Ulama' Salaf

Berikut para ‘Ulama Ahlus sunnah (Ahlulhadits) dari zaman sahabat hingga sekarang yang masyhur :
1. Khalifah ar-Rasyidin :
• Abu Bakr Ash-Shiddiq
• Umar bin Al-Khaththab
• Utsman bin Affan
• Ali bin Abi Thalib
2. Al-Abadillah : Para Sahabat
• Ibnu Umar
• Ibnu Abbas
• Ibnu Az-Zubair
• Ibnu Amr
• Ibnu Mas’ud
• Aisyah binti Abubakar
• Ummu Salamah
• Zainab bint Jahsy
• Anas bin Malik
• Zaid bin Tsabit
• Abu Hurairah
• Jabir bin Abdillah
• Abu Sa’id Al-Khudri
• Mu’adz bin Jabal
• Abu Dzarr al-Ghifari
• Sa’ad bin Abi Waqqash
• Abu Darda’
3. Para Tabi’in :
• Sa’id bin Al-Musayyab wafat 90 H
• Urwah bin Zubair wafat 99 H
• Sa’id bin Jubair wafat 95 H
• Ali bin Al-Husain Zainal Abidin wafat 93 H
• Muhammad bin Al-Hanafiyah wafat 80 H
• Ubaidullah bin Abdillah bin Utbah bin Mas’ud wafat 94 H
• Salim bin Abdullah bin Umar wafat 106 H
• Al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr Ash Shiddiq
• Al-Hasan Al-Bashri wafat 110 H
• Muhammad bin Sirin wafat 110 H
• Umar bin Abdul Aziz wafat 101 H
• Nafi’ bin Hurmuz wafat 117 H
• Muhammad bin Syihab Az-Zuhri wafat 125 H
• Ikrimah wafat 105 H
• Asy Sya’by wafat 104 H
• Ibrahim an-Nakha’iy wafat 96 H
• Aqamah wafat 62 H
4. Para Tabi’ut tabi’in :
• Malik bin Anas wafat 179 H
• Al-Auza’i wafat 157 H
• Sufyan bin Said Ats-Tsauri wafat 161 H
• Sufyan bin Uyainah wafat 193 H
• Al-Laits bin Sa’ad wafat 175 H
• Syu’bah ibn A-Hajjaj wafat 160 H
• Abu Hanifah An-Nu’man wafat 150 H
5. Atba’ Tabi’it Tabi’in : Setelah para tabi’ut tabi’in:
• Abdullah bin Al-Mubarak wafat 181 H
• Waki’ bin Al-Jarrah wafat 197 H
• Abdurrahman bin Mahdy wafat 198 H
• Yahya bin Sa’id Al-Qaththan wafat 198 H
• Imam Syafi’i wafat 204 H
6. Murid-Murid atba’ Tabi’it Tabi’in :
• Ahmad bin Hambal wafat 241 H
• Yahya bin Ma’in wafat 233 H
• Ali bin Al-Madini wafat 234 H
• Abu Bakar bin Abi Syaibah Wafat 235 H
• Ibnu Rahawaih Wafat 238 H
• Ibnu Qutaibah Wafat 236 H
7. Kemudian murid-muridnya seperti:
• Al-Bukhari wafat 256 H
• Muslim wafat 271 H
• Ibnu Majah wafat 273 H
• Abu Hatim wafat 277 H
• Abu Zur’ah wafat 264 H
• Abu Dawud : wafat 275 H
• At-Tirmidzi wafat 279
• An Nasa’i wafat 234 H
8. Generasi berikutnya : orang-orang generasi berikutnya yang berjalan di jalan mereka adalah:
• Ibnu Jarir ath Thabary wafat 310 H
• Ibnu Khuzaimah wafat 311 H
• Muhammad Ibn Sa’ad wafat 230 H
• Ad-Daruquthni wafat 385 H
• Ath-Thahawi wafat 321 H
• Al-Ajurri wafat 360 H
• Ibnu Hibban wafat 342 H
• Ath Thabarany wafat 360 H
• Al-Hakim An-Naisaburi wafat 405 H
• Al-Lalika’i wafat 416 H
• Al-Baihaqi wafat 458 H
• Al-Khathib Al-Baghdadi wafat 463 H
• Ibnu Qudamah Al Maqdisi wafat 620 H
9. Murid-Murid Mereka :
• Ibnu Daqiq Al-led wafat 702 H
• Ibnu Taimiyah wafat 728 H
• Al-Mizzi wafat 742 H
• Imam Adz-Dzahabi (wafat 748 H)
• Imam Ibnul-Qoyyim al-Jauziyyah (wafat 751 H)
• Ibnu Katsir wafat 774 H
• Asy-Syathibi wafat 790 H
• Ibnu Rajab wafat 795 H
10. Ulama Generasi Akhir :
• Ash-Shan’ani wafat 1182 H
• Muhammad bin Abdul Wahhab wafat 1206 H
• Muhammad Shiddiq Hasan Khan wafat 1307 H
• Al-Mubarakfuri wafat 1427 H
• Abdurrahman As-Sa`di wafat 1367 H
• Ahmad Syakir wafat 1377 H
• Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh wafat 1389 H
• Muhammad Amin Asy-Syinqithi wafat 1393 H
• Muhammad Nashiruddin Al-Albani wafat 1420 H
• Abdul Aziz bin Abdillah Baz wafat 1420 H
• Hammad Al-Anshari wafat 1418 H
• Hamud At-Tuwaijiri wafat 1413 H
• Muhammad Al-Jami wafat 1416 H
• Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin wafat 1423 H
• Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i wafat 1423 H
• Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafidhahullah
• Abdul Muhsin Al-Abbad hafidhahullah
• Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hafidhahullah
Sumber: http://ahlulhadist.wordpress.com

Read more…

Suami Terjerat Jaring Aliran Sesat “Galipat” LDII

Dijawab oleh al-Ustadz Abu Saad, M.A.
Pertanyaan:
Ustadz, perkenalkan saya adalah seorang istri dari seorang pria yang menjadi anggota kelompok LDII. Dulu pun saya termasuk anggota. Kini saya bingung dengan posisi saya, karena dalam keyakinan LDII kelompok diluarnya adalah kafir. Dalam kesendirian saya di tengah perkampungan komunitas LDII saya khawatir akan terseret lagi. Untuk itu saya mohon advisnya. Jazakallahu khairan. (Akhwat , Yogyakarta)
Jawaban:
Sebelum saya menjawab pertanyaan ukhti, sebaiknya kita runut terlebih dahulu beberapa penyimpangan kelompok yang disebut Islam jama’ah atau LDII. Semoga juga bermanfaat bagi saudara-saudara kaum Muslimin yang lainnya:
A. Sikap mereka terhadap kaum Muslimin diluar jama’ah mereka. Orang Islam diluar kelompok mereka dianggap kafir. Dalil mereka adalah:
Mengabarkan kepada kami Yazid bin Harun, mengabarkan kepada kami Baqiyah, mengabarkan kepadaku Shafwan bin Rustum dari Abdur-Rahman bin Maisarah dari Tamim al-Dari, ia berkata; ‘Di zaman Umar kebanyakan orang berlomba-lomba dalam meninggikan bangunan rumah. Berkatalah Umar; ‘Wahai golongan Arab! Ingatlah tanah..tanah! Sesungguhnya tidak ada Islam tanpa jama’ah (persatuan) dan tidak ada jama’ah tanpa Imarah (kepemimpinan) dan tidak ada Imarah/kepemimpinan tanpa ketaatan (kepatuhan). Barangsiapa yang dijadikan pemimpin oleh kaumnya karena ilmunya/pemahamannya maka akan menjadi kehidupan bagi dirinya sendiri dan juga bagi mereka, dan barangsiapa yang dijadikan pemimpin oleh kaumnya tanpa memiliki ilmu/pemahaman, maka akan menjadi kebinasaan bagi dirinya dan juga bagi mereka.”
Ucapan Umar bin Khatthab radhiyallahu ‘anhu tersebut bila ditinjau dari segi ilmu hadits (maka) sanad-nya lemah, dengan dua sebab:
  1. Shafwan bin Rustum adalah majhul (tidak diketahui kredibilitasnya). Hal ini dinyatakan oleh al-Dzahabi dalam kitabnya Lisanul Mizan 3/191, dan disetujui oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam kitab Mizanul-I’itidal 3/433.
  2. Inqitha’ antara Abdur-Rahman bin Maisarah dengan sahabat Tamim ad-Dari yang meriwayatkan ucapan sahabat Umar bin Khatthab ini.
Seandainya hadits itu shahih, justru ucapan Umar ini menjadi hujjah (alasan) atas (argumentasi yang melemahkan / mengoreksi) orang-orang LDII yang telah mem-bai’at orang yang tidak berilmu, bahkan banyak salah paham atau bahkan sengaja salah paham. La haula wala quwwata illa billah.
Oleh Nur Hasan Ubaidah, pendiri embrio LDII, (hadits ini) ditafsirkan secara terbalik; “Jika tidak taat kepada amir, maka lepas bai’atnya, jika lepas bai’atnya, maka tidak punya amir, kalau tidak punya amir, maka bukan jama’ah, jika bukan jama’ah, maka bukan Islam, kalau bukan Islam, apa namanya kalau tidak kafir.
Bahkan kalau bicara tentang pentingnya jama’ah, mereka mengatakan; “Saudara-saudara sekalian, kalau diantara saudara ada yang punya pikiran, ada yang punya sangkaan bahwa diluar kita (diluar jama’ah Ubaidah) masih ada yang masuk Surga tanpa mengikuti kita, maka sebelum berdiri, saudara sudah faroqol-jama’ah (memisahkan diri dari jama’ah), sudah kafir, dia harus tobat dan bai’at kembali, jika tidak, maka dia akan masuk neraka selama-lamanya.
Itulah bukti kebohongannya yang amat dahsyat, hingga mengkafirkan hanya berlandaskan manqul bikinan dan dikuatkan dengan ucapan Umar yang dari sisi sanad-nya dha’if, padahal hadits ini tidak bisa dijadikan dalil apalagi untuk mengkafirkan orang. Dari sinilah mereka memiliki keyakinan yang menyimpang dan menyesatkan terhadap orang-orang di luar jama’ah mereka, di antaranya:
  • Orang Islam diluar kelompok mereka dianggap najis, meski orangtua sendiri pun. Kalau ada orang diluar kelompok shalat di masjid mereka, bekas shalat orang tersebut harus dicuci kembali. Kalau ada orang diluar kelompok bertamu, bekas tempat duduk tamu tersebut harus dicuci karena najis. Pakaian mereka yang dijemur dan diangkat oleh orangtua mereka yang bukan kelompoknya harus dicuci kembali karena dianggap terkena najis.
  • Wajib bai’at dan taat pada amir/imam mereka.
  • Mati dalam keadaan belum di-bai’at oleh imam/amir, dianggap mati jahiliyah.
  • Haram memberikan daging qurban atau zakat fithri kepada orang diluar kelompok.
  • Harta benda diluar kelompok halal untuk diambil walau dengan cara apapun (asal tidak tertangkap saja).
  • Haram shalat di belakang orang yang bukan kelompok mereka, kalaupun ikut shalat tidak usah berwudhu karena toh shalatnya harus diulangi.
  • Haram kawin dengan orang di luar kelompok mereka.
B. Sistem manqul
LDII memiliki sistem manqul. Manqul menurut Ubaidah Lubis adalah; “Waktu belajar harus tahu gerak lisan/badan guru; telinga harus mendengar, dapat menirukan amalannya dengan tepat. Terhalang dinding atau lewat buku tidak sah. Murid tidak dibenarkan mengajarkan apa saja yang tidak manqul sekalipun menguasai ilmu tersebut, kecuali telah mendapat ijazah dari guru, baru boleh mengajarkan seluruh isi buku yang telah diijazahkan kepadanya itu.
Di Indonesia ini satu-satunya ulama yang ilmu agamanya manqul hanyalah Nur Hasan Ubaidah Lubis. Hal ini bertentangan dengan ajaran nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memerintahkan agar siapa saja yang mendengarkan ucapannya hendaklah memeliharanya, kemudian disampaikan kepada orang lain, dan Nabi tidak pernah memberikan ijazah kepada para Sahabat radhiyallahu ‘anhuma.
Semoga Allah membaguskan orang yang mendengarkan ucapan lalu menyampaikannya (kepada orang lain) sebagaimana apa yang didengar.” (Syafi’i dan Baihaqi)
Dalam hadist ini Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan orang yang menyampaikan sabdanya kepada orang lain seperti yang didengarnya. Adapun cara atau alat yang dipakai untuk mempelajari dan menyampaikan hadits-haditsnya tidaklah ditentukan. Jadi bisa disampaikan dengan lisan, dengan tulisan, audio, video, dan lain-lain.
Ajaran manqul Nur Hasan ini terlalu mengada-ada. Tujuannya membuat pengikutnya fanatik, tidak dipengaruhi oleh pikiran orang lain, sehingga sangat tergantung dan terikat dengan apa yang digariskan oleh amir-nya. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala menghargai hamba-hamba-Nya yang mau mendengar ucapan, lalu menyeleksinya mana yang lebih baik untuk diikutinya.
Berilah kabar gembira kepada hamba-hamba-Ku yang mendengar perkataan lalu mengikuti apa yang diberi Allah petunjuk, dan mereka itulah orang yang mempunyai akal.” (QS. az-Zumar : 17-18)
C. Dosa-dosa bisa ditebus lewat sang amir/imam, besar tebusan tergantung dari besarnya dosa yang diperbuat yang (mana tebusan ini) ditentukan oleh amir/imam.
D. Wajib membayar infak 10% dari penghasilan per bulan, sedekah, dan zakat kepada amir/imam. Haram membayarkannya pada pihak lain.
E. Harta, uang, infaq, sedekah yang sudah diberikan kepada amir/imam tidak boleh ditanyakan kembali catatannya atau digunakan untuk apa saja. Sebab kalau menanyakan kembali harta, zakat, infak dan sedekah yang pernah dikeluarkan dianggap sama dengan menelan kembali ludah yang sudah dikeluarkan.
F. Kesimpulan.
LDII adalah nama lain dari kelompok yang menamakan diri sebagai Darul-Hadits, Islam Jama’ah, atau Lemkari yang didirikan oleh Madigol alias Nur Hasan Ubaidah Lubis (Luar Biasa). Setelah Madigol meninggal pada hari Sabtu tanggal 12 Maret 1982, tahta kerajaan LDII diwarisi oleh putranya yang tertua yaitu Abduzh-Zhahir Nur Hasan sebagai imam/amir dan di-bai’at di hadapan jenazah mendiang ayahnya sebelum dikuburkan dengan disaksikan seluruh amir/imam daerah. Hasyim Rifa’i yang pernah ditugaskan oleh pihak IJ (Islam Jama’ah) untuk keliling ke berbagai wilayah di dalam dan di luar negeri menyebutkan bukti-bukti bahwa mereka menganggap golongan selain IJ/LEMKARI/LDII adalah kafir.
  1. Mereka menganggap orang Islam di luar golongan adalah ahli kitab, sedang yang lain kafir.
  2. Dalam menanamkan keyakinan pada murid-murid mereka mengatakan:
    1. Kalau saudara-saudara mengira di luar kita masih ada orang yang bisa masuk surga maka sebelum berdiri, saudara sudah kafir (faroqol-jama’ah/memisahkan diri dari jama’ah), sudah murtad harus tobat dan di-bai’at kembali.
    2. Orang keluar dari jama’ah kok masih ngaji, shalat dan puasa, itu lebih bodoh daripada orang kafir, sebab orang-orang kafir tahu kalau akan masuk neraka, maka mereka hidup bebas.
Pengunggulan kelompok sendiri dan memastikan Muslimin selain kelompoknya masuk neraka seperti itu jelas sifat Iblis yang telah dijabarkan al-Qur’an yang telah menipu Adam dan Hawa. Sedang rangkaian kerjanya, bisa dilihat bahwa mereka sangat berat menghadapi orang alim agama, sebagaimana setan pun berat menghadapi orang alim agama.
Itulah kenyataan yang dikemukakan oleh Hasyim Rifa’i dan para petinggi Islam Jama’ah/LEMKARI/LDII yang telah keluar dari kungkungan aliran yang pernah dilarang tersebut.
Kalau setan yang dinyatakan Allah sebagai musuh manusia itu telah mengajari manusia untuk menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal alias mengadakan syari’at, IJ/LEMKARI/LDII pun begitu. Sang amir mewajibkan pengikutnya setor penghasilan masing-masing 10% (usyur) untuk amir tanpa boleh menanyakan untuk apa.
Lebih parah lagi dari penuturan para mantan anggota Islam Jama’ah diketahui bahwa sang amir menjamin anggota jama’ah masuk surga. Padahal hanya Dajjal-lah yang berani membuat pernyataan sedahsyat itu. Akhlak Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sama sekali tidak tercermin dalam tingkah laku amir pendiri IJ. Riwayat hidupnya penuh mistik dan perdukunan, melarikan perempuan, menceraikan tiga belas istrinya –menurut penelitian Litbang Depag RI– memungut upeti 10% dari masing-masing jama’ah dengan sertifikat atas nama pribadi, diketahui pula bahwa dia punya ilmu pelet untuk menggaet wanita, baik yang lajang maupun berstatus istri orang.
Terhadap Allah mereka berani membuat syari’at sendiri (seperti mewajibkan jama’ahnya setor sepuluh persen penghasilan kepadanya), terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (dia) menyelisihi akhlak Beliau namun mengklaim dirinya sebagai amir yang harus ditaati jama’ah, kepada para ulama ia mencaci–maki dengan amat keji dan kotor, dan kepada umat Islam ia menajiskan dan mengkafirkan, serta memvonis masuk neraka. Sedang kepada wanita ia amat berhasrat, hingga dengan ilmu-ilmu yang dilarang Allah, yakni sihir pelet pun ditempuh.
Itulah jenis kemunafikan dan kesesatan yang nyata, yang dia sebarkan sejak tahun 1941, dan alhamdulillah telah dilarang oleh Kejaksaan Agung tahun 1971. Namun dengan liciknya ia bersama pengikutnya berganti–ganti nama dan bernaung di bawah Golkar, maka kesesatan itu justru lebih mekar dan melembaga sampai kini ke desa–desa hampir seluruh wilayah Indonesia bahkan ke negara–negara lain dengan nama LDII. Begitulah berbagai penyimpangan dalam kelompok tersebut. Memang beberapa waktu terakhir mereka kelihatan mulai membuka diri terhadap kaum Muslimin lainnya. Tetapi hakikatnya keyakinan-keyakinan tersebut masih ada pada diri mereka dan mereka sembunyikan untuk mengelabui orang-orang diluar kelompok mereka.
Nasehat saya kepada ukhti penanya, yang pertama memohon kepada Allah untuk memberikan hidayah kebenaran kepada suaminya dan orang-orang yang tertipu dengan jama’ah ini dan mengembalikannya kepada jalan kebenaran.
Yang kedua, untuk selalu dan tidak letih-letihnya memberikan nasehat kepada suaminya dengan cara yang hikmah dan kalau harus berdiskusi atau berdebat, maka dengan cara dan jalan yang terbaik, baik dengan dalil-dalil dari al-Qur’an ataupun as-Sunnah atau dengan logika yang tepat dan bisa diterima oleh akal sehat.
Yang ketiga, berkhidmatlah kepada suami dengan sepenuh hati, tampakkan kepadanya akhlak yang mulia, patuhlah kepadanya dalam perkara-perkara yang ma’ruf adapun bila ia mengajak pada perkara maksiat atau penyimpangan maka tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam maksiat kepada Allah, dan jagalah keharmonisan rumah tanggamu dengan berbuat ihsan kepadanya dan jangan meminta cerai kepadanya karena ini akan membuka pintu setan untuk menghancurkan rumah tanggamu.
Yang terakhir, belajar dan belajarlah ilmu yang bermanfaat yang bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah sesuai dengan yang dipahami generasi yang terbaik dari umat ini, yaitu para sahabat dan para Imam yang mulia dari kalangan ulama umat ini. Dengan ini semua, dirimu akan terjaga dari berbagai fitnah dan syubhat yang ada di sekitarmu, sebagaimana yang dijanjikan oleh Allah Ta’ala. Wallahu Waliyyut-Taufiq.
Sumber: http://atturots.or.id/ dan dipublikasikan kembali oleh http://salafiyunpad.wordpress.com

