oleh Allah yaitu dengan memilih yang halal dari yang haram dan dimuliakan oleh Allah dari pada yang lain. FirmanNya

“Artinya : Dan barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah, maka Allah akan menjadikan baginya jalan keluar, dan Allah akan memberi rizki yang tak terhitung banyaknya” [Ath-Tholaq : 2]

Di dalam sunnan Ibnu Majah dan lainnya, dari Abu Dzar, sesungguhnya ayat ini tatkala turun, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata.

“Artinya : Hai Abu Dzar jikalau semua manusia itu mau mengamalkan ayat ini, niscaya mereka memperolah kelapangan”

Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan ayat ini, bahwa orang yang bertaqwa terhindar dari bahaya, yaitu Allah menjadikan baginya jalan keluar apa yang menjadi kesulitannya. Dia akan mendapat rahmat dan mendapatkan rizki yang tak terhitung banyaknya. Selanjutnya setiap sesuatu yang dapat menenangkan jiwa yang hidup ini dan dapat melapangkannya maka termasuk rizki. Allah memberi rizki yang demikian itu bagi mereka yang mau bertaqwa dengan mengamalkan perintahnya dan meninggalkan larangannya. Lalu barangsiapa yang masih mencari ketenangan jiwa dengan minum khamer. Pecandu khamer mulanya ingin mencari ketenangan, tetapi tidaklah menambah ketenangan melainkan keletihan dan keresahan. Memang khamer itu dapat menggembirakan pecandunya tetapi sangat sedikit. Sedangkan bahaya yang mengancam dirinya lebih besar. Demikianlah hasil bagi mereka yang telah mencobanya.

Selanjutnya, Ibnu Taimiyah menjelaskan didalam pembahasan yang lain, yaitu ketika beliau menyebutkan hukum permainan dadu dan catur tanpa taruhan dan tidak melalaikan kewajiban serta tidak mengerjakan larangan Allah. Jika memang benar-benar demikian, maka Manhaj Salaf, Jumhur Ulama seperti Imam Malik dan para sahabatnya, Abu Hanifah dan para sahabatnya, Imam Ahmad bin Hambal dan sahabatnya dan kebanyakan pengikut madzhab Syafi’i tidak memastikannya halal tetapi beliau memakruhkannya. Adalagi yang mengatakan, bahwa Imam Syafi’i berkata, “Saya belum tahu jelas keharamnnya”. Sedangkan Imam Baihaqi orang paling tahu diantara sahabat Syafi’i, menjelaskan Ijma sahabat akan keharaman permainan tadi, berdasarkan riwayat dari Ali bin Abu Thalib, Abu Said, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Abu Musa dan Aisyah Radhiyallahu ‘anhum. Dan tidak diriwayatkan dari seorang sahabatpun tentang masalah tersebut pertentangan. Dan barang siapa menukil dari salah seorang diantara sahabat bahwa dia meringankan masalah itu, maka tidak benar. Karena Imam Baihaqi dan lainnya dari kalangan Ahli Hadits labih tahu tentang ucapan sahabat daripada manusia-manusia yang menukil fatwa tanpa sanad

Wahai pembaca, coba perhatikan fatwa Ibnu Taimiyah tentang hukum catur, beliau menjelaskan, “Permainan itu tidak ada manfaatnya, apabila untuk mencapai ketenangan jiwa sebagaimana yang diharapkan oleh peminum khamer. Padahal perkara lain yang mubah untuk menenangkan jiwa tanpa menghambat ibadah dan mendatangkan kerusakan tidak sedikit”. Lalu bandingkanlah wahai pembaca dengan fatwanya penulis (Syaikh Yusuf Qardhawy), beliau mengatakan : “Bahwa permainan catur itu bukan termasuk lahwun tetapi hiburan untuk melatih berfikir dan kecerdasan otak”. Coba anda bisa menimbang dua perkataan diatas, mana yang lebih benar.

Selanjutnya perhatikan lagi fatwa Ibnu Taimiyah : “Imam Baihaqi paling tahu tentang hadits diantara pengikut Syafi’i. Beliau menjelaskan bahwa sahabat telah sepakat mengharamkan permainan catur itu. Tidak ada seorangpun yang menentang pendapatnya dalam hal ini. Siapa yang mengatakan bahwa ada salah seorang shahabat membolehkan permainan ini maka itu adalah salah”. Lalu bandingkan dengan fatwa penulis yang mengatakan “Adapun para shahabat, mereka berbeda pendapat dalam hukum catur ini”. Kemudian penulis menjelaskan bahwa Ibnu Abbas dan Abu Hurairah membolehkannya. Wahai pembaca, siapa yang lebih layak mengetahui qaul shahabat, Syaikh Ibnu Taimiyah dan Imam Baihaqi ataukah penulis ??! Wallahu Al-Muata’an.

Imam Qurthuby didalam tafsirnya VII/339 menjelaskan : Ibnul Araby berkata : Mereka itu beralasan dengan perkataan shahabat dan tabi’in, bahwa mereka itu bermain catur. Padahal sama sekali tidak. Demi Allah tidak akan bermain catur orang yang betaqwa kepada Allah. Memang mereka juga mengatakan bahwa permainan catur itu dapat mengasah otak, padahal menurut kenyataan tidak demikian. Sama sekali tidak menambah kecerdasan seseorang. Ingat wahai pembaca, bahwa Ibnul Araby menolak adanya para shahabat dan tabi’in bermain catur, bahkan diapun berani bersumpah. Imam Qurthuby-pun mengambil fatwanya sebagai pegangan[1]. Syaikh Islam Ibnu Taimiyah di dalam kitab Majmu Fatawa XXXII/241 menjelaskan : Imam Baihaqi meriwayatkan hadits dengan sanadnya dari Ja’far bin Muhammad dari Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu bahwa ia mengatakan : “Catur itu perjudian orang asing”. Beliaupun meriwayatkan lagi dengan sanadnya dari Ali, bahwa ia pernah melewati kaum yang sedang bermain catur, lalu beliau menegurnya : “Mengapa kamu menekuni patung ini? Sungguh jika salah satu diantara kamu menggemgam bara api sampai padam itu lebih baik daripada memegang catur”. Dan dari Ali Radhiyallahu ‘anhu pula, bahwa ia pernah melewati salah satu majlis, mereka bermain-main catur lalu dia berkata :”Demi Allah bukanlah kalian diciptakan untuk ini, ingatlah demi Allah, jikalau catur ini bukan menjadi tradisi, tentu aku akan lempar wajahmu dengan catur itu”. Dari Malik ia berkata :”Telah sampai kepada kami suatu berita bahwa Ibnu Abbas mengurusi harta anak yatim itu, lalu membakarnya. [2]

Dari Ibnu Umar, dia pernah ditanya tentang catur, lalu ia menjawab : “Catur itu lebih jahat daripada dadu”. Dari Abu Musa Al-Asy’ary berkata : “Tidak akan bermain catur kecuali orang yang keliru”. Adalagi riwayat dari Aisyah bahwa dia membenci perkara yang melelahkan sekalipun tidak memakai taruhan. Abu Sa’id Al-Khudriy juga membenci permainan itu. Inilah qaul dari para shahabat, dan tidak ada satupun dari mereka yang berselisih pendapat tentangnnya. Selanjutnya Imam Baihaqy meriwayatkan tentang kebencian bermain catur dari Yazid bin Abu Habib dan Muhammad bin Sirin. Ibrahim dan Malik bin Anas, kami mengatakan : “Istilah karohah (dibenci) banyak dipakai ulama Salaf, dan umumnya mempunyai arti haram. Merekapun sudah menjelaskan bahwa catur itu hukumnya haram. Bahkan mereka menambahkan bahwa catur itu lebih jelek daripada dadu, sedangkan dadu itu hukumnya haram sekalipun tidak memakai taruhan

[Disalin dari dari buku Al-I'lam Bi Naqdi Kitab Al-Halal wa Al-Haram, edisi Indoensia Kritik terhadap buku: Halal dan Haram dalam Islam, oleh Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, Penerbit Pustaka Istiqamah Solo]
_________
Foote Note
[1]. Berkata Ibnul Qayyim dalam kitab Al-Fruusiyah, “Telah shahih dari Ibnu Abbas dan Ibnu Umar bahwa keduanya melarang permainan catu. Dan tidak seorangpun dari shahabat yang mengatakan berbeda tentang hal itu. Allah melindungi mereka dari perbuatan tersebut. Dan barangsiapa yang menyatakan bahwa salah seorang diantara mereka bermain dengannya, seperti Abi Hurairah, maka hal itu merupakan perkataan mengada-ada dan dusta atas mereka. Dimana orang-orang yang mengerti keadaan shahabat dan atsar maka akan mengingkarinya. Bagaimana mungkin sebaik-baik qurun dan makhluk setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membolehkan sesuatu yang dapat menghalang-halangi dari mengingat kepada Allah dan Shalat ?!?
[2]. Yakni permainan catur yang terdapat pada harta anak yatim itu. Demikianlah keadaan Ibnu Abbas yang dikatakan oleh Qardhawi menyatakan bolehnya bermain catur, membuangnya dari harta anak yatim tersebut.

Read more…

Dekatnya hari kiamat

Oleh
Dr. Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil



Ayat-ayat al-Qur-an yang mulia dan hadits-hadits shahih menunjukkan telah dekatnya hari Kiamat karena munculnya sebagian besar tanda-tanda Kiamat merupakan bukti bahwa Kiamat sudah dekat dan kita berada di akhir dunia.

Allah Ta’ala berfirman:

اقْتَرَبَ لِلنَّاسِ حِسَابُهُمْ وَهُمْ فِي غَفْلَةٍ مُعْرِضُونَ

“Telah dekat kepada manusia hari menghisab segala amalan mereka, sedang mereka berada dalam kelalaian lagi berpaling (daripadanya).” [Al-Anbiyaa': 1]

Allah Ta’ala berfirman:

وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّ السَّاعَةَ تَكُونُ قَرِيبًا

“... Dan tahukah kamu (hai Muhammad), boleh jadi hari Berbangkit itu sudah dekat waktunya.” [Al-Ahzaab: 63]

Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّهُمْ يَرَوْنَهُ بَعِيدًا وَنَرَاهُ قَرِيبًا

“Sesungguhnya mereka memandang siksaan itu jauh (mustahil). Sedangkan kami memandangnya dekat (pasti terjadi).” [Al-Ma’aarij: 6-7]

Allah Ta’ala berfirman:

اقْتَرَبَتِ السَّاعَةُ وَانْشَقَّ الْقَمَرُ

“Telah dekat (datangnya) saat itu (Kiamat) dan telah terbelah bulan.” [Al-Qamar: 1]

Dan ayat-ayat lainnya yang menunjukkan dekatnya kesudahan alam dunia ini dan perpindahan ke alam yang lain (akhirat), di alam itu setiap orang mendapatkan apa-apa yang mereka amalkan, jika baik maka baik pula balasan-nya, dan jika jelek maka jelek pula balasannya.

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

بُعِثْتُ أَنَا وَالسَّاعَةُ كَهَاتَيْنِ، وَيُشِيْرُ بِإِصْبَعَيْهِ فَيَمُدُّ بِهِمَا.

“Jarak diutusnya aku dan hari Kiamat seperti dua (jari) ini.” Beliau berisyarat dengan kedua jarinya (jari telunjuk dan jari tengah), lalu merenggangkannya.”[1]

Dan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

بُعِثْتُ فيِ نَسْمِ السَّاعَةِ.

“Aku diutus pada awal hembusan angin Kiamat.” [2]

Dan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّمَا أَجَلُكُمْ -فِي أَجَلِ مَنْ خَلاَ مِنَ اْلأُمَمِ- مَا بَيْنَ صَلاَةِ الْعَصْرِ إِلَى مَغْرِبِ الشَّمْسِ.

“Sesungguhnya ajal kalian jika dibandingkan dengan ajal umat terdahulu adalah seperti jarak antara shalat ‘Ashar dan Maghrib.” [3]

Dan diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, beliau berkata:

كُنَّا جُلُوسًا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالشَّمْسُ عَلَـى قُعَيْقِعَـانَ بَعْدَ الْعَصْرِ، فَقَالَ: مَا أَعْمَارُكُمْ فِي أَعْمَارِ مَنْ مَضَى إِلاَّ كَمَا بَقِيَ مِنَ النَّهَارِ فِيمَا مَضَى مِنْهُ.

“Kami pernah duduk-duduk bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sementara matahari berada di atas gunung Qu’aiqa’aan [4] setelah waktu ‘Ashar, lalu beliau bersabda, ‘Tidaklah umur-umur kalian dibandingkan dengan umur orang yang telah berlalu kecuali bagaikan sisa hari (ini) dibandingkan dengan waktu siang yang telah berlalu.’” [5]

Hadits ini menunjukkan bahwa waktu yang tersisa sangat sedikit jika dibandingkan dengan waktu yang telah berlalu. Akan tetapi waktu yang telah berlalu tidak ada yang mengetahui kecuali Allah Ta’ala. Belum pernah ada satu riwayat pun dengan sanad yang shahih dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang menerangkan batasan waktu dunia sehingga bisa dijadikan sebagai rujukan agar diketahui sisa waktu yang ada. Tentunya waktu sisa ini sangat sedikit sekali jika dibandingkan dengan waktu yang telah berlalu.[6]

Tidak ada sebuah ungkapan yang lebih jelas tentang dekatnya hari Kiamat daripada sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam:

بُعِثْتُ أَنَا وَالسَّاعَةُ جَمِيعًا إِنْ كَادَتْ لَتَسْبِقُنِي.

“Jarak diutusnya aku dan hari Kiamat secara bersamaan, hampir saja dia mendahuluiku.” [7]

Ini adalah isyarat sangat dekatnya hari Kiamat dengan waktu diutusnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, sehingga beliau takut jika Kiamat itu mendahului beliau karena sangat dekatnya.

[Disalin dari kitab Asyraathus Saa'ah, Penulis Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, Daar Ibnil Jauzi, Cetakan Kelima 1415H-1995M, Edisi Indonesia Hari Kiamat Sudah Dekat, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_______
Footnote
[1]. Shahiih al-Bukhari, kitab ar-Riqaaq bab Qaulin Nabiyyi Shallallahu 'alaihi wa sallam Bu’itstu Ana was Saa’atu ka Haataini dari Sahl z (XI/347, al-Fat-h).
[2]. Al-Albani berkata, “Hadits ini diriwayatkan oleh ad-Daulabi dalam al-Kuna’ (I/23), Ibnu Mandah dalam al-Ma’rifah (II/234/2) dari Abi Hazim dari Abi Jabirah secara marfu’, ini adalah sanad yang shahih dan semua rijalnya (rawi) tsiqah (dipercaya), ada perbedaan pendapat tentang Abu Jabirah, apakah dia seorang Sahabat? Sementara al-Hafizh dalam at-Taqriib mentarjih (menguatkan) bahwa beliau adalah seorang Sahabat. (Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah) (II/467, no. 808).
Dan lihat Tahdziibut Tahdziib (XII/52-53/al-Kuna), cet. Majlis Da-irah al-Ma’arif, India, cet. I th. 1327 H dan Taqriibut Tahdziib (II/405), tahqiq ‘Abdul Wahhab ‘Abdul Lathif, cet. Darul Ma’rifah, cet. II th. 1395 H.
[3]. Shahiih al-Bukhari, kitab Ahaadiitsul Anbiyaa', bab Maa Dzukira ‘an Banii Israa-iil (VI/495, al-Fat-h).
[4]. (قُعَيْقِعَـانَ) dengan didhammahkan qaf yang pertama, dan dikasrahkan yang kedua, dengan lafazh Tashghir, “Sebuah gunung di sebelah selatan Makkah sejauh dua belas mil. Dinamakan Qu’aiqa’aan karena ketika kabilah Jurhum melakukan peperangan di sana terdengar banyak gemerincing senjata. Dan jelas bahwasanya perkataan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ini terjadi pada haji Wada atau pada peperangan Fat-hu Makkah, dan waktu itu Ibnu ‘Umar mengikutinya beserta para Sahabat.
Lihat an-Nihaayah, karya Ibnul Atsir (IV/88) dan Syarh Musnad Ahmad (VIII/ 176), karya Ahmad Syakir.
[5]. Musnad Ahmad (VIII/176, no. 5966) syarah Ahmad Syakir, dan beliau berkata, “Isnadnya shahih.”
Ibnu Katsir berkata, “Isnad ini hasan la ba'-sa bihi.” (An-Nihaayah/al-Fitan wal Malaahim (I/194)).
Dan Ibnu Hajar berkata, “Hasan,” (Fat-hul Baari XI/350).
[6]. An-Nihaayah/al-Fitan wal Malaahim (I/195) tahqiq Dr. Thaha Zaini.
[7]. Musnad Ahmad (V/348, Muntakhabul Kanzi), dan Taariikhul Umam wal Muluuk (I/8)

Read more…

BERLINDUNG (DIRI) DARI MAKHLUK HALUS

Oleh
Ustadz Rijal Yuliar, Lc


Pembaca yang dirahmati Allah Azza wa Jalla, meyakini keberadaan jin atau setan merupakan bagian dari ajaran agama Islam yang mulia ini. Alam mereka (para jin) sama sekali berbeda dengan alam manusia meskipun keduanya diciptakan oleh Allah Azza wa Jalla untuk satu tujuan yaitu beribadah hanya kepada-Nya. Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku. [adz-Dzâriat/51:56]