Read more…

Islam, Anda Sudah Paham?

Read more…

Membongkar Kedok Sufi : Tasawuf & Sholawat Nabi

Penulis: Buletin Islam Al Ilmu Edisi 50/II/IV/142

.: :.
Shalawat Nabi Shallallahu 'alaihi wassalam bukanlah amalan yang asing bagi seorang muslim. Hampir-hampir setiap majlis ta’lim ataupun acara ritual tertentu tidak pernah lengang dari dengungan shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wassalam.

Terlebih bagi seorang muslim yang merindukan syafa’atnya, ia pun selalu melantunkan shalawat dan salam tersebut setiap kali disebutkan nama beliau Shallallahu 'alaihi wassalam. Karena memang shalawat kepada beliau Shallallahu 'alaihi wassalam merupakan ibadah mulia yang diperintahkan oleh Allah Ta'ala.

Allah Ta'ala berfirman :
إِنَّ اللَّهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
(artinya): “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian kepada Nabi dan ucapkanlah salam kepadanya”. (Al Ahzab: 56)

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wassallam bersabda (artinya): “Barangsiapa bershalawat kepadaku sekali saja, niscaya Allah akan membalasnya dengan shalawat sepuluh kali lipat.” (H.R. Al Hakim dan Ibnu Sunni, dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’)

Demikianlah kedudukan shalawat Nabi Shallallahu 'alaihi wassalam dalam agama Islam. Sehingga di dalam mengamalkannya pun haruslah dengan petunjuk Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wassalam.

Sebaik-baik shalawat, tentunya yang sesuai dengan petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam dan sejelek-jelek shalawat adalah yang menyelisihi petunjuknya Shallallahu 'alaihi wassallam. Karena beliau Shallallahu 'alaihi wassalam lebih mengerti shalawat manakah yang paling sesuai untuk diri beliau Shallallahu 'alaihi wassallam.

Diantara shalawat-shalawat yang telah dituntunkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wassalam kepada umatnya, yaitu:
اللّهُمَّ صّلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ ، اللهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ
“Ya, Allah curahkanlah shalawat kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, sebagaimana Engkau telah curahkan shalawat kepada Nabi Ibrahim dan keluarganya. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia. Ya Allah, curahkanlah barakah kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, sebagaimana Engkau telah curahkan barakah kepada Nabi Ibrahim dan keluarganya. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)

Dan masih banyak lagi shalawat yang dituntunkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam . Adapun shalawat-shalawat yang menyelisihi tuntunan Nabi Shallallahu 'alaihi wassalam maka cukup banyak juga, diantaranya beberapa shalawat yang biasa dilantunkan oleh orang-orang Sufi ataupun orang-orang yang tanpa disadari terpengaruh dengan mereka.

Beberapa Shalawat ala Sufi

1. Shalawat Nariyah
Shalawat jenis ini banyak tersebar dan diamalkan di kalangan kaum muslimin. Dengan suatu keyakinan, siapa yang membacanya 4444 kali, hajatnya akan terpenuhi atau akan dihilangkan kesulitan yang dialaminya. Berikut nash shalawatnya:
اللهُمَّ صَلِّ صَلاَةً كَامِلَةً وَسَلِّمْ سَلاَمًا تآمًا عَلَى سَيِّدِنَا مًحَمَّدٍ الَّذِي تُنْحَلُ بِهِ الْعُقَدُ وَتَنْفَرِجُ بِهِ الْكُرَبُ وَتُقْضَى بِهِ الْحَوَائِجُ وَ تُنَالُ بِهِ الرَّغَائِبُ وَحُسْنُ الْخَوَاتِيْمِ وَيُسْتَسْقَى الْغَمَامُ بِوَجْهِهِ الْكَرِيْمِ وَعَلَى آلِهِ وَ صَحْبِهِ عَدَدَ كَلِّ مَعْلُوْمٍ لَكَ
“Ya Allah , berikanlah shalawat dan salam yang sempurna kepada Baginda kami Nabi Muhammad, yang dengannya terlepas semua ikatan kesusahan dan dibebaskan semua kesulitan. Dan dengannya pula terpenuhi semua kebutuhan, diraih segala keinginan dan kematian yang baik, dan dengan wajahnya yang mulia tercurahkan siraman kebahagiaan kepada orang yang bersedih. Semoga shalawat ini pun tercurahkan kepada keluarganya dan para sahabatnya sejumlah seluruh ilmu yang Engkau miliki.”

Para pembaca, bila kita merujuk kepada Al Qur’an dan As Sunnah, maka kandungan shalawat tersebut sangat bertentangan dengan keduanya. Bukankah hanya Allah semata yang mempunyai kemampuan untuk melepaskan semua ikatan kesusahan dan kesulitan, yang mampu memenuhi segala kebutuhan dan memberikan siraman kebahagiaan kepada orang yang bersedih?!

Allah Ta'ala berfirman :
قُلْ لاَ أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلاَ ضَرًّا إِلاَّ مَا شَاءَ اللَّهُ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لاَسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ إِنْ أَنَا إِلاَّ نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
(artinya): “Katakanlah (wahai Muhammad): Aku tidak kuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak pula mampu menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentunya aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan tertimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan dan pembawa khabar gembira bagi orang-orang yang beriman.” (Al A’raf: 188)

Dan juga firman-Nya :
قُلِ ادْعُوا الَّذِينَ زَعَمْتُمْ مِنْ دُونِهِ فَلاَ يَمْلِكُونَ كَشْفَ الضُّرِّ عَنْكُمْ وَلاَ تَحْوِيلاً
(artinya): "Katakanlah (wahai Muhammad): Panggillah mereka yang kalian anggap (sebagai tuhan) selain Allah. Maka mereka tidak akan mempunyai kekuasaan untuk menghilangkan bahaya darimu dan tidak pula memindahkannya." (Al-Isra: 56)

Para ahli tafsir menjelaskan, ayat ini turun berkenaan dengan kaum yang berdo’a kepada Al Masih, atau malaikat, atau sosok orang shalih dari kalangan jin. (Tafsir Ibnu Katsir 3/47-48)

Seorang laki-laki datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam , lalu mengatakan: مَا شَاءَ اللهَُ وَ شِئْتَ
"Berdasarkan kehendak Allah dan kehendakmu”. Maka beliau bersabda:
أَجَعَلْتَنِيْ لِلَّهِ نِدًّا ؟!
“Apakah engkau hendak menjadikanku sebagai tandingan bagi Allah? Ucapkanlah: مَا شَاءَ اللهَُ وَحْدَهُ “Berdasarkan kehendak Allah semata”. (HR. An-Nasa’i dengan sanad yang hasan) (Lihat Minhaj Al-Firqatin Najiyah hal. 227-228, Muhammad Jamil Zainu)

Maka dari itu, jelaslah dari beberapa dalil diatas bahwasanya Shalawat Nariyah terkandung padanya unsur pengkultusan yang berlebihan terhadap diri Nabi Shallallahu 'alaihi wassalam hingga menyejajarkannya dengan Allah Ta'ala. Tentunya yang demikian ini merupakan salah satu bentuk kesyirikan yang dimurkai oleh Allah dan Nabi-Nya.