Manusia tidak dapat melihat jin atau setan dengan kasat mata. Namun, mereka dapat melihat manusia. Allah Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيلُهُ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْ ۗ إِنَّا جَعَلْنَا الشَّيَاطِينَ أَوْلِيَاءَ لِلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ

Sesungguhnya dia (setan) dan anak keturunan dari bangsanya dapat melihat kalian sementara kalian tidak dapat melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu sebagai pemimpim bagi orang-orang yang tidak beriman. [al-A‘râf/7:27]

Setan adalah musuh manusia yang selalu berupaya menjauhkan mereka dari jalan Allah Azza wa Jalla yang lurus. Setan mengajak para pengikutnya untuk menemaninya di neraka sa‘ir. Allah Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا ۚ إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ

Sesungguhnya setan adalah musuh bagi kalian, maka jadikanlah ia musuh (kalian), sesungguhnya setan itu mengajak para pengikutnya agar menjadi penghuni neraka (sa‘ir) yang menyala-nyala” [Fâthir/35:6]

Kebiasaan setan adalah mengelabui manusia, menghalangi dari kebaikan dan kebenaran. Dan menggelincirkan manusia dalam kesesatan adalah sumpahnya di hadapan Allah. Allah Azza wa Jalla berfirman tentang ucapan Iblis:

قَالَ فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمَ ثُمَّ لَآتِيَنَّهُم مِّن بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَن شَمَائِلِهِمْ ۖ وَلَا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ

Iblis berkata, “Karena Engkau (ya Allah) telah menghukumku untuk tersesat, maka sungguh aku akan menghalanghalangi manusia dari jalan Engkau yang lurus. Kemudian aku akan mendatangi (menggoda) mereka dari hadapan dan dari belakang mereka, dari kanan dan kiri mereka, dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat)”. [al-A`râf/7:16-17]

Mereka ada dimana-mana, siap menjadikan manusia sebagai mangsa kesesatannya. Berbagai metode ditempuh agar manusia jauh dari tauhid dan terjebak dalam lumpur kesyirikan atau kubangan dosa kemaksiatan. Semoga Allah k menjaga kita dari setiap keburukan. Amîn

“TAHAYUL” MENGGANGGU KENYAMANAN HATI
Mari kita perhatikan komentar-komentar berikut: “Hati-hati lho, ini tempat angker, hih…!”, “Awas, janganjangan, ada penunggunya..!?”, “Jangan sembarangan ah, aku takut mereka marah…!”, “Kalau mau selamat, berikan dulu sesajian…!”, “Hih…, tempat itu ngeri.!”. Semua ini adalah tebak reka penulis terhadap kalimat-kalimat yang mungkin diucapkan oleh sebagian orang saat berada di tempat-tempat yang dianggap seram. Demikian itu sebagai ungkapan rasa takut dan kekhawatiran mendapat celaka yang terjadi atas diri mereka di tempat tersebut. Bukan rahasia, yang mereka takuti itu adalah para jin atau setan yang dianggap dapat memberikan madharat (celaka) pada kondisi-kondisi tertentu. Parahnya, setelah ketakutan itu menghantui diri manusia yang lemah tauhid, sering kali mereka berlindung dari celaka dan ketakutan dengan cara-cara yang dapat merusak kesucian tauhid, bahkan memusnahkannya. Mereka menyandarkan diri kepada berbagai bentuk sesajen; sesajian berbungkus mistik kelam untuk meredam ketakutan mereka dan mencari ketenangan. Tanpa mereka sadari, tauhid dalam jiwa mereka rusak, seakan tiada mengenal Allah Azza wa Jalla. Padahal, tak satu pun yang berhak diminta perlindungannya selain Allah Azza wa Jalla yang Maha Kuasa. Tiada satu pun yang mampu memberikan perlindungan selain Allah Azza wa Jalla yang Maha Agung lagi Maha Kuasa atas segalanya. Satu hal yang dapat melegakan kita bahwa setan, binatang buas, manusia atau siapapun tidaklah dapat mendatangkan manfaat atau menimpakan madharat melainkan dengan izin Allah Azza wa Jalla. Allah Azza wa Jalla berfirman: “Katakanlah: “Siapakah Rabb langit dan bumi?” katakan, jawabnya: “Allah”. Katakanlah, “Maka patutkah kamu mengambil pelindung-pelindung bagimu dari selain Allah, padahal mereka tidak memiliki manfaat dan madharrat bagi diri mereka sendiri?!”… Apakah mereka menjadikan sekutu-sekutu bagi Allah yang menciptakan seperti ciptaan-Nya, sehingga kedua ciptaan itu serupa menurut pandangan mereka?!”. Katakanlah: “Allah adalah Pencipta segala sesuatu dan Dia-lah Rabb yang Maha Esa lagi Maha Perkasa”. [ar-Ra`du/13:16]

Maka hendaknya fenomena seperti ini dicermati dengan seksama dan diluruskan. Tujuannya, agar langkah setiap Muslim sesuai dengan pandangan syariat Islam yang benar dan sejalan dengan tauhid yang diserukan oleh Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan segenap rasul sebelum beliau, dan agar tauhid ini tetap terjaga kemurniannya serta tidak tercemar dengan hal-hal beraroma syirik yang mendatangkan kebinasaan bagi pelakunya.

BENTENG TAUHID YANG LEMAH
Karena lemahnya benteng tauhid dan dangkalnya ilmu agama, sebagian kaum Muslimin masih larut dalam tahayul yang diwariskan dari masa ke masa. Akibatnya, bermunculan generasi rapuh tauhid yang mudah takut kepada bangsa jin dan setan, kemudian mencari perlindungan dari selain Allah Azza wa Jalla. Apabila mereka berada di tempat yang dianggap angker, atau melewati tempat berhawa menyeramkan, maka sontak bulu kuduk berdiri, keringat dingin membasahi dahi hingga ke ujung-ujung kaki. Mereka takut terjadi petaka pada diri mereka akibat jin penunggu tempat tersebut tidak merestui kehadiran mereka. Bagi sebagian orang, membakar “kemenyan” dan membaca “jampi mantera” tententu dapat membuat jin-jin itu tenang dan lebih akrab. Sebagian lain yang tidak sempat membakar kemenyan atau membaca mantera, mereka gemetar sambil memohon perlindungan kepada para jin untuk bisa menerima kehadiran mereka, dan meminta agar tidak menggangu atau mencelakai. Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِّنَ الْإِنسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِّنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا

“Dan sesungguhnya sebagian di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa di kalangan bangsa jin, maka para jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan”. [al-Jin/72:6]

Pada masa jahiliyah, seseorang yang melewati suatu lembah atau bermalam di sebuah tempat, dan merasakan ketakutan, biasa menyerukan “Aku berlindung kepada penguasa lembah ini dari bangsa jin yang mengganggu?!”. Yakni berlindung kepada penguasa jin di tempat tersebut dari para jin yang mengganggu.[1] Namun, tidaklah permohonan lindungan dari jin itu dilakukan melainkan akan menambah semakin dahsyat ketakutan dan kelemahannya di hadapan jin. Karena itu para Ulama sepakat [2] bahwa memohon perlindungan dari jin hukumnya haram, bahkan justru akan menambah rasa takut serta kegelisahan hati. Sungguh, akibatnya dia akan semakin merasakan takut luar biasa, padahal dia berharap agar dijauhkan dari rasa takut itu. Sebagian Ulama menjelaskan bahwa manusia menjadikan jin semakin jahat dan congkak ketika mereka memohon perlindungan kepada para jin dan mereka menjadikan manusia semakin dihantui rasa takut terhadap para jin. [3]

MACAM-MACAM TAKUT
Para Ulama menjelaskan bahwa takut terbagi menjadi beberapa macamK

Pertama : Takut yang berkedudukan sebagai ibadah, yaitu takut kepada Allah Azza wa Jalla semata. Ini adalah salah satu ibadah hati. Allah Azza wa Jalla berfirman: “Dan orang yang takut akan saat menghadap Rabbnya baginya ada dua syurga”. [ar-Rahman/55:46]

Kedua: Takut yang bernilai syirik, yaitu seorang hamba yang takut kepada selain Allah Azza wa Jalla ; seperti takut kepada jin, mayat, atau selainnya sebagaimana takutnya kepada Allah Azza wa Jalla atau bahkan lebih. Allah Azza wa Jalla berfirman: “Sesungguhnya mereka adalah setan yang menakuti para pengikutnya, maka jangan takut terhadap mereka (para setan), dan hanya takutlah kepada-Ku jika kalian benar-benar beriman”. [ali `Imrân/3:175]

Ketiga: Takut yang bernilai maksiat, yaitu ketakutan seorang hamba dari para manusia yang mengakibatkan dia meninggalkan kewajiban atau melakukan kemaksiatan. Padahal, kondisi itu belum sampai pada kategori teror paksaan. Maka, ini adalah takut yang bernilai maksiat. Allah k berfirman: “Janganlah takut kepada manusia, takutlah hanya kepada-Ku..” [al-Maidah/5:44]

Keempat: Takut yang wajar sebagai tabiat manusia, sebagaimana ketakutannya kepada musuh, binatang buas, ular berbisa atau semisalnya. Takut jenis ini dimaklumi dengan syarat tidak lebih hanya sekedar takut atau khawatir yang sewajarnya. Allah Azza wa Jalla berfirman (tentang Nabi Musa): “Karena itu Musa menjadi takut (khawatir) di kota itu, dia menunggu dengan cemas dan khawatir…”.[al-Qashâsh/28:18 dan 21]

Kelima: Takut sang pengecut, yaitu takut yang tidak beralasan atau dengan alasan yang tidak masuk akal. Ini adalah takut yang tidak terpuji, pelakunya berhak disebut pengecut. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam berlindung diri dari perangai ini. Oleh karena itu, iman yang sempurna, tawakkal dan keberanianlah yang dapat mencegah dari perangai tersebut. [4]

KERJASAMA JIN DAN MANUSIA BERAKIBAT AZAB DI NERAKA
Allah Azza wa Jalla adalah Rabb kita, tiada tempat bernaung selain-Nya, tiada tempat bersandar dari berbagai kesulitan dan kesempitan selain Dia Azza wa Jalla, tiada yang disembah selain Allah Azza wa Jalla. Maka, tidaklah pantas disembah, dimintai doa dan dimintakan perlindungan, atau ditakuti selain Allah Azza wa Jalla. Demi mencapai kesenangan yang semu dan sesaat, masih dijumpai sebagian orang mengambil jalan pintas dengan menjalin kerjasama dengan bangsa setan yang terkutuk. Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَيَوْمَ يَحْشُرُهُمْ جَمِيعًا يَا مَعْشَرَ الْجِنِّ قَدِ اسْتَكْثَرْتُم مِّنَ الْإِنسِ ۖ وَقَالَ أَوْلِيَاؤُهُم مِّنَ الْإِنسِ رَبَّنَا اسْتَمْتَعَ بَعْضُنَا بِبَعْضٍ وَبَلَغْنَا أَجَلَنَا الَّذِي أَجَّلْتَ لَنَا ۚ قَالَ النَّارُ مَثْوَاكُمْ خَالِدِينَ فِيهَا إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ ۗ إِنَّ رَبَّكَ حَكِيمٌ عَلِيمٌ

Dan di hari Allah menghimpun mereka semua (Allah berfirman): “Hai jin, sesungguhnya kamu telah banyak menyesatkan manusia”, lalu berkatalah kawan-kawan jin dari golongan manusia: “Wahai Rabb kami, sesungguhnya sebagian dari kami telah mendapatkan kesenangan dari sebagian (yang lain), dan kami telah sampai kepada waktu yang Engkau tentukan bagi kami”.Allah berfirman: “Neraka itulah tempat tinggal kalian, kalian kekal di dalamnya, kecuali jika Allah menghendaki (yang lain)”. Sesungguhnya Rabb kalian Maha bijaksana lagi Maha mengetahui”. [al-An`âm/6:128]

Dalam ayat ini digambarkan bahwa sebagian dari jin dan manusia telah mendapatkan pelayanan satu sama lain. Jin merasa senang karena manusia menaatinya, menyembahnya, dan mengagungkannya, bahkan memohon perlindungan darinya. Sementara manusia senang karena mencapai tujuan-tujuannya dengan bantuan jin agar hawa nafsunya terpenuhi. Jadi, sesungguhnya manusia telah menyembah jin kemudian jin memberikan pelayanannya kepada manusia dan tercapai sebagian hajat duniawinya.[5] Allah Azza wa Jalla juga berfirman:

وَمَن يَعْشُ عَن ذِكْرِ الرَّحْمَٰنِ نُقَيِّضْ لَهُ شَيْطَانًا فَهُوَ لَهُ قَرِينٌ وَإِنَّهُمْ لَيَصُدُّونَهُمْ عَنِ السَّبِيلِ وَيَحْسَبُونَ أَنَّهُم مُّهْتَدُونَ

“Dan barangsiapa yang berpaling dari mengingat Allah Yang Maha penyayang, Kami jadikan baginya setan (yang menyesatkan). Maka, setan itu menjadi teman yang selalu menyertainya. Dan sesungguhnya para setan itu benarbenar menghalangi mereka dari jalan yang benar, dan mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk”. [az-Zukhruf/43:35-36]

Lihatlah bagaimana Allah Azza wa Jalla memastikan kesesatan dan menjadikan neraka sebagai tempat pembalasan bagi orang-orang yang telah menjadikan jin sebagai pelindung yang diagungkan, ditakuti, ditaati dan dinanti perkara-perkara gaib darinya. ‘Iyâdzan billâh.

BAGAIMANA SEHARUSNYA BERLINDUNG?
Kepada siapa meminta perlindungan dari gangguan setan? Hakekat memohon perlindungan adalah lari menghindar dari sesuatu yang ditakuti menuju siapapun yang dapat memberikan perlindungan dan keselamatan.[6] Ketahuilah sesungguhnya memohon perlindungan hanya kepada Allah Azza wa Jalla berpasrah diri kepada-Nya dari segala keburukan. Allah Azza wa Jalla berfirman:

قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ مِن شَرِّ مَا خَلَقَ

Katakanlah: “Aku berlindung kepada Rabb Yang menguasai al-Falaq. Dari kejahatan makhluk-Nya”. [al-Falaq/113:1-2]

قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ

Katakanlah: “Aku berlindung kepada Rabb (Yang memelihara dan menguasai) manusia”. [an-Nâs/114:1]

Setiap perbuatan atau perkataan yang di dalamnya terdapat permintaan adalah ibadah. Maka, memohon perlindungan adalah suatu bentuk ibadah. [7] Dengan demikian, tidak dibenarkan hal itu ditujukan kepada selain Allah Azza wa Jalla, karena itu adalah perbuatan syirik. Jadi, mengharap kebaikan hanya kepada Allah Azza wa Jalla. Dialah Yang Maha menghidupkan, mematikan dan membangkitkan. Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَاتَّخَذُوا مِن دُونِهِ آلِهَةً لَّا يَخْلُقُونَ شَيْئًا وَهُمْ يُخْلَقُونَ وَلَا يَمْلِكُونَ لِأَنفُسِهِمْ ضَرًّا وَلَا نَفْعًا وَلَا يَمْلِكُونَ مَوْتًا وَلَا حَيَاةً وَلَا نُشُورًا

Mereka mengambil sesembahan-sesembahan selain Allah Azza wa Jalla (untuk disembah), sesembahan-sesembahan itu tidak menciptakan apapun, bahkan mereka sendiri diciptakan dan tidak kuasa untuk menolak suatu madharat dari diri mereka dan tidak pula dapat memberi suatu manfaat, dan (juga) tidak kuasa mematikan atau menghidupkan dan tidak (pula) membangkitkan.[al-Furqân/25:3]

“Perlu diketahui bahwa suatu bentuk permintaan dapat berbeda predikat dan ragamnya tergantung siapa yang diminta. Apabila pihak yang diminta setara (dengan yang meminta) maka disebut mencari (iltimâs), apabila yang diminta lebih rendah maka itu disebut perintah. Namun, apabila yang diminta lebih tinggi maka disebut memohon (berdoa). Tidak diragukan bahwa seorang yang memohon perlindungan, dia tengah meminta kepada yang lebih tinggi darinya…” [8]. Allah Azza wa Jalla memerintahkan kita agar memohon perlindungan dari gangguan setan hanya kepada-Nya. Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَقُل رَّبِّ أَعُوذُ بِكَ مِنْ هَمَزَاتِ الشَّيَاطِينِ وَأَعُوذُ بِكَ رَبِّ أَن يَحْضُرُونِ

Dan katakanlah: “wahai Rabbi, aku berlindung kepada Engkau dari bisikan-bisikan godaan setan. Dan aku berlindung (pula) kepada Engkau Ya Rabbi, dari kedatangan mereka kepadaku”. [al-Mukminûn/23:97-98]

وَإِمَّا يَنزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

Dan jika setan mengganggumu dengan suatu gangguan,maka mohonlah perlindungan kepada Allah.Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui”. [Fushshilat/41:36]

Seorang Mukmin hendaknya berlindung kepada Allah Azza wa Jalla semata dari segala keburukan yang menimpanya, baik dari pertemuan dengan para setan, kehadiran mereka yang mengejutkan, ajakan kesesatan, bisikan ataupun godaan mereka untuk berbuat kemaksiatan. Apabila Allah Azza wa Jalla melindungi hamba-Nya dari keburukan ini dan mengabulkan permohonannya, maka dia akan selamat dari segala celaka dan keburukan, serta diberikan taufik untuk melakukan segala kebaikan.