2. Shalawat Al Faatih (Pembuka)
Nash shalawat tersebut adalah:
اللهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ الفَاتِحِ لِمَا أُغْلِقَ …
"Ya Allah! berikanlah shalawat kepada Baginda kami Muhammad yang membuka segala yang tertutup ….”

Berkata At-Tijani pendiri tarekat Sufi Tijaniyah - secara dusta - : “….Kemudian beliau (Nabi Shallahu 'alaihi wassalam) mengabarkan kepadaku untuk kedua kalinya, bahwa satu kali membacanya menyamai setiap tasbih yang terdapat di alam ini dari setiap dzikir, menyamai dari setiap do’a yang kecil maupun besar, dan menyamai membaca Al Qur’an 6.000 kali, karena ini termasuk dzikir.” (Mahabbatur Rasul 285, Abdur Rauf Muhammad Utsman)

Para pembaca, demikianlah kedustaan, kebodohan dan kekafiran yang nyata dari seorang yang mengaku berjumpa dengan Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam , karena ia berkeyakinan bahwa perkataan manusia lebih mulia 6.000 kali lipat daripada firman Allah Ta'ala.

Bukankah Allah telah menegaskan dalam firman-Nya :
وَمَنْ أَصْدَقُ مِنَ اللَّهِ قِيلاً
(artinya): “Dan siapakah yang perkatannya lebih benar dari pada Allah? (An Nisaa’:122)

وَهَذَا كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ فَاتَّبِعُوهُ وَاتَّقُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Dan sungguh telah sempurna kalimat Tuhanmu(Al Qur’an),sebagai kalimat yang benar dan adil.”(Al An’am:115)

Demikian pula Nabi Shallallahu 'alaihi wassalam telah menegaskan dalam sabdanya (artinya): “Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah perkataan Allah “. (HR. Muslim)

“Barangsiapa yang membaca satu huruf dari Al Qur’an , maka baginya satu kebaikan. Dan satu kebaikan menjadi sepuluh kali semisal (kebaikan) itu. Aku tidak mengatakan: alif laam miim itu satu huruf, namun alif satu huruf, laam satu huruf, dan miim satu huruf.” (HR.Tirmidzi dan yang lainnya dari Abdullah bin Mas’ud yang dishahihkan oleh Asy Syaikh Al-Albani)

Wahai saudaraku, dari beberapa dalil di atas cukuplah bagi kita sebagai bukti atas kebatilan shalawat Al Faatih, terlebih lagi bila kita telusuri kandungannya yang kental dengan nuansa pengkultusan terhadap Nabi Shallallahu 'alaihi wassalam yang dilarang dalam agama yang sempurna ini.

3. Shalawat Sa'adah (Kebahagiaan)
Nash adalah sebagai berikut:
اللهُمَّ صَلِّ عَلَ مُحَمَّدٍ عَدَدَ مَا فِيْ عِلْمِ اللهِ صَلاَةً دَائِمَةً بِدَوَامِ مُلْكِ اللهِ …
“Ya Allah, berikanlah shalawat kepada Baginda kami Muhammad sejumlah apa yang ada dalam ilmu Allah, shalawat yang kekal seperti kekalnya kerajaan Allah …”.

Berkata An-Nabhani As-Sufi setelah menukilkannya dari Asy-Syaikh Ahmad Dahlan: ”Bahwa pahalanya seperti 600.000 kali shalat. Dan siapa yang rutin membacanya setiap hari Jum’at 1.000 kali, maka dia termasuk orang yang berbahagia dunia akhirat.” (Lihat Mahabbatur Rasul 287-288)

Wahai saudaraku, mana mungkin shalat yang merupakan tiang agama dan sekaligus rukun Islam kedua pahalanya 600. 000 di bawah shalawat sa’adah ini?! Cukuplah yang demikian itu sebagai bukti atas kepalsuan dan kebatilan shalawat tersebut.

4. Shalawat Burdatul Bushiri
Nashnya adalah sebagai berikut:
يَا رَبِّ بِالْمُصْطَفَى بَلِّغْ مَقَاصِدَنَا وَاغْفِرْ لَنَا مَا مَضَى يَا وَاسِعَ الْكَرَمِ
“Wahai Rabbku! Dengan perantara Musthafa (Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wassallam ) penuhilah segala keinginan kami dan ampunilah dosa-dosa kami yang telah lalu, wahai Dzat Yang Maha Luas Kedermawanannya.”

Shalawat ini mempunyai beberapa (kemungkinan) makna. Bila maknanya seperti yang terkandung di atas, maka termasuk tawasul kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wassalam yang beliau telah meninggal dunia.

Hal ini termasuk jenis tawasul yang dilarang, karena tidak ada seorang pun dari sahabat yang melakukannya disaat ditimpa musibah dan yang sejenisnya. Bahkan Umar bin Al Khathab ketika shalat istisqa’ (minta hujan) tidaklah bertawasul dengan Nabi Shallallahu 'alaihi wassalam karena beliau telah meninggal dunia, dan justru Umar meminta Abbas paman Nabi Shallallahu 'alaihi wassalam (yang masih hidup ketika itu) untuk berdo’a. Kalaulah tawasul kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wassalam ketika beliau telah meninggal dunia merupakan perbuatan yang disyari’atkan niscaya Umar melakukannya.

Adapun bila mengandung makna tawasul dengan jaah (kedudukan) Nabi Shallallahu 'alaihi wassalam maka termasuk perbuatan yang diada-adakan dalam agama, karena hadits: تَوَسَّلُوا بِجَاهِي “Bertawasullah dengan kedudukanku”, merupakan hadits yang tidak ada asalnya (palsu). Bahkan bisa mengantarkan kepada kesyirikan disaat ada keyakinan bahwa Allah Ta'ala butuh terhadap perantara sebagaimana butuhnya seorang pemimpin terhadap perantara antara dia dengan rakyatnya, karena ada unsur menyamakan Allah dengan makhluk-Nya, sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. (Lihat Al Firqatun Najiyah hal. 85)

Sedangkan bila maknanya mengandung unsur (Demi Nabi Muhammad) maka termasuk syirik, karena tergolong sumpah dengan selain Allah Ta'ala.

Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam bersabda (artinya): “Barang siapa yang bersumpah dengan selain Allah, maka dia telah berbuat kafir atau syirik.” ( HR At Tirmidzi, Ahmad dan yang lainnya dengan sanad yang shahih)

Para pembaca, dari sekian makna di atas maka jelaslah bagi kita kebatilan yang terkandung di dalam shalawat tersebut. Terlebih lagi Nabi Shallallahu 'alaihi wassalam dan para sahabatnya tidak pernah mengamalkannya, apalagi mengajarkannya. Seperti itu pula hukum yang dikandung oleh bagian akhir dari Shalawat Badar (bertawasul kepada Nabi Muhammad, para mujahidin dan ahli Badar).

5. Nash shalawat seorang sufi Libanon:
اللهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ حَتَّى تَجْعَلَ مِنْهُ الأَحَدِيَّةَ الْقَيُّوْمِيَّةَ
"Ya Allah berikanlah shalawat kepada Muhammad sehingga Engkau menjadikan darinya keesaan dan qoyyumiyyah (maha berdiri sendiri dan yang mengurusi makhluknya)." Padahal Allah Ta'ala berfirman (artinya): ”Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (Asy-Syura: 11)

Nabi Shallallahu 'alaihi wassalam sendiri pernah bersabda: “Janganlah kalian mengkultuskan diriku, sebagaimana orang-orang Nasrani mengkultuskan Isa bin Maryam. Hanyalah aku ini seorang hamba, maka katakanlah: “(Aku adalah) hamba Allah dan Rasul-Nya.” (H.R Al Bukhari).

Wallahu A’lam Bish Shawab

Hadits-Hadits Palsu Dan Dha’if Yang Tersebar Di Kalangan Umat
Hadits Anas bin Malik Radiyallahu 'anhu:
مَنْ صَلَّى عَلَيَّ يَوْمَ الْجُمُعَةِ ثَمَانِيْنَ مَرَّةً غَفَرَ اللهُ لَهُ ذُنُوْبَ ثَمَانِيْنَ عَامًا
“Barangsiapa bershalawat kepadaku pada malam Jum’at 80 kali, niscaya Allah akan mengampuni segala dosanya selama 80 tahun.”

Keterangan:
Hadits ini palsu, karena di dalam sanadnya terdapat seorang perawi yang bernama Wahb bin Dawud bin Sulaiman Adh Dharir. Al Khathib Al Baghdadi berkata: “Dia seorang yang tidak bisa dipercaya.” Asy Syaikh Al Albani berkata: “Sesungguhnya ciri-ciri kepalsuan hadits ini sangatlah jelas.” (Lihat Silsilah Adh Dha’ifah no. 215)

(Dikutip dari Buletin Islam Al Ilmu Edisi 50/II/IV/1426, diterbitkan Yayasan As Salafy Jember. Judul asli "Tasawuf & Sholawat Nabi". Dikirim oleh al Al Akh Ibn Harun via email.)

Read more…

Pamflet Kajian Rutin Masjid DIPOWINATAN

Read more…

MEMBONGKAR KEDOK JARINGAN IBLIS LIBERAL/MEMUJA AKAL

Membongkar Kedok Jaringan Iblis Liberal - Memuja akal
Senin, 19 September 2005 - 10:02:20 :: kategori Firqoh-Firqoh
Penulis: Al-Ustadz Qomar Suaidi Lc.

.: :.
Allah Subhanahu wa Ta'ala menciptakan manusia adalah sebagai makhluk yang penuh dengan kekurangan. Dalam semua sisi kehidupan, kekurangan yang melekat pada manusia ini menyebabkan kemampuan yang dimiliki menjadi sangat terbatas.
Salah satu keterbatasan manusia itu adalah kemampuan akalnya. Setiap manusia yang masih bersih fitrahnya akan mengakui hal ini. Akal manusia tidak akan mampu mengetahui hakikat sesuatu secara sempurna, terlebih bila hakikat itu meliputi berbagai permasalahan.

Fungsi akal manusia yang paling besar adalah untuk mengetahui hakikat kebenaran. Apa kebenaran sejati itu? Sekali lagi, bagi orang yang fitrahnya masih suci, akan mengakui bahwa hanya dengan akalnya, seorang manusia tidak akan mencapai kebenaran sejati. Ia akan mengakui untuk mengetahui kebenaran harus melalui bimbingan Penciptanya yaitu Allah.

Namun tidak demikian dengan orang-orang yang terlalu “percaya diri” dengan kemampuan akalnya. Orang-orang yang merupakan penerus dari paham Mu’tazilah ini merasa tidak butuh dengan bimbingan Allah untuk mengetahui kebenaran. Tidak cukup sampai di situ, bahkan dengan lancangnya mereka “mengobrak-abrik” syariat Allah yang menurut akal mereka bukan merupakan kebenaran.

Di Indonesia gerakan ini sudah berlangsung cukup lama, antara lain dipelopori oleh Nurcholis Madjid, Munawir Syadzali, Ahmad Wahib, Harun Nasution, dan lain-lain. Kini, para pengusung madzhab ini bergabung dalam sebuah “sindikat” bernama Jaringan Islam Liberal (JIL) yang dikomandani oleh Ulil Abshar Abdalla. Di wadah inilah, ide-ide gila mereka dikeluarkan secara lebih intens.

Ciri gagasan gila mereka adalah berisi gugatan (protes) terhadap syariat Allah yang menurut mereka tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan dan akal mereka. Hampir semua sendi agama ini telah digugat mereka, seperti syariat tentang jilbab, hukum had, qishash, jenggot, jihad, larangan perkawinan antar agama, hukum waris, makna syahadat, kebenaran Al Qur’an, dan yang paling tinggi adalah gugatan terhadap Islam sebagai satu-satunya agama yang benar. (www.islamlib.com)

Intinya, mereka tidak setuju dengan aturan-aturan Allah itu dan kemudian memunculkan gagasan yang berlawanan dengannya.
Seperti gagasan bahwa semua agama selain Islam adalah benar, telah lama dilontarkan oleh mereka. Di antaranya oleh orang yang mereka anggap sebagai pelopor gerakan “Pembaharu Pemikiran Islam” di Indonesia, Ahmad Wahib. Anak muda yang tidak diketahui dimana belajar agama ini berkata: “Aku bukan nasionalis, bukan Katolik, bukan sosialis. Aku bukan Budha, bukan Protestan, bukan westernis. Aku bukan komunis. Aku bukan humanis. Aku adalah semuanya. Mudah-mudahan inilah yang disebut muslim. Aku ingin orang memandang dan menilaiku sebagai suatu kemutlakan (absolute entity) tanpa menghubung-hubungkan dari kelompok mana aku termasuk serta dari aliran mana saya berangkat.” (Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib)

Ahmad Wahib yang kesehariannya sering bergaul dengan para romo Katolik dan mendapat banyak ‘kebaikan’ dari mereka berkata tentang teman dekatnya itu: “Aku tak yakin apakah Tuhan tega memasukkan romoku itu ke neraka.” (Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib)

Dengan berbagai pernyataan yang nyleneh itu, dalam usia yang masih muda Ahmad Wahib telah menjadi “tokoh” nasional kebanggaan salibis. Pujian setinggi langit untuk Ahmad Wahib banyak menghiasai media massa salibis semasa hidupnya (Ahmad Wahid meninggal dalam usia 31 tahun dalam sebuah peristiwa kecelakaan).
Seruan yang sama juga sering dilontarkan Nurcholis Madjid dengan slogan pluralismenya. Intinya sama, yakni menyerukan bahwa semua agama memiliki kebenaran yang sama.