SEMUA ADA TUNTUNANNYA DALAM ISLAM
Islam adalah agama yang sempurna. Tiada satupun permasalahan yang menjadi petaka bagi manusia disebabkan Islam belum menjelaskannya. Terlebih jika perkara itu terkait erat dengan konsistensi tauhid seorang hamba. Pastilah Islam menjauhkan kaum Mukminin dari berbagai kesyirikan. Dengan Islam ketentraman akan datang, keselamatan akan selalu menyertai, tauhid akan menjadi penyejuk hati yang mendamaikan hidup dan menerangi setiap langkah mereka. Berlindung dari apapun yang membahayakan kita hanya kepada Allah Azza wa Jalla adalah cerminan tauhid. Lihatlah bagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan keteladanan kepada kita selaku umatnya.

عَنْ خَوْلَةَ بِنْتِ حَكِيْمِ السُّلَمِيَّةِ قَالَتْ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَم يَقُوْلُ : ((مَنْ نَزَلَ مَنْزِلاً ثُمَّ قَالَ "أَعُوْذُ بِكَلِمَا تِ اللَّهِ التَّامَّا تِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ "، لَمْ يَضُرَّهُ شَيْئٌ حَتَّى يَرْ تَحِلَ مِنْ مَنْزِلِهِ ذّلِكَ))

Dari Khaulah binti Hakim as-Sulamiyyah Radhiyallahu ‘anhuma ia berkata: aku telah mendengar Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa singgah di sebuah tempat dan dia membaca “أَعُوْذُ بِكَلِمَا تِ اللّهَِ التَّامَّا تِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ “ (aku berlindung dengan firman-firman Allah yang sempurna dari keburukan apapun yang telah Allah ciptakan), maka tiada satu pun dapat mencelakakannya hingga dia meninggalkan tempat tersebut”. Dalam riwayat lain (disebutkan dengan bentuk perintah): “Jika salah seorang di antara kalian singgah di sebuah tempat hendaklah ia membaca….!!”.[9]

Inilah syariat Islam dalam memohon perlindungan. Yakni agar berlindung kepada Allah Azza wa Jalla dengan firman-firman-Nya yang sempurna, yang tiada kekurangan atau aib padanya. Bukan berlindung kepada para jin, setan atau mantera azimat dukun, sebagaimana dilakukan oleh sebagian orang di zaman ini yang ternyata tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh kaum jahiliyah. Itu adalah perbuatan syirik karena memohon perlindungan adalah ibadah padahal ibadah hanyalah ditujukan kepada Allah Azza wa Jalla semata. Allah Azza wa Jalla berfirman: “Katakanlah: “Mengapa kamu menyembah selain daripada Allah, sesuatu yang tidak dapat member madharrat kepadamu dan tidak (pula) member manfaat?” dan Allah-lah yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui”. [ al-Mâidah: 76]

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Barangsiapa menyajikan sembelihan untuk setan, berdoa kepadanya, memohon bantuan dan lindungan darinya, mendekatkan diri kepada setan dengan sesuatu yang setan sukai, maka sungguh dia telah menyembah setan itu sekalipun dirinya tidak menamakan hal tersebut sebagai ibadah…”. [10]

Islam telah mengajarkan semua petunjuk berlindung dari berbagai hal yang mungkin menimbulkan bahaya kepada kita termasuk dari gangguan para setan. Mari kita cermati baik-baik doa dan dzikir-dzikir berikut ini. Semua telah diajarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

اللّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْخُبُثِ وَالْخَبَا ئِثِ

Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari setan laki-laki dan setan perempuan. [Doa masuk wc, HR. Muslim]

أَعُوْذُ بِاللَّهِ الْعَظِيْمِ وَبِوَجْهِهِ الْكَرِيْمِ وَسُلْطَا نِهِ الْقَدِيمِ مِنَ الشَّيْطَانِالرَّ جِيْمِ

Aku berlindung kepada Allah Yang Maha agung, dengan wajah-Nya yang mulia, kekuasaan-Nya yang terdahulu dari godaan setan yang terkutuk”. [Doa masuk masjid: HR Abu Dâwud]

اللَّهُمَّ اعْصِمْنِيْ مِنَالشَّيْطَا نِ الرَّجِيْمِ

“… ya Allah, lindungi aku dari setan yang terkutuk”. [Bagian dari doa keluar masjid: HR Ibnu Mâjah]

أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّةِ مِنْ كُلِّ شَيْطَانِ وَهَامَّةٍ وَمِن كُلِّ عَيْنٍ لاَمَّةٍ

Aku memohon perlindungan (kepada Allah) bagi kalian berdua dengan firman-firman Allah yang sempurna dari gangguan setan dan binatang, serta dari bahaya sihir ‘ain yang tajam. [Doa perlindungan bagi anak, HR al-Bukhâri]

بِاسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ جَنِبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبْْ الشَّيْطَأ نَ مَا رَزَقْتَنَا

Dengan menyebut nama Allah . Ya Allah, hindarkan kami dari setan. Jauhkan setan dari (anak) yang Engkau karuniakan kepada kami” [Doa berkumpul dengan isteri, HR al-Bukhâri, Muslim]

أَعُوْذُ بِكَلِمَا تِ اللَّهِ التَّامَّاتِ الَّتِي لاَ يُجَاوِزُ هُنَّ بَرُّ وَلاَ فَا جِرُ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ وَذَرَأَ وَبَرَأَ وَمِنْ شَرِّ مَا يَنْزِلُ مِنْ السَّمَاءِ وَمِنْ شَرِّ مَا يَعْرُجُ فِيْهَا وَمِنْ شَرِّ مَا ذّرَأَ فِي اْلأَرْضِ وَمِنْ شَرِّ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَمِنْ شَرِّ فِتَنِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَمِنْ شَرِّ كُلِّ طَارِقٍ إِلاَّ طَارِقًا يَطْرُ قُ بِخَيْرٍ يَا رَححْمَنُ

Aku berlindung dengan firman-firman Allah yang sempurna, yang tidak bisa ditembus oleh para hamba yang shalih apalagi yang fasik, dari kejahatan makhluk-Nya, dan dari kejahatan yang turun dari langit atau yang naik ke atas langit, serta dari segala kejahatan makhluk di bumi. Juga dari kejahatan yang keluar dari perut bumi, dari kondisi buruk kekacauan di siang dan malam, serta dari kejahatan tamu di tengah malam, kecuali yang bermaksud baik, wahai ar-Rahmân........…” [Doa mengusir setan jahat, HR. Ahmad]

Dan masih banyak lagi contoh-contoh tuntunan Rasulullah n bagi kita selaku umatnya dalam berlindung diri dari berbagai keburukan setan. Barangsiapa menghidupkan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam memohon perlindungan kepada Allah Azza wa Jalla, maka sungguh dia telah mencerminkan tauhid dirinya kepada Allah Azza wa Jalla .

BEBERAPA HIKMAH YANG DAPAT DIPETIK DARI PEMBAHASAN SINGKAT DI ATAS:
1. Islam mengajarkan umatnya untuk mempercayai adanya bangsa jin dan setan. Agar diwaspadai godaannya, bukan untuk ditakuti madharratnya, sebab tidak ada yang kuasa memberikan manfaat atau madharrat selain dengan izin Allah Azza wa Jalla.

2. Gangguan dan godaan setan mungkin datang kapan saja, namun seorang Mukmin dapat menghadapi dengan kekuatan tauhidnya yaitu berlindung kepada Rabb Azza wa Jalla Yang Maha segalanya.

3. Tidak dibenarkan takut kepada setan, apalagi meminta perlindungan kepada setan dari gangguannya. Karena yang demikian adalah syirik. Ketakutan itu justru akan menambah kejahatan dan kecongkakan setan terhadap manusia, setan akan menyiksa manusia dan membuat mereka semakin gelisah serta ketakutan.

4. Meyakini tempat-tempat seram yang bertuan “jin” serta takut karenanya adalah tahayul yang merusak kesucian tauhid. Karena pada saat itu dia seakan lupa akan perlindungan dan kekuasaan Allah Azza wa Jalla terhadap para hamba yang memohon perlindungan dari-Nya Azza wa Jalla.

5. Selayaknya bagi seorang Mukmin untuk memahami klasifikasi “takut” sebagaimana dijelaskan para Ulama, agar dirinya dapat menempatkan segala sesuatu pada tempatnya.

6. Wajib memohon perlindungan hanya kepada Allah Azza wa Jalla semata, baik dari gangguan setan atau dari keburukan apapun karena itulah cerminan tauhid.

7. Kerjasama atau barter jasa dan manfaat dengan para jin untuk mendapatkan sekelumit kenikmatan duniawi adalah kesyirikan yang akan berujung adzab Allah Azza wa Jalla.

8. Islam telah menuntun umatnya untuk segala kebaikan, mengokohkan tauhidnya dan menjauhkan diri dari kesyirikan yang akan menyengsarakannya di dunia dan di akhirat.

Semoga Allah Azza wa Jalla senantiasa membimbing setiap langkah kita, menjadikan kita hamba-Nya yang bertauhid di manapun kita berada, menerangi setiap lembaran hidup kita dengan pelita ilmu. Melimpahkan kebaikan dan kebahagiaan di dunia dan di akherat. Amîn.

(Penulis adalah staf pengajar Pesantren Islam al-Irsyad Tengaran)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XIII/1431H/2010M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858197]
_______
Footnote
[1]. Fathul-Majîd: 196, Taisîrul-‘Azîzil-Hamîd: 176-177, At-Tamhîd: 171, Al-Qaulul-Mufîd: 162. Lihat juga kitab-kitab tafsir dalam penjabaran makna ayat di atas
[2]. Kesepakatan ini disebutkan dalam Fathul-Majîd: 196
[3]. Al-Qaulul-Mufîd: 162
[4]. Al-Qaulul-Mufîd fî Adillatit-Tauhîd: 110-113
[5]. Taisîrul-‘Azîzil-Hamîd: 177, lihat juga tafsir Sa‘di
[6]. Taisîrul-‘Azîzil-Hamîd: 175, At-Tamhîd: 167
[7]. At-Tamhîd: 168
[8]. At-Tamhîd: 168
[9].Keduanya diriwayatkan oleh Imam Muslim
[10]. Dinukil dari Taisîrul-‘Azîzil-Hamîd: hlm 179. Lihat Badâi‘ul-Fawâid: 2/461