Tokoh lainnya yang cepat “naik daun” karena lebih berani (dan lebih lucu) dalam mengeluarkan pernyataan-pernyataannya adalah Ulil Abshar Abdalla (pentolan Jaringan Islam Liberal/JIL). Tentang kebenaran agama selain Islam, Ulil Abshar mengatakan: “Semua agama sama, semuanya menuju jalan kebenaran. Jadi, bukan Islam yang paling benar.”
Dalam buku Fikih Lintas Agama (FLA) hal. 214 disebutkan: Ayat yang lebih tegas tentang keselamatan agama-agama lain adalah Surat Al-Baqarah ayat 62.
Dalam buku yang sama hal. 20, disebutkan: Kesamaan dan kesatuan semua agama para nabi juga ditegaskan oleh Nabi sambil digambarkan bahwa para nabi itu satu saudara lain ibu, namun agama mereka satu dan sama. Salah satunya adalah hadits Al-Bukhari, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Aku lebih berhak atas ‘Isa putra Maryam di dunia dan di akhirat, para nabi adalah satu ayah dari ibu yang berbeda-beda dan agama mereka adalah satu.”
Pada hal. 21 disebutkan: …penjelasan tersebut menegaskan prinsip-prinsip hubungan antar agama yang dapat diturunkan dari Al Qur’an yang menegaskan adanya pluralisme agama.
Kutipan-kutipan di atas memuat kesimpulan berikut ini:
- Bukan Islam yang paling benar.
- Agama-agama selain Islam adalah agama yang selamat.
- Pluralisme agama dibenarkan Al Qur’an dan hadits Nabi.
Bantahan:
Mereka berkesimpulan bahwa bukan Islam yang paling benar. Yang lain, apapun agama itu –demikian yang tampak dari ucapannya– juga benar. Bahkan mungkin lebih benar dari Islam. Demikian yang dipahami dari ucapan mereka.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
كَبُرَتْ كَلِمَةً تَخْرُجُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ إِنْ يَقُوْلُوْنَ إِلا كَذِبًا
“Sungguh besar kalimat yang keluar dari mulut mereka, mereka tidak mengatakan (sesuatu) kecuali dusta.” (Al-Kahfi: 5)
Sesungguhnya seorang muslim yang masih suci fitrahnya tahu kebatilan ucapan ini. Kalimat ini adalah ucapan kufur dan merupakan perkataan tentang agama Allah tanpa ilmu. Namun jika hati tertutup, siapapun dia tidak akan mengetahui kebatilannya, bahkan lebih parah karena hal itu dianggap sebagai sesuatu yang benar. Alasannya sepele: “Semua agama sama, semuanya menuju jalan kebenaran.” Dengan mudahnya ia menyimpulkan dengan akalnya. Apakah setiap orang yang menuju kepada kebenaran itu akan sampai? Tentu jawabnya tidak. Ibnu Mas’ud mengatakan: “Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan tapi tidak mendapatkannya.”

Ini adalah sesuatu yang sama-sama kita saksikan. Tidak akan memungkirinya kecuali orang yang congkak. Kalau jalan Yahudi, Nashrani, Majusi dan agama lain itu benar, untuk apa Nabi mengajak mereka masuk Islam, dan ketika mereka menolak terjadi permusuhan dan pertumpahan darah? Bagaimana kemudian dianggap agama selain Islam lebih benar?! Fa’tabiru ya Ulil Abshar! (maka hendaknya engkau perhatikan wahai orang yang memiliki pandangan).
Kesimpulan kedua, agama lain selain Islam adalah agama yang selamat, artinya tidak dimurkai Allah dan (para penganutnya) tidak diadzab.

Tentu ini bukan ucapan seorang muslim dan tak ada seorang muslim yang hakiki kecuali tahu betapa batil, sesat, dan kufurnya kalimat ini. Sayangnya ia mengelabuhi orang dengan berdalil surat Al-Baqarah ayat 62:
إِنَّ الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَالَّذِيْنَ هَادُوْا وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِيْنَ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُوْنَ
“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nashrani dan orang-orang Shabi’in, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal shalih, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran pada mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.” Ia memahami ayat tersebut dengan akal yang sudah terkotori oleh noda pluralisme, sehingga menganggap masing-masing dari Yahudi dan Nashrani benar dan selamat.
Ibarat mereka seperti orang yang membaca ayat yang artinya “Celaka orang yang shalat…” (Al-Ma’un: 4) lalu berhenti dan tidak diteruskan. Atau ayat “Jangan kalian mendekati shalat…” dan tidak dibaca kelanjutan ayatnya (yang berbunyi) “dalam keadaan kalian mabuk.” (An-Nisa: 43)
Sungguh ini adalah akhlak Yahudi yang beriman dengan sebagian ayat dan kafir dengan sebagian yang lain.
أَفَتُؤْمِنُوْنَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُوْنَ بِبَعْضٍ فَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ مِنْكُمْ إِلاَّ خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّوْنَ إِلَى أَشَدِّ الْعَذَابِ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُوْنَ
“Apakah kamu beriman kepada sebagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiada balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia. Dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.” (Al-Baqarah: 85)

Bukankah kita dalam memahami ayat Al Qur’an harus merujuk kepada ayat lain yang menjelaskannya, demikian pula merujuk kepada hadits Nabi yang Allah pasrahi untuk menjelaskan Al Qur’an? Dikemanakan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
وَقَالَتِ الْيَهُوْدُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللَّهِ وَقَالَتِ النَّصَارَى الْمَسِيْحُ ابْنُ اللَّهِ ذَلِكَ قَوْلُهُمْ بِأَفْوَاهِهِمْ يُضَاهِئُونَ قَوْلَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ قَبْلُ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ أَنَّى يُؤْفَكُوْنَ. اتَّخَذُوْا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُوْنِ اللَّهِ وَالْمَسِيْحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوْا إِلاَّ لِيَعْبُدُوْا إِلَهًا وَاحِدًا لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُوْنَ
“Orang-orang Yahudi berkata: ‘Uzair itu putera Allah’, dan orang Nashrani berkata: ‘Al Masih itu putera Allah’. Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah-lah mereka; bagaimana mereka sampai berpaling? Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (At-Taubah: 30-31)
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِيْنَ قَالُوْا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيْحُ ابْنُ مَرْيَمَ قُلْ فَمَنْ يَمْلِكُ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا إِنْ أَرَادَ أَنْ يُهْلِكَ الْمَسِيْحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَأُمَّهُ وَمَنْ فِي اْلأَرْضِ جَمِيْعًا وَلِلَّهِ مُلْكُ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا يخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ
“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: ‘Sesungguhnya Allah itu ialah Al Masih putera Maryam’. Katakanlah: ‘Maka siapakah (gerangan) yang dapat menghalang-halangi kehendak Allah, jika Dia hendak membinasakan Al Masih putera Maryam itu beserta ibunya dan seluruh orang-orang yang berada di bumi semuanya?’ Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang di antara keduanya; Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Al-Maidah: 17)
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِيْنَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ وَقَالَ الْمَسِيْحُ يَابَنِيْ إِسْرَائِيْلَ اعْبُدُوْا اللَّهَ رَبِّي وَرَبَّكُمْ إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِيْنَ مِنْ أَنْصَارٍ. لَقَدْ كَفَرَ الَّذِيْنَ قَالُوْا إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلاَثَةٍ وَمَا مِنْ إِلَهٍ إِلاَّ إِلَهٌ وَاحِدٌ وَإِنْ لَمْ يَنْتَهُوْا عَمَّا يَقُوْلُوْنَ لَيَمَسَّنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ
“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: ‘Sesungguhnya Allah adalah Al Masih putera Maryam’, padahal Al Masih (sendiri) berkata: ‘Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu’. Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya al-jannah, dan tempatnya ialah an-naar, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun. Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: ‘Bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga’, padahal sekali-kali tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih.” (Al-Maidah: 72-73)
Dan sekian banyak ayat dan hadits lain yang dengan sangat tegas mengkafirkan mereka (Yahudi dan Nashrani). Bagaimana mereka dikatakan selamat, padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala mengubah mereka menjadi babi dan kera:
قُلْ هَلْ أُنَبِّئُكُمْ بِشَرٍّ مِنْ ذَلِكَ مَثُوْبَةً عِنْدَ اللَّهِ مَنْ لَعَنَهُ اللَّهُ وَغَضِبَ عَلَيْهِ وَجَعَلَ مِنْهُمُ الْقِرَدَةَ وَالْخَنَازِيْرَ وَعَبَدَ الطَّاغُوْتَ أُولَئِكَ شَرٌّ مَكَانًا وَأَضَلُّ عَنْ سَوَاءِ السَّبِيْلِ
“Katakanlah: “Apakah akan aku beritakan kepadamu tentang orang-orang yang lebih buruk pembalasannya dari (orang-orang fasiq) itu di sisi Allah, yaitu orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Allah, di antara mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi dan (orang yang) menyembah thaghut?” Mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus.” (Al-Maidah: 60)
Allah Subhanahu wa Ta'ala melaknati mereka dengan lisan Dawud dan ‘Isa:
لُعِنَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ بَنِيْ إِسْرَائِيْلَ عَلَى لِسَانِ دَاوُدَ وَعِيْسَى ابْنِ مَرْيَمَ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوْا يَعْتَدُوْنَ
“Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan ‘Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas.” (Al-Maidah: 78)
Allah Ta'ala mengatakan:
قُلْ فَلِمَ يُعَذِّبُكُمْ بِذُنُوْبِكُمْ
“Katakanlah, mengapa Allah mengadzab kalian dengan dosa-dosa kalian?” (Al-Maidah: 18)
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya):
“Tidaklah mendengar (seruan) aku seorang Yahudi atau Nashrani lalu tidak beriman dengan apa yang aku diutus dengannya kecuali ia termasuk ahli neraka.” (Shahih, HR. Muslim)

Kalau kita perhatikan baik-baik ayat yang dipakai sebagai dalil oleh mereka (QS. Al-Baqarah: 62), akan nampak bahwa ayat tersebut sama sekali tidak mendukung paham pluralisme dan maha suci Kalamullah untuk dikatakan mendukung pluralisme.
Bukankah ayat tersebut memberikan syarat, yaitu beriman kepada Allah? Apakah Yahudi dan Nashrani atau Majusi beriman kepada Allah? Jawabnya, tidak! Karena beriman kepada Allah bukan hanya beriman dengan adanya Allah. Bila hanya percaya dengan keberadaan Allah maka Iblispun beriman, orang munafiq pun beriman, dan Fir’aun pun beriman.
Tidak ada yang mengatakan demikian kecuali orang yang sejenis mereka. Iman kepada Allah mencakup keimanan tentang adanya Allah dan keesaannya yang tiada sekutu baginya. Sedangkan Yahudi menyekutukan Allah dengan ‘Uzair, dan Nashrani menyekutukan Allah dengan Nabi ‘Isa 'alaihissalam.

Diantara keimanan kepada Allah adalah meyakini uluhiyyah Allah yakni memberikan ibadah hanya kepada Allah dan meyakini hal itu. Sedangkan Yahudi dan Nashrani mereka beribadah kepada selain Allah bahkan kepada pendeta-pendeta.

Ayat itu juga memberikan syarat dalam beramal shalih. Yahudi dan Nashrani tidak melakukan amal shalih karena syarat amal shalih tidak mereka penuhi. Di antaranya yang merupakan syarat dasar yaitu iman, tidak mereka penuhi. Kemudian ikhlas, mereka juga tidak penuhi karena mereka beramal untuk selain Allah.

Bagaimana mungkin mereka dikatakan selamat sementara tidak memenuhi syarat-syarat sebagai orang yang beriman.
Pahamilah wahai yang berakal sehat. Jadi ayat ini berlaku bagi mereka yang memenuhi syarat-syarat tersebut. Dan ini berlaku sebelum datangnya Islam. Oleh karenanya Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma mengatakan bahwa setelah itu turunlah ayat 85 Surat Ali Imran:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ اْلإِسْلاَمِ دِيْنًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي اْلآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِيْنَ
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (Zubdatuttafsir)
Di ayat lain, Allah menganggap mereka bukan orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir sebagaimana dalam ayat 29 Surat At-Taubah:
قَاتِلُوْا الَّذِيْنَ لاَ يُؤْمِنُوْنَ بِاللَّهِ وَلاَ بِالْيَوْمِ اْلآخِرِ وَلاَ يُحَرِّمُوْنَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُوْلُهُ وَلاَ يَدِيْنُوْنَ دِيْنَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِيْنَ أُوْتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُوْنَ
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.”