Read more…

Kewajiban Mengikuti Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam


Kewajiban Mengikuti Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam

Oleh Ustadz Abdullah Taslim, Lc.
Prolog
Semua orang yang beriman kepada Allah Azza wa Jalla dan hari kemudian wajib menyadari bahwa landasan utama agama islam yang agung ini adalah dua kalimat syahadat:لا إله إلا الله و محمد رسول الله yang ini berarti bahwa seseorang tidak akan bisa berislam dengan benar, bahkan tidak akan bisa mencapai kedudukan taqwa yang sebenarnya disisi Allah Azza wa Jalla, kecuali setelah dia berusaha memahami dan mengamalkan kandungan dua kalimat syahadat ini dengan baik dan benar.
Para ulama Ahlus sunnah wal jama’ah menjelaskan bahwa makna (لا إله إلا الله) adalah tidak ada sembahan yang benar kecuali Allah Azza wa Jalla, artinya tidak ada yang berhak untuk kita serahkan padanya segala bentuk ibadah, yang lahir maupun yang batin, kecuali Allah Azza wa Jalla semata-mata. Dan syahadat ini mengandung dua konsekwensi:
1. Menetapkan bahwa hanya Allah Azza wa Jalla yang berhak disembah/diibadahi
2. Berlepas diri dari segala sesuatu yang disembah selain Allah Azza wa Jalla.
Adapun syahadat محمد رسول الله)), maka maknanya tercakup dalam empat perkara:
1. Mentaati segala sesuatu yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
2. Membenarkan semua berita yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
3. Menjauhi semua yang dilarang dan dicela oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
4. Hanya mengikuti sunnah dan petunjuk Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam beribadah kepada Allah Azza wa Jalla.
Dan untuk tujuan merealisasikan kandungan dua kalimat syahadat inilah Allah Azza wa Jalla mengutus para Rasul shallallahu alaihi wasallam, Allah Azza wa Jalla Berfirman:
(ولقد بعثنا في كل أمة رسولاً أنِ اعبدوا الله واجتنبوا الطاغوت)
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan):”Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah segala sesuatu yang disembah selain-Nya” (QS An Nahl: 36).
Dan Allah Azza wa Jalla menceritakan tentang seruan yang disampaikan Nabi Nuh shallallahu alaihi wasallam kepada kaumnya, dalam firman-Nya:
(قال يا قومِ إني لكم نذير مبين، أن اعبدوا الله واتقوه وأطيعونِ)
“Nuh berkata:”Hai kaumku, sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang menjelaskan kepadamu, (yaitu) sembahlah olehmu Allah (saja), bertaqwalah kepada-Nya dan taatlah kepadaku”, (QS. Nuh: 2-3).
Dan tentang seruan Nabi ‘Isa kepada kaumnya:
(وجئتكم بآية من ربكم فاتقوا الله وأطيعونِ، إنّ الله ربي وربكم فاعبدوه، هذا صراط مستقيم)
“Dan aku datang kepadamu dengan membawa suatu tanda (mu’jizat) dari Rabbmu. Karena itu bertaqwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku, Sesungguhnya Allah, Rabbku dan Rabbmu, karena itu sembahlah Dia (saja). Inilah jalan yang lurus”. (QS. Ali ‘Imran: 50-51)
Kesimpulannya, inti ajaran dan seruan dakwah para Nabi dan Rasul shallallahu alaihi wasallam adalah:
- mengajak manusia untuk beribadah kepada Allah Azza wa Jalla semata-semata
- mengajarkan kepada mereka bagaimana cara beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla, yang benar dan diridhai oleh Allah Azza wa Jalla, melalui ucapan dan perbuatan mereka shallallahu alaihi wasallam.
Dalil-dalil wajibnya mengikuti petunjuk Nabi shallallahu alaihi wasallam dalam beribadah
Oleh karena itu, Allah Azza wa Jalla sama sekali tidak akan menerima amal perbuatan seorang hamba, bagaimanapun semangatnya dia dalam mengerjakannya, dan meskipun dia mengaku mencintai Allah Azza wa Jalla dan ikhlas dalam mengerjakannya, kecuali jika amal perbuatan tersebut sesuai dengan petunjuk dan sunnah yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, Allah Azza wa Jalla Berfirman:
(قل إن كنتم تحبّون الله فاتبعوني يحببكم الله ويغفر لكم ذنوبكم، والله غفور رحيم)
“Katakanlah (wahai Rasulullah): “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah aku (ikutilah sunnah dan petunjukku), niscaya Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu”, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Ali ‘Imran:31).
Imam Ibnu Katsir, sewaktu menafsirkan ayat ini berkata: “Ayat yang mulia ini merupakan hakim (pemberi hukum) bagi semua orang yang mengaku mencintai Allah Azza wa Jalla, padahal dia tidak mengikuti petunjuk dan sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, maka orang tersebut (dianggap) berdusta dalam pengakuannya (mencintai Allah Azza wa Jalla), sampai dia mau mengikuti petunjuk dan sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam semua ucapan, perbuatan dan keadaan Beliau shallallahu alaihi wasallam”. Oleh karena itulah sebagian dari para ulama ada yang menamakan ayat ini sebagai “Ayatul Imtihan” (Ayat untuk menguji benar/tidaknya pengakuan cinta seseorang kepada Allah Azza wa Jalla).
Dan kalau kita melihat kembali apa sebenarnya definisi Ibadah/Amal saleh itu, maka akan semakin jelaslah masalah ini. Definisi Ibadah yang paling lengkap dan paling baik adalah yang disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya “Al ‘Ubudiyyah”: Ibadah itu adalah suatu nama (istilah) yang mencakup segala sesuatu yang dicintai dan diridhai oleh Allah Azza wa Jalla, baik itu berupa perkataan atau perbuatan, yang lahir maupun batin. Maka dari definisi ini terlihat jelas bahwa salah satu kriteria ibadah/amal saleh adalah dicintai dan diridhai oleh Allah Azza wa Jalla, artinya yang menjadi barometer dalam menilai apakah suatu ucapan/perbuatan bernilai ibadah/amal saleh disisi Allah Azza wa Jalla, adalah kecintaan dan keridhaan Allah Azza wa Jalla, bukan berdasarkan keinginan, akal, perasaan atau kesenangan manusia. Dan semua ucapan dan perbuatan yang dicintai oleh Allah Azza wa Jalla telah disampaikan dan dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam ucapan dan perbuatan (sunnah) Beliau shallallahu alaihi wasallam, sehingga setelah Beliau shallallahu alaihi wasallam wafat, maka tidak ada satu ucapan/perbuatan pun yang dibutuhkan oleh setiap muslim untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla, kecuali semua itu telah disampaikan dan dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan lengkap dan jelas. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ath Thabarani (Al Mu’jam al kabir 2/155) dan disahihkan oleh Syaikh Al Albani, dari seorang sahabat yang mulia Abu Dzar Al Ghiffari radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“ما بقي شيء يقرب من الجنة ويباعد من النار إلا وقد بين لكم”
“Tidak ada (lagi) yang tertinggal dari (ucapan/perbuatan) yang bisa mendekatkan (kamu) ke surga dan menjauhkan (kamu) dari neraka, kecuali semua itu telah dijelaskan kepadamu”. Dan Beliau shallallahu alaihi wasallam juga bersabda: “Tidak ada seorang Nabi pun (yang diutus oleh Allah Azza wa Jalla) sebelumku, kecuali wajib baginya untuk menyampaikan kepada umatnya (semua) kebaikan yang diketahuinya, dan memperingatkan mereka dari (semua) keburukan yang diketahuinya”, (HSR Muslim).
Dan Allah Azza wa Jalla sendiri telah mengumumkan kepada semua manusia tentang kesempurnaan ajaran agama islam yang disampaikan dan dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ini dalam firman-Nya:
(اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم الإسلام ديناً)
“Pada hari ini telah Kusempurnakan bagimu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam ini menjadi agamamu”, (QS Al Maaidah:3).
Konsekwensi buruk perbuatan bid’ah
Maka setelah turunnya ayat di atas, jika ada seorang yang ingin mencari atau melakukan suatu ucapan/perbuatan untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla, padahal ucapan/perbuatan tersebut tidak pernah disampaikan dan dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, maka orang ini ada dua kemungkinan padanya, yang tidak bisa lepas darinya:
- kemungkinan pertama, dia menganggap Allah Azza wa Jalla belum menyempurnakan agama islam ini, yang berarti firman Allah Azza wa Jalla dalam surat Al Maaidah:3 tersebut, tidak ada artinya, atau dengan kata lain, firman Allah Azza wa Jalla tersebut (menurut dia) isinya cuma sekedar basa-basi, karena tidak sesuai kenyataan?!
- kalau dia menyanggah kemungkinan pertama tadi, maka kemungkinan kedua, dia menuduh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam belum menyampaikan syariat islam ini dengan sempurna, artinya (menurut dia) Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyembunyikan sebagian dari petunjuk Allah Azza wa Jalla yang seharusnya disampaikan kepada manusia, atau dengan kata lain, dia menuduh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengkhianati amanat Allah Azza wa Jalla untuk menyampaikan semua petunjuk Allah Azza wa Jalla kepada manusia?!
Maka tentu saja tuduhan-tudahan yang terdapat dalam dua kemungkinan di atas adalah tuduhan-tuduhan yang sangat keji, bahkan bisa menyebabkan kekafiran jika seseorang benar-benar meyakininya. Dan semua ini menggambarkan kepada kita akan buruknya melakukan perbuatan yang tersebut di atas (perbuatan Bid’ah), karena konsekwensinya adalah tuduhan-tuduhan keji yang langsung ditujukan kepada Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wasallam, seperti yang tersebut dalam dua kemungkinan di atas.
Epilog
Sebagai penutup dari tulisan singkat ini, kami ingin menyampaikan beberapa syubhat (pengkaburan) yang sering dilontarkan ketika kita membicarakan masalah ini, sekaligus jawabannya, insya Allah Azza wa Jalla. Di antaranya adalah sebagai berikut:
- ucapan orang yang mengatakan: “yang pentingkan niatnya baik, meskipun jalannya berbeda-beda selamanya tujuannya satu, pasti akan diterima oleh Allah Azza wa Jalla?! Bahkan ada di antara mereka yang berargumentasi dengan hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:
“إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرئٍ ما نوى”
“Sesungguhnya semua amal perbuatan itu tergantung dari niatnya, dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan (balasan) sesuai dengan apa yang diniatkannya” (HSR Al Bukhari 1/3 dan Muslim 3/1515).
Jawabannya, Hadits ini memang hadits yang shahih, akan tetapi ada ayat Al Qur’an dan hadits lain yang menerangkan makna yang benar dari hadits ini, diantaranya sabda Rasulullahshallallahu alaihi wasallam:
“من عمل عملاً ليس عليه أمرنا فهو ردٌّ”
“Barang siapa yang melakukan suatu amalan (dalam agama ini) yang tidak ada contohnya dari kami, maka amalan tersebut tertolak” (HSR Al Bukhari 2/753 dan Muslim 3/1343).
Maka metode yang benar dalam memahami agama ini adalah memahaminya dari semua ayat Al Qur’an dan hadits yang shahih secara keseluruhan, bukan dengan mengambil satu ayat atau hadits kemudian meninggalkan ayat atau hadits yang lainnya?! Kedua hadits di atas menjelaskan tentang dua syarat diterimanya amal ibadah di sisi Allah Azza wa Jalla:
1) Syarat yang pertama, yaitu ikhlas semata-mata karena Allah Azza wa Jalla dalam melakukan amal ibadah, dan ini adalah inti makna syahadat (لا إله إلا الله), syarat ini terkandung dalam hadits yang pertama, oleh karena itu para ulama mengatakan bahwa hadits yang pertama merupakan timbangan amalan batin (hati) manusia.
2) Syarat yang kedua, yaitu semata-mata mengikuti contoh dan petunjuk Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam melakukan amal ibadah, dan ini adalah inti makna syahadat (محمد رسول الله), syarat ini terkandung dalam hadits yang kedua, oleh karena itu para ulama mengatakan bahwa hadits yang kedua merupakan timbangan amalan lahir manusia.
Kedua syarat ini Allah Azza wa Jalla sebutkan dalam firman-Nya:
(فمن كان يرجو لقاء ربي فليعمل عملاً صالحاً ولا يشرك بعبادة ربّه أحداً)
“Maka barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh (amal yang sesuai dengan petunjuk Rasulullah shallallahu alaihi wasallam) dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Rabb-nya” (QS Al Kahfi:110).
Adapun dalil yang menunjukkan bahwa jalan yang benar (lurus) itu cuma satu dan tidak berbilang adalah hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu:
عن عبد الله بن مسعود رضي الله عنه قال: خطّ رسول الله صلى الله عليه وسلم خطاًّ بيده ثم قال: “هذا سبيل الله مستقيماً”، قال: ثم خط خطوطاً عن يمينه وشماله ثم قال: “هذه السبل ليس منها سبيل إلا عليه شيطان يدعوا إليه”، ثم قرأ (وأن هذا صراطي مستقيما فاتبعوه ولا تتبعوا السبل) صحيح رواه أحمد والدارمي.
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu dia berkata: Raslullah shallallahu alaihi wasallam (pernah) membuat satu garis lurus (dihadapan kami), kemudian Beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Inilah jalan Allah yang lurus”, kemudian Beliau shallallahu alaihi wasallam membuat garis-garis lain (yang banyak jumlahnya) di samping kiri dan kanan garis yang lurus tadi, lalu Beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Inilah jalan-jalan lain (yang menyimpang/sesat), yang pada semua jalan ini ada setan yang mengajak (manusia) untuk mengikuti jalan tersebut”, kemudian Beliau shallallahu alaihi wasallam membaca firman Allah Azza wa Jalla (Al An’aam: 153): “Dan ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah jalan itu; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (sesat yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertaqwa” (Hadits shahih riwayat Ahmad 1/435 dan Ad Darimi 1/78)).
- Ucapan orang yang mengatakan: “yang pentingkan amalannya amalan baik, selama amalan tersebut baik, mengapa harus diingkari?
Jawabannya, yang menjadi patokan/barometer dalam menilai baik/buruknya suatu amalan (perbuatan) adalah petunjuk dan syariat Allah Azza wa Jalla, bukan akal, perasaan dan pertimbangan manusia, karena akal, perasaan dan pertimbangan manusia bersifat relatif dan sangat terbatas, Allah Azza wa Jalla berfirman dalam Al Baqarah: 216):
(كتب عليكم القتال وهو كرهٌ لكم وعسى أن تكرهوا شيئاً وهو خير لكم وعسى أن تحبّوا شيئاً وهو شرٌّ لكم والله يعلم وأنتم لا تعلمون)
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal dia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu padahal dia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”.
Dan semua amalan yang baik telah Allah Azza wa Jalla tetapkan dalam syariat-Nya dan telah dicontohkan dengan jelas dan sempurna oleh nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam, Allah Azza wa Jalla berfirman:
(اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم الإسلام ديناً)
“Pada hari ini telah Kusempurnakan bagimu agamamu dan telah Ku-cukupkan nikmat-Ku atasmu, dan telah Ku-ridhai Islam ini menjadi agamamu” (QS Al Maaidah:3).
Sebagai bukti akan hal ini adalah suatu kisah yang pernah terjadi di jaman Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, yang diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari dan Muslim:
عن أنس بن مالك رضي الله عنه قال: جاء ثلاثة رهط إلى بيوت أزواج النبي صلى الله عليه وسلم يسألون عن عبادة النبي صلى الله عليه وسلم، فلما أخبروا كأنهم تقالوها، فقالوا: وأين نحن من النبي صلى الله عليه وسلم قد غفر الله له ما تقدم من ذنبه وما تأخر، قال أحدهم: أما أنا فإني أصلي الليل أبدا، وقال آخر: انا أصوم الدهر ولا أفطر، وقال آخر: أنا أعتزل النساء فلا أتزوج أبدا، فجاء رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال: “أنتم الذين قلتم كذا وكذا؟ أما والله إني لأخشاكم لله وأتقاكم له، لكني أصوم وأفطر، وأصلي وأرقد، وأتزوج النساء، فمن رغب عن سنتي فليس مني”متفق عليه.
Dari Anas bin Malik radhiallahu anhu dia berkata: Tiga orang sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah datang ke rumah istri-istri Beliau shallallahu alaihi wasallam untuk menanyakan tentang ibadah Beliau shallallahu alaihi wasallam (sewaktu di rumah), dan setelah hal tersebut diterangkan kepada mereka, seolah-olah mereka menganggapnya sedikit, sehingga mereka mengatakan: jauh sekali kedudukan kita dibandingkan dengan kedudukan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam (di sisi Allah Azza wa Jalla), karena Allah Azza wa Jalla telah mengampuni semua dosa Beliau shallallahu alaihi wasallam yang lalu maupun yang akan datang, kemudian salah seorang dari mereka berkata: (Mulai sekarang) saya akan sholat semalam suntuk (tiap malam) selamanya! Orang yang ke dua berkata: Saya akan berpuasa terus setiap hari dan tidak mau berhenti berpuasa! Dan orang yang ke tiga berkata: Saya akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah selama-lamanya! Kemudian datanglah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan bersabda kepada mereka: “Kalian tadi yang mengucapkan ucapan ini dan itu? Ketahuilah, demi Allah! Saya adalah orang yang paling takut dan paling bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla dibandingkan kamu semua, tapi (bersamaan dengan itu) saya (kadang) berpuasa dan (kadang) tidak berpuasa, saya melakukan shalat (malam) dan (diselingi dengan) tidur, dan saya menikahi wanita, maka barangsiapa yang tidak suka dengan sunnahku (cara-caraku beribadah) maka dia bukan termasuk golonganku (umatku)” HSR Al Bukhari (5/1949) dan Muslim (2/1020).
Dalam hadits ini Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengingkari amalan yang ingin dilakukan oleh ketiga orang sahabat ini radhiallahu anhu, padahal kalau dilihat berdasarkan akal, perasaan dan pandangan manusia amalan yang ingin mereka lakukan adalah amalan yang baik bahkan sangat baik! Shalat semalam suntuk tanpa tidur malam, puasa setiap hari dan menjauhi wanita karena tidak ingin terganggu konsentrasi beribadah.
Bahkan pengingkaran Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kepada mereka adalah pengingkaran yang sangat keras, sampai-sampai Beliau shallallahu alaihi wasallam menyatakan sikap bara’ (berlepas diri) dari perbuatan yang ingin mereka lakukan itu, yang ini menunjukkan bahwa perbuatan tersebut meskipun terlihat baik menurut akal, perasaan dan pandangan manusia, akan tetapi karena tidak pernah dicontohkan dalam sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, maka perbuatan tersebut sangat buruk di hadapan Allah Azza wa Jalla dan jika dikerjakan justru akan semakin menjauhkan seseorang dari ridha-Nya Azza wa Jalla.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
_______________
1. Lihat kitab “Al Ushulu ats tsalaasah” (hal.12).
2. Ibid (hal.13).
Sumber: ngaji-online.com

Read more…

Link Para Ulama

LINK PARA ULAMA
  1. Abdul Azhim Badawi (http://www.ibnbadawy.com/)
  2. Abdul Aziz Alu Syaikh (http://www.sahab.ws/5600/news/3399.html)
  3. Abdul Aziz ar-Rajihi (http://www.sh-rajhi.com/rajhi/)
  4. Abdul Aziz ar-Rayyis (http://islamancient.com/)
  5. Abdul Aziz bin Bazz (http://www.ibnbaz.org.sa/)
  6. Abdul Aziz Bura’i (http://www.alburaie.com/new/index.php)
  7. Abdul Muhsin Abbad (http://www.alabad.jeeran.com/)
  8. Abdul Muhsin Ubaikan (http://www.obaykan.com/)
  9. Abdul Qadir al-Arnauth (http://www.alarnaut.com/)
  10. Abdullah al-Fauzan (http://www.alfuzan.islamlight.net/)
  11. Abdullah azh-Zhafiri (http://www.sahab.ws/6111)
  12. Abdullah Jibrin (http://www.ibn-jebreen.com/)
  13. Abdur Razaq Afifi (http://www.afifyy.com/)
  14. Abdus Salam Barjas (http://www.burjes.com/)
  15. Abu Abdil Muiz Firkuz (http://www.ferkous.com/rep/index.php)
  16. Abu Ashim al-Ghomidi (http://www.abouassim.net/)
  17. Abu Bakr al-Mishri (http://www.abu-bkr.com/)
  18. Abu Islam Shalih Thaha (http://www.abuislam.net/)
  19. Abu Malik al-Juhanni (http://abumalik.net/)
  20. Abu Umar al-Utaibi (http://www.otiby.net/)
  21. Ahmad Yahya Najmi (http://njza.net/web/)
  22. Ali Hasan al-Halabi (http://www.alhalaby.com/)
  23. Ali Ridha (http://www.albaidha.net/vb/)
  24. Ali Yahya al-Haddadi (http://www.haddady.com/)
  25. Alwi as-Saqqof (http://www.dorar.net/)
  26. Hisyam al-Arifi (http://www.aqsasalafi.com/)
  27. Imam al-Ajurri (http://www.ajurry.com/)
  28. Kholid al-Mushlih (http://www.almosleh.com/index.shtml)
  29. Lajnah Daimah (http://www.alifta.com/default.aspx)
  30. M Ismail Muqoddam (http://www.m-ismail.com/)
  31. M. Abdillah al-Imam (http://www.sh-emam.com/)
  32. M. al-Hamud an-Najdi (http://www.al-athary.net/)
  33. M. Aman al-Jami (http://www.aljami.net/)
  34. M. Ibrahim al-Hamd (http://toislam.net/)
  35. M. Khalifah Tamimi (http://www.mediu.org/)
  36. Majdi Arafat (http://www.magdiarafat.com/)
  37. Masyaikh Sudan (http://www.marsed.org/)
  38. Masyhur Hasan Salman (http://www.mashhoor.net/)
  39. Muhammad Al-Maghrawi (http://maghrawi.net/)
  40. Muhammad al-Utsaimin (http://www.ibnothaimeen.com/)
  41. Muhammad Musa Nashr (http://www.m-alnaser.com/)
  42. Muhammad Said Ruslan (http://www.rslan.com/)
  43. Muqbil bin Hadi (http://www.muqbel.net/)
  44. Musthofa al-Adawi (http://aladawy.info/)
  45. Nashir al-Barrak (http://albarrak.islamlight.net/)
  46. Nashirudin al-Albani (http://www.alalbany.net/)
  47. Robi’ al-Madkholi (http://www.rabee.net/)
  48. Sa’ad al-Hushayin (http://www.saad-alhusayen.com/)
  49. Said Abdul Azhim (http://www.al-fath.net/)
  50. Salim al-Ajmi (http://sahab.ws/3250)
  51. Salim Ied al-Hilali (http://islamfuture.net/)
  52. Shalih al-Fauzan (http://www.alfawzan.ws/alfawzan/default.aspx)
  53. Shalih as-Suhaimi (http://www.assuhaimi.com/)
  54. Shalih Sa’ad as-Suhaimi (http://sahab.ws/4435)
  55. Sulthan al-Ied (http://www.sahab.ws/3147)
  56. Taqiyudin al-Hilali (http://www.alhilali.net/)
  57. Ulama Yaman (http://www.olamayemen.com/html/)
  58. Wahid Abd Salam Bali (http://www.waheedbaly.com/)
  59. Yahya al-Hajuri (http://www.sh-yahia.net/)

Read more…