Adapun hadits yang mereka pakai juga tidak mendukung pluralisme sama sekali. Sebab kesamaan agama para rasul itu adalah pada intinya yaitu agama tauhid dan beribadah hanya kepada Allah. Ternyata hal ini pun dilanggar oleh para pengikut rasul, terutama setelah datangnya Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Lantas bagaimana mereka bisa dianggap sama dengan ajaran Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam?
Hadits itu juga menunjukan bahwa syariat para rasul berbeda-beda. Itu yang dimaksud –wallahu a’lam– dengan saudara sebapak lain ibu? (Lihat Syarah Shahih Muslim hadits no. 6085, Kitab Al-Fadhail)
Tapi pada prakteknya justru JIL ingin menyamakan syariat mereka semua sehingga membolehkan kawin dan waris beda agama. Tidak mungkin Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang berperang melawan Yahudi demi agama lalu menyabdakan sebuah hadits yang mendukung pluralisme agama.

Membolehkan perkawinan antar agama secara mutlak
Islam membolehkan seorang muslim menikahi wanita ahlul kitab Yahudi atau Nashrani:
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِيْنَ أُوْتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوْهُنَّ أُجُوْرَهُنَّ مُحْصِنِيْنَ غَيْرَ مُسَافِحِيْنَ وَلاَ مُتَّخِذِيْ أَخْدَانٍ
“(Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik.” (Al-Maidah: 5)
Tapi tentu dengan syarat-syarat tertentu, diantaranya yaitu pihak laki-laki benar-benar melakukannya untuk menjaga dari maksiat zina dan sejenisnya serta benar-benar menjauhi zina, kemudian pihak wanitanya juga demikian yaitu wanita yang menjaga diri dari perbuatan keji. Semua itu karena hikmah dan tujuan yang luhur dan itu sekilas tampak dari syarat-syarat tersebut. Untuk menjelaskan secara luas tempat ini tidaklah cukup, namun tentu kita yakin bahwa semua syariat Allah pasti demi hikmah yang tinggi yang Ia kehendaki.

Dengan hikmah-Nya pula, Allah mengharamkan sebaliknya yakni seorang wanita muslimah dinikahi orang kafir siapapun dia. Tapi kelompok JIL menganggap semuanya boleh dan hal itu diatasnamakan Islam. Ulil mengatakan: “Jadi, soal pernikahan laki-laki non muslim dengan wanita muslim merupakan wilayah ijtihadi dan terkait dengan konteks tertentu, diantaranya konteks dakwah Islam pada saat itu, yang mana jumlah umat Islam tidak sebesar saat ini, sehingga pernikahan antar agama merupakan sesuatu yang terlarang.” (Fikih Lintas Agama hal. 164)
Kesimpulan ucapannya adalah:
1. Larangan dalam menikah beda agama ini tidak jelas.
2. Larangan saat itu hanya bersifat sosial kontekstual yang dapat berubah dan bukan merupakan alasan teologi.
3. Ini dianggapnya sebagai sebuah kemajuan.
4. Boleh menikah beda agama apapun alirannya
Bantahan:
Bagaimana dia bisa mengatakan larangan itu tidak jelas? Barangkali ia tidak pernah baca Al Qur’an sampai khatam atau membaca tapi tidak tahu maknanya. Bukankah Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman dalam Surat Al-Baqarah ayat 221:
وَلاَ تَنْكِحُوْا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلاَ تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَتَّى يُؤْمِنُوْا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُوْنَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُوْنَ
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke an-naar, sedang Allah mengajak ke al-jannah dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.”
Dalam ayat itu terdapat dua larangan:
1. Menikahi wanita musyrik.
2. Menikahkan wanita muslimah kepada laki-laki musyrik.
Dan ahlul kitab itu termasuk musyrik berdasarkan firman Allah dalam At-Taubah ayat 31:
اتَّخَذُوْا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُوْنِ اللَّهِ وَالْمَسِيْحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوْا إِلاَّ لِيَعْبُدُوْا إِلَهًا وَاحِدًا لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُوْنَ
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (Lihat Tafsir Adhwa-ul Bayan, 1/143)
Diriwayatkan bahwa Ibnu ‘Umar radhiallahu 'anhuma mengatakan: “Saya tidak tahu ada syirik yang lebih besar daripada seseorang yang mengatakan bahwa Tuhannya adalah ‘Isa.”

Namun keumuman larangan yang pertama yakni menikahi wanita musyrik, telah diberi kekhususan yaitu bahwa wanita musyrik dari kalangan ahlul kitab dengan syarat-syaratnya boleh dinikahi lelaki muslim sebagaimana terdapat dalam Surat Al-Maidah ayat 5. Adapun larangan yang kedua maka itu tetap pada keumumannya. Sehingga lelaki siapapun baik dari Yahudi, Majusi, Nashrani dan yang lain maka haram menikahi seorang wanita muslimah. Ayat itu jelas dan itu merupakan ijma’ (kesepakatan) umat seperti kata Ibnu Katsir dalam tafsir ayat ini dan Al-Imam Asy-Syaukani.Bagaimana kemudian Ulil mengatakan tidak jelas dalil yang melarangnya?

Lebih jelas lagi Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
لاَ هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلاَ هُمْ يَحِلُّوْنَ لَهُنَّ
“Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.” (Al-Mumtahanah: 10)
Adapun alasan bahwa larangan itu bersifat kontekstual, inilah yang kami maksud memahami ayat atau hadits yakni agama ini dengan akal yang mengakibatkan pemahaman itu berbalik yakni menolak hukum ayat tersebut.
Yang demikian pasti terjatuh dalam kesesatan. Buktinya, sekilas kita melihat di awal dia katakan bahwa dalil yang melarang tidak jelas. Artinya, secara halus ia mengingkari adanya larangan. Lalu di saat lain ia katakan larangan itu bersifat kontekstual, artinya ia akui adanya larangan. Bukankah ini tanaqudh (terjadi kontradiksi) antar ucapannya sendiri?!

Cukup pembaca yang budiman mengetahui batilnya pendapat itu, dengan melihat hasil akhirnya adalah mengingkari ayat dan hadits yang melarangnya.
Kemudian sesungguhnya larangan itu sebabnya tidak seperti yang dia ungkapkan. Sebab kalau kita perhatikan ayat tersebut, Allah telah menyebutkan hikmah syariat itu di akhir ayat: أُولَئِكَ يَدْعُوْن إِلَى النَّارِ “...mereka mengajak ke an-naar…”
Asy-Syaukani mengatakan: “Dengan mushaharah (pernikahan), berkeluarga serta hidup bersama dengan mereka terdapat bahaya besar terhadap wanita yang menikah dengan mereka dan terhadap anaknya. Maka tidak boleh bagi kaum mukminin untuk mencampakkan diri dalam (fitnah) ini dan masuk padanya.” Kata beliau juga sebelumnya: “Hal itu karena ada penghinaan terhadap Islam.” (Lihat Zubdatuttafsir hal. 44). Dan hikmah seperti ini terus berlaku tidak hanya di zaman Nabi.

Hikmah ini tentu berbeda ketika pihak laki-laki adalah seorang muslim dan wanitanya ahlul kitab. Tidak seorangpun memungkiri kecuali orang yang tidak bisa diajak berfikir, apalagi memahami dalil. Dan tentu di sana terdapat lebih banyak lagi hikmah lain yang tidak cukup untuk diuraikan di sini atau belum kita ketahui. Yang jelas Allah Maha Hakim.
Dengan gugurnya dua alasan orang-orang JIL ini, maka gugurlah secara otomatis hukum yang mereka tentukan. Dan tetap tegarlah hukum Allah sepanjang zaman.
Ini hanya contoh dari pendapat-pendapat mereka yang nyleneh dari sekian banyak pendapat. Namun semua pendapat mereka itu kebatilannya tidak jauh dari apa yang dicontohkan, bahkan mungkin lebih batil, lebih berbahaya dan juga lebih lemah dari sarang laba-laba.

Mereka mesti bertaubat kepada Allah dan mesti tahu bahwa mereka amat sangat lemah untuk bicara dalam agama. Ini kalau mereka tidak punya niat jelek dan jahat terhadap Islam dan muslimin. Sungguh Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
إِنَّمَا يَأْمُرُكُمْ بِالسُّوْءِ وَالْفَحْشَاءِ وَأَنْ تَقُوْلُوْا عَلَى اللَّهِ مَا لاَ تَعْلَمُوْنَ
“Sesungguhnya setan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (Al-Baqarah: 169)
Bagi kaum muslimin hendaknya menjauhi mereka sejauh-jauhnya, juga buku dan siaran serta uraian mereka demi keselamatan agama.

Ingatlah sabda Nabi yang artinya: “Akan datang tahun-tahun yang menipu, yang dusta dianggap jujur, yang jujur dianggap dusta, yang khianat dianggap amanah dan yang amanah dianggap khianat dan pada tahun-tahun itu Ruwaibidhah pun berbicara.” Beliau ditanya: “Apa Ruwaibidhah itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Orang yang hina (yakni dangkal ilmunya) bicara dalam urusan yang besar.” (HR. Ibnu Majah dan yang lain, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’, no. 3650, lihat pula Ash-Shahihah no. 1887)

Hadits tentang akal
اَلدِّيْنُ هُوَ اْلعَقْلُ وَمَنْ لاَ دِيْنَ لَهُ لاَ عَقْلَ لَهُ
“Agama adalah akal dan barangsiapa yang tidak punya agama, maka ia tidak punya akal.”
Hadits ini atau yang semakna dengannya begitu masyhur. Tak jarang kita mendengarnya dari para khatib dan muballigh, bahkan menjadi salah satu landasan mereka yang mengkultuskan akal. Untuk mengetahui bagaimana sesungguhnya kedudukannya dalam timbangan kritik hadits, mari kita melihat penjelasan Asy-Syaikh Al-Albani, seorang ulama ahli hadits abad ini.
Beliau mengatakan: Hadits ini batil. Diriwayatkan oleh An-Nasai dalam kitabnya Al-Kuna dan Ad- Dulabi meriwayatkan darinya dalam kitabnya Al-Kuna wal Asma (2/104) melalui seorang rawi bernama Bisyr bin Ghalib bin Bisyr bin Ghalib dari Az-Zuhri dari Mujammi’ bin Jariyah dari pamannya sampai kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tanpa kalimat “Agama adalah akal.” An-Nasai mengatakan: “Hadits ini batil, mungkar.”
Saya katakan: “Sebabnya adalah karena Bisyr ini majhul (tidak dikenal) sebagaimana dikatakan oleh Al-Azdi dan disetujui oleh Adz-Dzahabi dalam kitabnya Mizanul I’tidal fi Naqdirrijal dan oleh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani dalam kitabnya Lisanul Mizan.
Al-Harits bin Abu Usamah meriwayatkan dalam Musnad-nya dari seorang rawi bernama Dawud bin Al-Muhabbir sebanyak tigapuluh sekian hadits yang menerangkan tentang keutamaan akal. Ibnu Hajar mengomentarinya: “Semuanya palsu (maudhu’).”
Diantaranya adalah hadits yang kita bahas ini, sebagaimana disebutkan oleh Al-Imam As-Suyuthi dalam kitabnya Dzailul La’ali Al-Mashnu’ah fil Ahadits Al-Maudhu’ah (hal. 4-10) dan dinukil pula dari beliau oleh Al-‘Allamah Muhammad bin Thahir Al-Hindi dalam kitabnya Tadzkiratul Maudhu’at (hal. 29-30).
Sedangkan Dawud bin Al-Muhabbir (tersebut di atas) dikatakan oleh Adz-Dzahabi:
“Dia adalah penulis buku Al-’Aql (akal). Duhai seandainya ia tidak menulisnya.” Al-Imam Ahmad mengatakan: “Dia sesungguhnya tidak tahu tentang hadits.”
Abu Hatim mengatakan: “Haditsnya lenyap, tidak bisa dipercaya.”
Ad-Daruquthni mengatakan: “(Haditsnya) ditinggalkan.”
Abdul Ghani meriwayatkan dari Ad-Daruquthni bahwa ia mangatakan: “Buku Al-’Aql (hadits-haditsnya) dipalsu oleh Maisarah bin Abdi Rabbih. Buku itu dicuri oleh Dawud bin Al-Muhabbir lalu dirangkai sendiri sanadnya, tidak seperti sanad Maisarah, lalu dicuri oleh Abdul ‘Aziz bin Abi Raja’ kemudian dicuri oleh Sulaiman bin ‘Isa As-Sijzi.”
Asy-Syaikh Al-Albani berkata: “Di antara yang perlu diingatkan bahwa seluruh hadits yang menerangkan keutamaan akal adalah hadits-hadits yang sama sekali tidak shahih, berkisar antara lemah dan palsu. Dan aku telah meneliti hadits-hadits yang disebut oleh Abu Bakr bin Abid Dunya dalam kitabnya yang berjudul Al-’Aql wa Fadhluhu (akal dan keutamaanya), maka saya dapati seperti yang tadi saya katakan, tidak sedikitpun yang shahih.”

Ibnul Qayyim mengatakan dalam bukunya Al-Manar (hal. 25): “Hadits-hadits tentang akal semuanya dusta.” (diterjemahkan dari Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah, no. 1)
Hadits lain yang semakna:
قِوَامُ الْمَرْءِ عَقْلُهُ وَلاَ دِيْنَ لِمَنْ لاَ عَقْلَ لَهُ
“Penegak seseorang adalah akalnya dan tiada agama bagi yang tidak memiliki akal.”
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah mengatakan: “Hadits ini maudhu’ (palsu).” Sebabnya, hadits ini diriwayatkan melalui seorang rawi bernama Dawud bin Al-Muhabbir yang telah dijelaskan di atas. (Lihat Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah, no. 370).
Wallahu a’lam.

(Dikutip dari tulisan Al-Ustadz Qomar Suaidi Lc., judul asli Penundukan Ajaran Agama di bawah Kendali Akal, majalah Asy Syariah Edisi Vol. II/No. 10/1426 H/2005 url sumber http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=186)

Read more…

Penyimpangan LDII

Kesesatan LDII
A. Bukti-bukti Kesesatan LDII

Bukti-bukti kesesatan LDII, Fatwa-fatwa tentang sesatnya, dan pelarangan Islam Jama’ah dan apapun namanya yang bersifat/ berajaran serupa
1. LDII sesat. MUI dalam Musyawarah Nasional VII di Jakarta, 21-29 Juli 2005, merekomendasikan bahwa aliran sesat seperti LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia) dan Ahmadiyah agar ditindak tegas dan dibubarkan oleh pemerintah karena sangat meresahkan masyarakat. Bunyi teks rekomendasi itu sebagai berikut: “Ajaran Sesat dan Pendangkalan Aqidah. MUI mendesak Pemerintah untuk bertindak tegas terhadap munculnya berbagai ajaran sesat yang menyimpang dari ajaran Islam, dan membubarkannya, karena sangat meresahkan masyarakat, seperti Ahmadiyah, Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), dan sebagainya. MUI supaya melakukan kajian secara kritis terhadap faham Islam Liberal dan sejenisnya, yang berdampak terhadap pendangkalan aqidah, dan segera menetapkan fatwa tentang keberadaan faham tersebut. Kepengurusan MUI hendaknya bersih dari unsur aliran sesat dan faham yang dapat mendangkalkan aqidah. Mendesak kepada pemerintah untuk mengaktifkan Bakor PAKEM dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya baik di tingkat pusat maupun daerah.” (Himpunan Keputusan Musyawarah Nasional VII Majelis Ulama Indonesia, Tahun 2005, halaman 90, Rekomendasi MUI poin 7, Ajaran Sesat dan Pendangkalan Aqidah).
2. Menganggap kafir orang Muslim di luar jama’ah LDII. Dalam Makalah LDII dinyatakan: “Dan dalam nasehat supaya ditekankan bahwa bagaimanapun juga cantiknya dan gantengnya orang-orang di luar jama’ah, mereka itu adalah orang kafir, musuh Allah, musuh orang iman, calon ahli neraka, yang tidak boleh dikasihi,” (Makalah LDII berjudul Pentingnya Pembinaan Generasi Muda Jama’ah dengan kode H/ 97, halaman 8).
3. Surat 21 orang keluarga R. Didi Garnadi dari Cimahi Bandung menyatakan sadar, insyaf, taubat dan mencabut Bai’at mereka terhadap LDII, Oktober 1999. Dalam surat itu dinyatakan di antara kejanggalan LDII hingga mereka bertaubat dan keluar dari LDII, karena: Dilarang menikah dengan orang luar Kerajaan Mafia Islam jama’ah, LEMKARI, LDII karena dihukumi Najis dan dalam kefahaman Kerajaan Mafia Islam Jama’ah, LEMKARI, LDII bahwa mereka itu BINATANG. (Lihat surat 21 orang dari Cimahi Bandung yang mencabut bai’atnya terhadap LDII alias keluar ramai-ramai dari LDII, surat ditujukan kepada DPP LDII, Imam Amirul Mu’minin Pusat , dan pimpinan cabang LDII Cimahi Bandung, Oktober 1999, dimuat di buku Bahaya Islam Jama’ah Lemkari LDII, LPPI Jakarta, cetakan 10, 2001, halaman 276- 280).
4. Menganggap najis Muslimin di luar jama’ah LDII dengan cap sangat jorok, turuk bosok (vagina busuk). Ungkapan Imam LDII dalam teks yang berjudul Rangkuman Nasehat Bapak Imam di CAI (Cinta Alam Indonesia, semacam jamboree nasional tapi khusus untuk muda mudi LDII) di Wonosalam Jombang tahun 2000. Pada poin ke-20 (dari 50 poin dalam 11 halaman): “Dengan banyaknya bermunculan jamaah-jamaah sekarang ini, semakin memperkuat kedudukan jamaah kita (maksudnya, LDII, pen.). Karena betul-betul yang pertama ya jamaah kita. Maka dari itu jangan sampai kefahamannya berubah, sana dianggap baik, sana dianggap benar, akhirnya terpengaruh ikut sana. Kefahaman dan keyakinan kita supaya dipolkan. Bahwa yang betul-betul wajib masuk sorga ya kita ini. Lainnya turuk bosok kabeh.” (CAI 2000, Rangkuman Nasehat Bapak Imam di CAI Wonosalam. Pada poin ke-20 (dari 50 poin dalam 11 halaman).
5. Menganggap sholat orang Muslim selain LDII tidak sah, hingga dalam kenyataan, biasanya orang LDII tak mau makmum kepada selain golongannya, hingga mereka membuat masjid-masjid untuk golongan LDII.
Bagaimanapun LDII tidak bisa mengelak dengan dalih apapun, misalnya mengaku bahwa mereka sudah memakai paradigma baru, bukan model Nur Hasan Ubaidah. Itu tidak bisa. Sebab di akhir buku Kitabussholah yang ada Nur Hasan Ubaidah dengan nama ‘Ubaidah bin Abdul Aziz di halaman 124 itu di akhir buku ditulis: KHUSUS UNTUK INTERN WARGA LDII. Jadi pengakuan LDII bahwa sekarang sudah memakai paradigma baru, lain dengan yang lama, itu dusta alias bohong.
6. Penipuan Triliunan Rupiah: Kasus tahun 2002/2003 ramai di Jawa Timur tentang banyaknya korban apa yang disebut investasi yang dikelola dan dikampanyekan oleh para tokoh LDII dengan iming-iming bunga 5% perbulan. Ternyata investasi itu ada tanda-tanda duit yang telah disetor sangat sulit diambil, apalagi bunga yang dijanjikan. Padahal dalam perjanjian, duit yang disetor bisa diambil kapan saja. Jumlah duit yang disetor para korban mencapai hampir 11 triliun rupiah. Di antara korban itu ada yang menyetornya ke isteri amir LDII Abdu Dhahir yakni Umi Salamah sebesar Rp 169 juta dan Rp 70 juta dari penduduk Kertosono Jawa Timur. Dan korban dari Kertosono pula ada yang menyetor ke cucu Nurhasan Ubaidah bernama M Ontorejo alias Oong sebesar Rp22 miliar, Rp 959 juta, dan Rp800 juta. Korban bukan hanya sekitar Jawa Timur, namun ada yang dari Pontianak Rp2 miliar, Jakarta Rp2,5 miliar, dan Bengkulu Rp1 miliar. Paling banyak dari penduduk Kediri Jawa Timur ada kelompok yang sampai jadi korban sebesar Rp900 miliar. (Sumber Radar Minggu, Jombang, dari 21 Februari sampai Agustus 2003, dan akar Kesesatan LDII dan Penipuan Triliunan Rupiah karya H.M.C. Shodiq, LPPI Jakarta, 2004. ).
7. Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat: Bahwa ajaran Islam Jama’ah, Darul Hadits (atau apapun nama yang dipakainya) adalah ajaran yang sangat bertentangan dengan ajaran Islam yang sebenarnya dan penyiarannya itu adalah memancing-mancing timbulnya keresahan yang akan mengganggu kestabilan negara. (Jakarta, 06 Rabiul Awwal 1415H/ 13 Agustus 1994M, Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia, Ketua Umum: K.H. Hasan Basri, Sekretaris Umum: H.S. Prodjokusumo.
8. Fatwa Majelis Ulama DKI Jakarta: Bahwa ajaran Islam Jama’ah, Darul Hadits (atau apapun nama yang dipakainya) adalah ajaran yang sangat bertentangan dengan ajaran Islam yang sebenarnya dan penyiarannya itu adalah memancing-mancing timbulnya keresahan yang akan mengganggu kestabilan negara. (Jakarta, 20 Agustus 1979, Dewan Pimpinan Majelis Ulama DKI Jakarta, K.H. Abdullah Syafi’ie ketua umum, H. Gazali Syahlan sekretaris umum.
9. Pelarangan Islam Jama’ah dengan nama apapun dari Jaksa Agung tahun 1971: Surat Keputusan Jaksa Agung RI No: Kep-089/D.A./10/1971 tentang: Pelarangan terhadap Aliran- Aliran Darul Hadits, Djama’ah jang bersifat/ beradjaran serupa. Menetapkan: Pertama: Melarang aliran Darul Hadits, Djama’ah Qur’an Hadits, Islam Djama’ah, Jajasan Pendidikan Islam Djama’ah (JPID), Jajasan Pondok Peantren Nasional (JAPPENAS), dan aliran-aliran lainnya yang mempunyai sifat dan mempunjai adjaran jang serupa itu di seluruh wilajah Indonesia. Kedua: Melarang semua adjaran aliran-aliran tersebut pada bab pertama dalam keputusan ini jang bertentangan dengan/ menodai adjaran-adjaran Agama. Ketiga: Surat Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan: Djakarta pada tanggal: 29 Oktober 1971, Djaksa Agung R.I. tjap. Ttd (Soegih Arto).
10. Kesesatan, penyimpangan, dan tipuan LDII diuraikan dalam buku-buku LPPI tentang Bahaya Islam Jama’ah, Lemkari, LDII (1999); Akar Kesesatan LDII dan Penipuan Triliunan Rupiah (2004).
11. LDII aliran sempalan yang bisa membahayakan aqidah umat, ditegaskan dalam teks pidato Staf Ahli Menhan Bidang Ideologi dan Agama Ir. Soetomo, SA, Mayor Jenderal TNI bahwa “Beberapa contoh aliran sempalan Islam yang bisa membahayakan aqidah Islamiyah, yang telah dilarang seperti: Lemkari, LDII, Darul Hadis, Islam Jama’ah.” (Jakarta 12 Februari 2000, Staf Ahli Menhan Bidang Ideologi dan Agama, Ir. Soetomo, SA, Mayor Jendral TNI).
12. LDII dinyatakan sesat oleh MUI karena penjelmaan dari Islam Jamaah. Ketua Komisi fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia) KH Ma’ruf Amin menyatakan, Fatwa MUI: LDII sesat. Dalam wawancara dengan Majalah Sabili, KH Ma’ruf Amin menegaskan: Kita sudah mengeluarkan fatwa terbaru pada acara Munas MUI (Juli 2005) yang menyebutkan secara jelas bahwa LDII sesat. Maksudnya, LDII dianggap sebagai penjelamaan dari Islam Jamaah. Itu jelas!” (Sabili, No 21 Th XIII, 4 Mei 2006/ 6 Rabi’ul Akhir 1427, halaman 31).
Sistem manqul
LDII memiliki sistem manqul. Sistem manqul menurut Nurhasan Ubaidah Lubis adalah :”Waktu belajar harus tahu gerak lisan/badan guru; telinga langsung mendengar, dapat menirukan amalannya dengan tepat. Terhalang dinding atau lewat buku tidak sah. Sedang murid tidak dibenarkan mengajarkan apa saja yang tidak manqul sekalipun ia menguasai ilmu tersebut, kecuali murid tersebut telah mendapat Ijazah dari guru maka ia dibolehkan mengajarkan seluruh isi buku yang telah diijazahkan kepadanya itu”. (Drs. Imran AM. Selintas Mengenai Islam Jama’ah dan Ajarannya, Dwi Dinar, Bangil, 1993, hal.24).
Kemudian di Indonesia ini satu-satunya ulama yang ilmu agamanya manqul hanyalah Nurhasan Ubaidah Lubis.
Ajaran ini bertentangan dengan ajaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. yang memerintahkan agar siapa saja yang mendengarkan ucapannya hendaklah memelihara apa yang didengarnya itu, kemudian disampaikan kepada orang lain, dan Nabi tidak pernah mem berikan Ijazah kepada para sahabat. Dalam sebuah hadits beliau bersabda:
نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مَقَالَتِي فَوَعَاهَا، ثُمَّ أَدَّاهَا كَمَا سَمِعَهَا .
Artinya:”Semoga Allah mengelokkan orang yang mendengar ucapan lalu menyampaikannya (kepada orang lain) sebagaimana apa yang ia dengar”. (Syafi’i dan Baihaqi)
Dalam hadits ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan kepada orang yang mau mempelajari hadits-haditsnya lalu menyampaikan kepada orang lain seperti yang ia dengar. Adapun cara bagaiman atau alat apa dalam mempelajari dan menyampaikan hadits-haditsnya itu tidak ditentukan. Jadi bisa disampaikan dengan lisan, dengan tulisan, dengan radio, tv dan lain-lainnya. Maka ajaran manqulnya Nurhasan Ubaidah Lubis terlihat mengada-ada. Tujuannya membuat pengikutnya fanatik, tidak dipengaruhi oleh pikiran orang lain, sehingga sangat tergantung dan terikat denga apa yang digariskan Amirnya (Nurhasan Ubaidah). Padahal Allah SWT menghargai hamba-hambanya yang mau mendengarkan ucapan, lalu menseleksinya mana yang lebih baik untuk diikutinya. Firman-Nya:


وَالَّذِينَ اجْتَنَبُوا الطَّاغُوتَ أَنْ يَعْبُدُوهَا وَأَنَابُوا إِلَى اللَّهِ لَهُمُ الْبُشْرَى فَبَشِّرْ عِبَادِ(17)
الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ وَأُولَئِكَ هُمْ أُولُو الْأَلْبَابِ(18)
Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembahnya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku,
yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal. (QS Az-Zumar : 17-18).
Dalam ayat tersebut tidak ada sama sekali keterangan harus manqul dalam mempelajari agama. Bahkan kita diberi kebebasan untuk mendengarkan perkataan, hanya saja hrus mengikuti yang paling baik. Itulah ciri-ciri orang yang mempunyai akal. Dan bukan harus mengikuti manqul dari Nur Hasan Ubaidah yang kini digantikan oleh anaknya, Abdul Aziz, setelah matinya kakaknya yakni Abdu Dhahir. Maka orang yang menetapkan harus/ wajib manqul dari Nur Hasan atau amir itulah ciri-ciri orang yang tidak punya akal. (Lihat Buku Bahaya Islam Jama’ah Lemkari LDII, LPPI, Jakarta, cetakan 10, 2001, halaman 258- 260).
Intinya, berbagai kesesatan LDII telah nyata di antaranya:
  1. Menganggap kafir orang Muslim di luar jama’ah LDII.
  2. Menganggap najis Muslimin di luar jama’ah LDII dengan cap sangat jorok, turuk bosok (vagina busuk).
  3. Menganggap sholat orang Muslim selain LDII tidak sah, hingga orang LDII tak mau makmum kepada selain golongannya.
Bagaimanapun LDII tidak bisa mengelak dengan dalih apapun, misalnya mengaku bahwa mereka sudah memakai paradigma baru, bukan model Nur Hasan Ubaidah. Itu tidak bisa. Sebab di akhir buku Kitabussholah yang ada Nur Hasan Ubaidah dengan nama ‘Ubaidah bin Abdul Aziz di halaman 124 itu di akhir buku ditulis: KHUSUS UNTUK INTERN WARGA LDII. Jadi pengakuan LDII bahwa sekarang sudah memakai paradigma baru, lain dengan yang lama, itu dusta alias bohong.


Diskrispi tentang LDII:
LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia)
Pendiri dan pemimpin tertinggi pertamanya adalah Madigol Nurhasan Ubaidah Lubis bin Abdul bin Thahir bin Irsyad. Lahir di Desa Bangi, Kec. Purwoasri,. Kediri Jawa Timur, Indonesia, tahun 1915 M (Tahun 1908 menurut versi Mundzir Thahir, keponakannya).
Faham yang dianut oleh LDII tidak berbeda dengan aliran Islam Jama’ah/Darul Hadits yang telah dilarang oleh Jaksa Agung Republik Indonesia pada tahun 1971 (SK Jaksa Agung RI No. Kep-089/D.A/10/1971 tanggal 29 Oktober 1971). Keberadaan LDII mempunyai akar kesejarahan dengan Darul Hadits/Islam Jama’ah yang didirikan pada tahun 1951 oleh Nurhasan Al Ubaidah Lubis (Madigol). Setelah aliran tersebut dilarang tahun 1971, kemudian berganti nama dengan Lembaga Karyawan
Islam (LEMKARI) pada tahun 1972 (tanggal 13 Januari 1972, tanggal ini dalam Anggaran Dasar LDII sebagai tanggal berdirinya LDII. Maka perlu dipertanyakan bila mereka bilang bahwa mereka tidak ada kaitannya dengan LEMKARI atau nama sebelumnya Islam Jama’ah dan sebelumnya lagi Darul Hadits.). Pengikut tersebut pada pemilu 1971 mendukung GOLKAR.
Nurhasan Ubaidah Lubis Amir (Madigol) bertemu dan mendapat konsep asal doktrin imamah dan jama’ah (yaitu : Bai’at, Amir, Jama’ah, Taat) dari seorang Jama’atul Muslimin Hizbullah, yaitu Wali al-Fatah, yang dibai’at
pada tahun 1953 di Jakarta oleh para jama’ah termasuk sang Madigol sendiri. Pada waktu itu Wali al-Fatah adalah Kepala Biro Politik Kementrian Dalam Negeri RI (jaman Bung Karno). Aliran sesat yang telah dilarang Jaksa Agung 1971 ini kemudian dibina oleh mendiang Soedjono Hoermardani dan Jenderal Ali Moertopo. LEMKARI dibekukan di seluruh Jawa Timur oleh pihak penguasa di Jawa Timur atas desakan keras MUI (Majelis Ulama Indonesia) Jatim di bawah pimpinan KH. Misbach. LEMKARI diganti nama atas anjuran Jenderal Rudini (Mendagri) dalam Mubes ke-4 Lemkari di Wisma Haji Pondok Gede, Jakarta, 21 November 1990 menjadi LDII (Lembaga Dakwah Islamiyah Indonesia). (Lihat Jawa Pos, 22 November 1990, Berita Buana, 22 November 1990, Bahaya Islam Jama’ah Lemkari LDII, LPPI Jakarta, cetakan 10, 2001, halaman 265, 266, 267).
Semua itu digerakkan dengan disiplin dan mobilitas komando “Sistem
Struktur Kerajaan 354″ menjadi kekuatan manqul, berupa: “Bai’at, Jama’ah, Ta’at” yang selalu ditutup rapat-rapat dengan system:
“Taqiyyah, Fathonah, Bithonah, Budi luhur Luhuring Budi karena
Allah.” (lihat situs: alislam.or.id).
Penyelewengan utamanya: Menganggap Al-Qur’an dan As-Sunnah baru sah diamalkan kalau manqul (yang keluar dari mulut imam atau amirnya), maka anggapan itu sesat. Sebab membuat syarat baru tentang sahnya keislaman orang. Akibatnya, orang yang tidak masuk golongan mereka dianggap kafir dan najis (Lihat surat 21 orang dari Bandung yang mencabut bai’atnya terhadap LDII alias keluar ramai-ramai dari LDII, surat ditujukan kepada DPP LDII, Imam Amirul Mu’minin Pusat , dan pimpinan cabang LDII Cimahi Bandung, Oktober 1999, Bahaya Islam Jama’ah Lemkari LDII, LPPI Jakarta, cetakan 10, 2001, halaman 276- 280).
Itulah kelompok LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia) yang dulunya bernama Lemkari, Islam Jama’ah, Darul Hadits pimpinan Nur Hasan Ubaidah Madigol Lubis (Luar Biasa) Sakeh (Sawahe Akeh/ sawahnya banyak) dari Kediri Jawa Timur yang kini digantikan anaknya, Abdu Dhohir. Penampilan orang sesat model ini: kaku –kasar tidak lemah lembut, ada yang bedigasan, ngotot karena mewarisi sifat kaum khawarij, kadang nyolongan (suka mencuri) karena ada doktrin bahwa mencuri barang selain kelompok mereka itu boleh, dan bohong pun biasa; karena ayat saja oleh amirnya diplintir-plintir untuk kepentingan dirinya. (Lihat buku Bahaya Islam Jama’ah Lemkari LDII, LPPI Jakarta, cetakan 10, 2001).

Modus operandinya: Mengajak siapa saja ikut ke pengajian mereka sacara rutin, agar Islamnya benar (menurut mereka). Kalau sudah masuk maka diberi ajaran tentang shalat dan sebagainya berdasarkan hadits, lalu disuntikkan doktrin-doktrin bahwa hanya Islam model manqul itulah yang sah, benar. Hanya jama’ah mereka lah yang benar. Kalau menyelisihi maka masuk neraka, tidak taat amir pun masuk neraka dan sebagainya. Pelanggaran-pelanggaran semacam itu harus ditebus dengan duit. Daripada masuk neraka maka para korban lebih baik menebusnya dengan duit.
Dalam hal duit, bekas murid Nurhasan Ubaidah menceritakan bahwa dulu Nurhasan Ubaidah menarik duit dari jama’ahnya, katanya untuk saham pendirian pabrik tenun. Para jama’ahnya dari Madura sampai Jawa Timur banyak yang menjual sawah, kebun, hewan ternak, perhiasan dan sebagainya untuk disetorkan kepada Nurhasan sebagai saham. Namun ditunggu-tunggu ternyata pabrik tenunnya tidak ada, sedang duit yang telah mereka setorkan pun amblas. Kalau sampai ada yang menanyakannya maka dituduh “tidak taat amir”, resikonya diancam masuk neraka, maka untuk membebaskannya harus membayar pakai duit lagi.
Kasus tahun 2002/2003 ramai di Jawa Timur tentang banyaknya korban apa yang disebut investasi yang dikelola dan dikampanyekan oleh para tokoh LDII dengan iming-iming bunga 5% perbulan. Ternyata investasi itu ada tanda-tanda duit yang telah disetor sangat sulit diambil, apalagi bunga yang dijanjikan. Padahal dalam perjanjian, duit yang disetor bisa diambil kapan saja. Jumlah duit yang disetor para korban mencapai hampir 11 triliun rupiah. (Sumber Radar Minggu, Jombang, dari 21 Februari sampai Agustus 2003, dan akar Kesesatan LDII dan Penipuan Triliunan Rupiah karya H.M.C. Shodiq, LPPI Jakarta, 2004. )

Read more…

Syaikh Osama bin Laden Rahimahullah di Mata Ulama Ahlus Sunnah

Posted by SALAFIYUNPAD™
 Berikut ini kami hadirkan pandangan para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah, & Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hafizhahullah) terhadap Syaikh Usamah bin Laden rahimahullah (pimpinan jaringan Al-Qaeda). Semoga bermanfaat.
Perkataan Syaikh Bin Baz tentang Usamah bin Laden

Benarlah ucapan Syaikh Ibnu Baz rahimahullah tentang dia:
“Usamah bin Laden termasuk orang-orang (mufsidin) yang membuat kerusakan di muka bumi. Dia memilih jalan-jalan kejelekan yang merusak dan tidak mau taat kepada ulil amri (pemerintah dan ulama).” (Surat Kabar Al-Muslimun 9-05-1417 H)

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah telah memperingatkan dari Usamah bin Laden dalam banyak kesempatan, di antaranya:
“Adapun yang sekarang dilakukan Muhammad Al-Mis’ari, Sa’ad Al-Faqih dan yang semisalnya dari para penyebar dakwah-dakwah perusak yang sesat, maka ini tidak diragukan lagi merupakan kejelekan yang besar. Mereka ini menyeru kepada kejelekan yang besar dan kerusakan yang besar. Wajib berhati-hati dari selebaran mereka, wajib memusnahkannya dan tidak bekerja sama bersama mereka dalam perkara apapun yang mengajak kepada kerusakan, kejelekan, kebathilan dan fitnah. Karena Allah memerintahkan untuk ta’awwun (bekerja sama) dalam kebaikan dan melarang dalam kerusakan, kejelekan, penyebaran kedustaan dan penyebaran seruan-seruan bathil yang menyebabkan perpecahan, terganggunya stabilitas keamanan, serta yang lainnya.
Selebaran-selebaran yang berasal dari Sa’ad Al-Faqih atau dari Al-Mis’ari atau para penyeru kebathilan, kejelekan dan perpecahan lainnya, wajib untuk diberangus dan dimusnahkan dan tidak diperhatikan. Wajib menasehati mereka dan membimbing mereka kepada kebenaran. Wajib memperingatkan mereka dari kebathilan ini. Tidak boleh seseorang untuk bekerja sama dengan mereka dalam kejelekan ini. Wajib mereka dinasehati dan kembali kepada petunjuk dan meninggalkan kebathilan ini.
Nasehatku untuk Al-Mis’ari, Al-Faqih dan Usamah bin Laden serta semua orang yang menempuh jalan mereka untuk meninggalkan jalan yang berbahaya ini. Dan hendaknya mereka takut kepada Allah dan berhati-hati dari siksa dan kemurkaan-Nya. Hendaklah mereka kembali kepada petunjuk dan bertaubat kepada Allah atas perbuatan-perbuatan mereka yang dulu. Dan Allah telah menjanjikan para hamba-Nya yang bertaubat akan menerima taubat mereka dan akan berbuat baik kepada mereka…” (Majmu Al-Fatawa Karya Syaikh Bin Baz 9/100)
Ucapan Syaikh Muqbil tentang Usamah bin Laden
Sedangkan Ulama Negeri Yaman Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah berkata: “Aku berlepas diri kepada Allah dari Usamah bin Laden. Dia itu celaka dan musibah bagi ummat Islam. Perbuatan-perbuatannya sangat jelek.” (Surat Kabar Ar-Ra’yi Al-‘Am Al-Kuwaitiyyah tertanggal 19-12-1998 vol 11503.)

Syaikh Mukbil rahimahullah juga berkata:
“Dan termasuk contoh fitnah ini adalah fitnah yang hampir menimpa Negara Yaman dari arah Usamah bin Laden, ketika dikatakan kepadanya: ‘Kami ingin jumlah 20.000 real Saudi. Kami ingin membangun sebuah masjid di wilayah …..’ Kemudian dia menjawab: ‘Kami tidak punya kemampuan. Kami akan memberi -Insya Allah- sesuai dengan kemampuan kami.’ Tetapi jika dikatakan kepadanya: ‘Kami ingin cannon, senjata api dan lainnya.’ Dia akan menjawab: ‘Ambil 100.000 real ini atau lebih. Insya Allah akan datang lagi’.” (Tuhfatul Mujib hal 283 karya Syaikh Mukbil)
Perhatikan orang yang menyimpang ini. Bagaimana dia menimbulkan fitnah dengan sebutan jihad. Memang benar dia seorang pengaku jihad dan salah satu tokoh kesesatan dan pengrusakan.
Dia juga memprovokasi orang-orang untuk melakukan teror pengeboman di negeri-negeri kaum muslimin dan menyebut mereka sebagai orang yang mati syahid. Allah lah tempat meminta pertolongan dari orang seperti ini dan perbuatannya.
Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali tentang Usamah bin Laden

Beliau berkata:
“Termasuk tabiat manusia, khususnya para wartawan, sangat perhatian dengan berbagai peristiwa, banyaknya pembicaraan tentangnya, dan fenomena-fenomenanya. Dan sedikit di antara mereka yang memperhatikan faktor dan rahasia-rahasianya.
Banyak pembicaraan di media masa audio dan video, koran-koran, dan internet tentang kejadian Afganistan, Iraq dan peristiwa-peristiwa pengeboman di negeri-negeri kaum muslimin dan lainnya.
Banyak orang mengaitkan perbuatan ini dengan Jaringan Al-Qaedah yang dipimpin oleh Usamah bin Laden dan pengikutnya semata.
Dimana Usamah bin Laden telah menjadikan orang-orang bodoh dari mereka sebagai para pahlawan Islam mujahid, meskipun mereka adalah orang yang paling cepat larinya dari peperangan. Kebanyakan mereka bersembunyi di gua (dan tempat lainnya, admin), atau hidup di negeri kafir untuk mengatur siasat terhadap kaum muslimin dan berusaha untuk menumpahkan darah mereka.
Meskipun usaha mereka tidaklah mewujudkan kecuali merendahkan kaum muslimin dan meruntuhkan negara-negara mereka, dan tidak menciptakan kecuali kesempatan untuk musuh-musuh Islam dan mempermudah mereka menguasai kaum muslimin.
Kami tidak mengetahui apa analogi kepahlawanan menurut orang-orang ini. Apakah usaha untuk menyerahkan para pemuda Islam kepada musuh, dan mengorbankan mereka seperti ayam dan menjadikan mereka sebagai mangsa dan tawanan seperti burung dara.
Padahal para pemuda yang diprovokasi itu tidak bisa membela diri mereka, terlebih lagi menguasai sarana-prasarana untuk mengalahkan musuh. Betapa besar semangat musuh Islam atas perang yang gagal ini.
Kelompok yang aneh ini memprovokasi para pemuda untuk menyeret kaum muslimin kepada peristiwa-peristiwa berdarah seperti pengeboman dan pengrusakan …
Kaum muslimin tidak sempat bersikap kecuali terkejut dengan banyaknya pembicaraan antara pihak yang pro dan kontra. Sampai batas ini saja berakhir pandangan mereka. Dan sangat sedikit orang yang menunjukkan asal musibah ini.
Kenyataan yang pahit bahwa perbuatan Usamah bin Laden dan orang-orang yang mengikutinya, tidak lain adalah buah dari sebuah pemikiran dan prinsip yang dibawa oleh tulisan-tulisan yang disebarkan di semua media masa, percetakan, dan distribusi dalam berbagai bahasa. Pemikiran ini telah mengisi perpustakaan-perpustakaan. Isinya telah menyusup ke sekolah-sekolah dan universitas-universitas. Pemikiran itu telah mengisi benak banyak pemuda, bahkan sampai ke pedalaman dan hutan belantara. Ketahuilah penyebab itu asalnya adalah kitab-kitab dan prinsip Sayyid Qutb.
Namun banjir pemikiran Sayyid Qutb yang deras ini, malah mendapati pujian dan promosi dari berbagai media masa, para pengajar dan pendidik. Barangsiapa yang berusaha menghentikannya, dia akan dimusuhi …
Kitab-kitab Sayyid Qutb itu merupakan sumber fitnah, terorisme, pengrusakan di negeri-negeri Islam dan lainnya, karena mengandung berbagai macam pengrusakan asas, aqidah (keyakinan) dan prinsip Islam.” (Yanbu’ Al-Fitan Wa Al-Ahdats dengan penyesuaian)

Read more…

Pujian Dalam Hujatan

Ketika aku putuskan untuk beramal sesuai AlQuran & Sunnah dengan faham As Salafush Shaleh, Akupun dipanggil Wahabi
Ketika aku minta segala hajatku hanya kepada Allah subhaanahu wa ta’ala tidak kepada Nabi & Wali .… Akupun dituduh Wahabi
Ketika aku meyakini Alquran itu kalam Ilahi, bukan makhluq …. Akupun diklaim sebagai Wahabi
Ketika aku takut mengkafirkan dan memberontak penguasa yang dzalim, Akupun dipasangi platform Wahabi
Ketika aku tidak lagi shalat, ngaji serta ngais berkah di makam-makam keramat… Akupun dijuluki Wahabi
Ketika aku putuskan keluar dari tarekat sekte sufi yang berani menjaminku masuk surga… Akupun diembel-embeli Wahabi
Ketika aku katakan tahlilan dilarang oleh Imam Syafi’i
Akupun dihujat sebagai Wahabi
Ketika aku tinggalkan maulidan karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah ajarkan … Akupun dikirimi “berkat”  Wahabi
Ketika aku takut mengatakan bahwa Allah subhaanahu wa ta’ala itu dimana-mana sampai ditubuh babipun ada…  Akupun dibubuhi stempel Wahabi
Ketika aku mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memanjangkan jenggot, memotong celana diatas dua mata kaki, …,…., Akupun dilontari kecaman Wahabi
Ketika aku tanya apa itu Wahabi…?
Merekapun gelengkan kepala tanda tak ngerti
Ketika ku tanya siapa itu wahabi…?
merekapun tidak tahu dengan apa harus menimpali
Tapi…!
Apabila Wahabi mengajakku beribadah sesuai dengan AlQuran dan Sunnah… Maka aku rela mendapat gelar  Wahabi !
Apabila Wahabi mengajakku hanya menyembah dan memohon kepada Allah subhaanahu wa ta’ala … Maka aku Pe–De memakai mahkota Wahabi !
Apabila Wahabi menuntunku menjauhi syirik, khurafat dan bid’ah… Maka aku bangga menyandang baju kebesaran Wahabi !
Apabila Wahabi mengajakku taat kepada Allah subhaanahu wa ta’ala dan RasulNya shallallahu ‘alaihi wa sallam … Maka akulah pahlawan Wahabi !
Ada yang bilang.…. Kalau pengikut setia Ahmad shallallahu ‘alaihi wa sallam digelari Wahabi, maka aku mengaku sebagai Wahabi.
Ada yang bilang….. Jangan sedih wahai “Pejuang Tauhid”, sebenarnya musuhmu sedang memujimu, Pujian dalam hujatan….!

Read more…

MAKNA DUA KALIMAT SYAHADAT


Makna La ilaha illallah
Rujukan : Kitab Tauhid li Shafil Awwal hal. 45
Makna syahadat la ilaha illallah adalah meyakini bahwa tidak ada yang berhak mendapatkan ibadah kecuali Allah, konsisten dengan pengakuan itu dan mengamalkannya. La ilaha menolak keberhakan untuk diibadahi pada diri selain Allah, siapapun orangnya. Sedangkan illallah merupakan penetapan bahwa yang berhak diibadahi hanyalah Allah. Sehingga makna kalimat ini adalah la ma’buda haqqun illallah atau tidak ada sesembahan yang benar selain Allah. Sehingga keliru apabila la ilaha illallah diartikan tidak ada sesembahan/tuhan selain Allah, karena ada yang kurang. Harus disertakan kata ‘yang benar’ Karena pada kenyataannya sesembahan selain Allah itu banyak. Dan kalau pemaknaan ‘tidak ada sesembahan selain Allah’ itu dibenarkan maka itu artinya semua peribadahan orang kepada apapun disebut beribadah kepada Allah, dan tentu saja ini adalah kebatilan yang sangat jelas.
Kalimat syahadat ini telah mengalami penyimpangan penafsiran di antaranya adalah :
  • Pemaknaan la ilaha illalah dengan ‘la ma’buda illallah’ tidak ada sesembahan selain Allah, hal ini jelas salahnya karena yang disembah oleh orang tidak hanya Allah namun beraneka ragam
  • Pemaknaan la ilaha illallah dengan ‘la khaliqa illallah’ tidak ada pencipta selain Allah. Makna ini hanya bagian kecil dari kandungan la ilaha illallah dan bukan maksud utamanya. Sebab makna ini hanya menetapkan tauhid rububiyah dan itu belumlah cukup.
  • Pemaknaan la ilaha illallah dengan ‘la hakimiyata illallah’ tidak ada hukum kecuali hukum Allah, maka inipun hanya sebagian kecil maknanya bukan tujuan utama dan tidak mencukupi.
Sehingga penafsiran-penafsiran di atas adalah keliru. Hal ini perlu diingatkan karena kekeliruan semacam ini telah tersebar melalui sebagian buku yang beredar di antara kaum muslimin. Sehingga penafsiran yang benar adalah sebagaimana yang sudah dijelaskan yaitu : ‘la ma’buda haqqun illallah’ tidak ada sesembahan yang benar selain Allah
Makna Muhammad Rasulullah
Rujukan : Kitab Tauhid li Shafil Awwal hal. 46
Sedangkan makna syahadat anna Muhammadar rasulullah adalah mengakui secara lahir dan batin bahwa beliau adalah hamba dan utusan-Nya yang ditujukan kepada segenap umat manusia dan harus disertai sikap tunduk melaksanakan syari’at beliau yaitu dengan membenarkan sabdanya, melaksanakan perintahnya, menjauhi larangannya dan beribadah kepada Allah hanya dengan tuntunannya.
Rukun dan Syarat Syahadat
Rujukan : Kitab Tauhid li Shafil Awwal hal. 46-48
La ilaha illallah terdiri dari dua rukun : nafi/penolakan, yaitu yang terkandung di dalam la ilaha dan itsbat/penetapan, yaitu yang terkandung dalam illallah. Maka dengan la ilaha dihapuslah segala bentuk kesyirikan dan mengharuskan mengingkari segala sesembahan selain Allah. Sedangkan dengan illallah maka ibadah hanya boleh ditujukan kepada Allah dan harus tunduk melaksanakannya. Ayat-ayat yang mengungkapkan dua rukun ini banyak, di antaranya adalah firman Allah tentang ucapan Nabi Ibrahim, “Sesungguhnya aku berlepas diri dari semua sesembahan kalian, selain (Allah) yang telah menciptakan diriku.” (QS. az-Zukhruf : 26).
Sedangkan rukun syahadat anna Muhammad rasulullah ada dua yaitu ; pernyataan bahwa beliau adalah hamba Allah dan sebagai rasul-Nya. Beliau adalah hamba, maka tidak boleh diibadahi dan diperlakukan secara berlebihan. Dan beliau adalah rasul maka tidak boleh didustakan ataupun diremehkan. Beliau membawa berita gembira dan peringatan bagi seluruh umat manusia.
Syarat-syarat la ilaha illallah adalah :
  • Mengetahui maknanya, lawan dari bodoh
  • Meyakininya, lawan dari ragu-ragu
  • Menerimanya, lawan dari menolak
  • Tunduk kepadanya, lawan dari membangkang
  • Ikhlas dalam beribadah, lawan dari syirik
  • Jujur dalam mengucapkannya, lawan dari dusta
  • Mencintai isinya dan tidak membencinya
Syarat-syarat anna Muhammadar rasulullah adalah :
  • Mengakui risalahnya secara lahir dan batin
  • Mengucapkan dan mengakuinya dengan lisan
  • Mengikutinya, yaitu dengan mengamalkan kebenaran yang beliau bawa dan meninggalkan kebatilan yang beliau larang
  • Membenarkan beritanya, baik yang terkait dengan perkara gaib di masa silam atau masa depan
  • Mencintai beliau lebih dalam daripada kecintaan terhadap diri sendiri, harta, anak, orang tua dan seluruh umat manusia
  • Menjunjung tinggi sabdanya di atas semua ucapan manusia dan mengamalkan sunah/tuntunannya
Konsekuensi Syahadatain
Rujukan : Kitab Tauhid li Shafil Awwal hal. 50 dengan sedikit perubahan dan penambahan
Konsekuensi syahadat la ilaha illallah adalah meninggalkan segala bentuk peribadahan dan ketergantungan hati kepada selain Allah. Selain itu ia juga melahirkan sikap mencintai orang yang bertauhid dan membenci orang yang berbuat syirik. Sedangkan konsekuensi syahadat Muhammad Rasulullah adalah menaati Nabi, membenarkan sabdanya, meninggalkan larangannya, beramal dengan sunnahnya dan meninggalkan bid’ah, serta mendahulukan ucapannya di atas ucapan siapapun. Selain itu, ia juga melahirkan sikap mencintai orang-orang yang taat dan setia dengan sunnahnya dan membenci orang-orang yang durhaka dan menciptakan perkara-perkara baru dalam urusan agama yang tidak ada tuntunannya.

Read more…